Kampanye Titiek Soeharto, Benarkah Zaman Soeharto Enak?

Titiek Soeharto saat berkampanye menyebut "lebih enak zaman bapak saya kan?"
Titiek Soeharto mantan istri Prabowo Subianto, hadir dalam acara debat keempat di Hotel Shangri La Jakarta, Sabtu malam (30/3/2019). (Foto: Tagar/Suratno Wongsodimedjo)

Jakarta, (Tagar 11/4/2019) - Politikus Partai Berkarya Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto menanyakan kabar ke massa simpatisan pendukung calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto yang berkumpul di Stadion Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (10/4).

"Piye kabare (bagaimana kabarnya), Jawa Tengah? Piye kabare? Penak zaman bapakku toh (lebih enak zaman bapak saya kan)?" ujar Titiek.

Dalam beberapa waktu belakangan ini, kalimat tersebut amat mudah ditemukan pada stiker, grafis penghias truk, dan masih banyak lagi. Narasi itu dapat dikaitkan dengan kerinduan publik terhadap pemerintahan Orde baru (Orba) era Presiden Indonesia Kedua Soeharto.

Menurut Peneliti LIPI Wasisto Raharjo Jati, memang tak dapat dipungkiri lagi saat ini terdapat lapisan masyarakat yang secara gamblang menginginkan negara Indonesia bisa kembali ke era Orba. Utamanya, bagi yang lahir, dan besar saat Soeharto sedang kuat-kuatnya memegang kekuasaan sebagai orang nomor satu di Tanah Air.

"Itu tergantung dari segmen generasi penduduk Indonesia. Kalau mereka yang besar dan terlahir di saat Orba berkuasa, pilihannya antara ya dan tidak, karena kebebasan berpendapat yang diberangus. Namun juga di saat bersamaan, ada stabilitas ekonomi dan politik yang terjaga," ucap Wasisto dalam keterangan tertulis yang diterima Tagar News, Rabu (10/4).

Dalam pandangan Wasisto, bagi masyarakat yang lahir di akhir zaman Orba, yang tidak mengalami masa keseluruhan dimana Orba berkuasa, tentunya hanya dapat berimajinasi soal kengerian tangan besi rezim Orba dari bahan bacaan, maupun dari cerita soal kediktatoran pemimpinnya dari mulut ke mulut.

Terkait dengan sambutan Titiek Soeharto di Solo, Wasisto menilai, Titiek hanya berusaha bercengkrama dengan rakyat, guna membangkitkan romantisme hal-hal positif selama 3 dekade Soeharto memerintah ditambah untuk menyukseskan kampanye mantan suaminya.

"Saya pikir Titiek berusaha melakukan romantisasi hal positif selama Orba berkuasa yang dikontraskan dengan situasi saat ini," tuturnya.

Sejujurnya, kata dia, masyarakat Indonesia pasca-reformasi terbelah opininya, yang anti-Orba, terutama pada kalangan aktivis, akademisi, dan jurnalis yang tahu menahu sisi otoritarianisme Orba.

Namun, di sisi lain terdapat juga masyarakat yang merindukan gaya kepemimpinan Soeharto. "Terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan karena anggapan mereka saat itu harga pangan murah," jelas Wasisto.

Layaknya batu baterai yang memiliki sisi plus, maupun sisi minus. Tak bisa disangkal, Presiden Soeharto pun memiliki sisi plus seperti dalam hal menjaga stabilitas keamanan, politik dan ekonomi di Indonesia melalui cara-cara yang diterapkannya.

Wasisto pun tak dapat menampik sisi negatif era Orba, dimana kebebasan berpolitik masyarakat menjadi terbelenggu, kemudian berdirinya Departemen Penerangan yang justru banyak mengatur dan 'membina' pers. Bagi media massa yang coba mengoyak borok pemerintah dengan pena tajam jurnalis, maka mesti siap dibredel oleh pemerintah dalam waktu seketika.

Selain itu, rezim militeristik Orba juga menyisakan banyak catatan-catatan kelam soal HAM, yang hingga kini pelakunya tak juga terungkap, meski sudah berganti kepemimpinan presiden sebanyak lima kali.

"Sisi positif Orba yaitu jelas stabilitas keamanan, politik, dan ekonomi terjaga. Sisi negatif Orba yaitu kebebasan berpolitik dibelenggu, pers disensor, dan pelanggaran HAM," bebernya.

Dalam pandangan dia, dalam masa kampanye ini Prabowo pun berusaha mencontoh kebijakan Orba dalam berbagai hal. "Saya pikir dalam berbagai hal Prabowo berusaha tuk mencontoh kebijakan Orba, misalnya penciptaan stabilitas politik," tutup Wasisto.

Baca juga: 

Berita terkait
0
Setahun Bekerja Satgas BLBI Sita Aset Senilai Rp 22 Triliun
Mahfud MD, mengatakan Satgas BLBI telah menyita tanah seluas 22,3 juta hektar atau senilai Rp 22 triliun setelah setahun bekerja