Jakarta - Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad menilai, 16 paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintahan Kabinet Kerja I Joko Widodo - Jusuf Kalla belum efektif dalam mendorong peningkatan investasi. Ini menjadi salah satu faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi hanya bertumbuh di kisaran 5 persen, jauh dari terget 7 persen. "Sudah banyak paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Kabinet Kerja I, Namun implementasinya jauh dari efektif," katanya kepada Tagar, Jumat, 4 Oktober 2019.
Untuk meningkatkan investasi ada dua kuci utama, yaitu infrastruktu dan kemudahan berusaha (ease doing business). "Kalau kedua faktor ini tidak diperbaiki maka pemerintahan Kabinet Kerja II sulit untuk menarik investor. "Ini harus mendapat perhatian pemerintahan Jokowi - Ma'ruf Amin," katanya.
Jadi, kata Tauhid, melesatnya target pertumbuhan ekonomi ini lebih banyak disebabkan faktor internal bukan pengaruh ekonomi global. "Sebenarnya lebih lebih banyak disebabkan kemampuan kita yang masih lemah untuk menarik investasi, ditambah daya saing ekspor yang kalah jauh dari kompetitor," ucapnya.
Tauhid memprediksi tidak akan ada perubahan kebijakan yang signifikan Kabinet Kerja II. Jokowi - Ma'ruf akan menjalankan kebijakan ekonomi yang ramah investasi. "Saya kira tidak ada pilihan lain, di era kebijakan ekonomi terbuka, kita harus membuat kebijakan yang bisa menarik investasi agar tidak lari ke negara lain," katanya.
Sebelumnya pemerintah mengklaim pertumbuhan ekonomi menunjukkan capaian yang menggembirakan. Indikatornya adalah pertumbuhan ekonomi yang meningkat, angka pengangguran menurun, jumlah penduduk miskin menurun, ketimpangan pendapatan yang menurun, indeks pembangunan manusia (IPM) naik, serta indeks Global Competitiveness yang menguat.
Berbagai capaian tersebut menurut Jokowi tidak terlepas dari reformasi fiskal yang telah kita lakukan. Menurutnya, pemerintah tidak lagi berorientasi pada proses dan output, tetapi pada impact dan outcome. Pemerintah mengelola fiskal agar lebih sehat, lebih adil, dan menopang kemandirian. "Kita tidak lagi menggunakan pola money follows function, tetapi money follows program," tuturnya.
Namun, Jokowi mengingatkan semua pihak tidak boleh lengah karena tantangan ekonomi ke depan semakin berat dan semakin kompleks. Ekonomi dunia sedang mengalami ketidakpastian, beberapa emerging market sedang mengalami krisis, dan beberapa negara sedang mengalami pertumbuhan negatif. "Kita juga menghadapi tantangan perang dagang. Depresiasi nilai mata uang beberapa negara seperti Yuan-Tiongkok dan Peso - Argentina, membuat kita harus waspada," katanya.
- Baca Juga: Agus Hermanto: Pertumbuhan Ekonomi Zaman SBY Lebih Baik
- Menkeu: Proyeksi Optimis Pertumbuhan Ekonomi 5,17 Persen