Jejak To Manurung, Raja Pertama di Bantaeng

Masyarakat Sulawesi Selatan mempercayai To Manurung sebagai sosok manusia yang turun dari langit dan raja pertama di Kabupaten Bantaeng.
Pohon Pallantikang yang berada di kompleks pekuburan jalan Pemuda, kelurahan Pallantikang kabupaten Bantaeng. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Bantaeng - Masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) mempercayai nama To Manurung sebagai sosok manusia yang konon turun dari langit. To Manurung juga diyakini raja pertama di Kabupaten Bantaeng.

Tagar mencoba menyibak sedikit sejarah To Manurung dengan menyambangi rumah Andi Imran Masualle, salah seorang penerus kerajaan Bantaeng, di Jalan Pemuda, kelurahan Pallantikang, Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, Senin 20 Januari 2020.

Putra ke-11 Karaeng Masualle itu, lahir tanggal 7 Juli 1963 sebagai putra Raja Karaeng Masualle. Sembari memetik rokok, dia bercerita panjang lebar tentang awal mula kerajaan Bantaeng berdiri.

Tak sekadar bercerita, lelaki yang karib disapa Karaeng Imran itu, juga menunjukkan sejumlah buku tua bertuliskan bahasa Melayu maupun lontaran atau bahasa daerah setempat yang diwariskan pendahulunya.

Berawal dari masa Addampang atau era kekacauan pecahnya perang saudara di Sulsel yang kala itu, masih mayoritas lautan tanpa pesisir pantai. Perang lahir di masa kepemimpinan para Kare'.

Ada 7 orang Kare' yang mengepalai kelompok di satu daerah. masing-masing, Kare' Onto, Kare' Bissampole, Kare' Gantarang Keke, Kare' Sinoa, Kare' Mamampang, Kare' Katapang, dan Kare' Lawi-lawi.

Selain lombe, sosok lain penjaga mata air itu ada orang tua bersurban yang disebut Ajjia atau Pak Haji. Namun tak ada yang tahu persis siapakah sebenarnya sosok-sosok jelmaan itu.

Batu Mata Air

Salu Cinranayya, sebuah mata air di bawah batu besar, di Desa Mamampang, Kabupaten Bantaeng. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)


Ketika suasana kian mencekam, datang sebuah cahaya alias nur atau nurung dari langit. Konon cahaya itu mengeluarkan suara dan berbicara layaknya manusia.

"Eee to majannanga ri onto kio ngasengi pakkumpulu injo parannu tau tuju (ada yang hendak saya sampaikan) ," kata Kareng Imran menirukan seruan cahaya kala itu.

Menurutnya, cahaya itu menghampiri Kare' Onto. Dia berpesan agar Onto segera mengajak keenam Kare' lainnya untuk berkumpul. Sebab ada sesuatu yang ingin disampaikan Cahaya kepada mereka bertujuh.

Sesaat kemudian, cahaya pun menghilang. Kare' Onto yang heran bercampur takut pun menunaikan amanah tersebut. Dia pun mencari seluruh Kare' dan mengajaknya berkumpul.

Singkat cerita, setelah berdialog dengan ketuju Kare', sang cahaya pun

menyematkan gelar kepada Kare' Onto dan kemudian berganti menjadi Rampang Onto. Lalu, cahaya pun memerintahkan para Kare' ini membangun membangun sejumlah rumah persinggahan di pesisir pantai.

"Anehnya, saat itu tidak ada pesisir pantai atau pun bibir laut di sana. Batas tanah mereka hanya jurang-jurang yang langsung menjorok ke laut," katanya.

Esok harinya, keajaiban pun terjadi. Ketika para Kare' ini terbangun dari tidurnya, hamparan pesisir pantai membentang sejauh mata memandang. Tanpa pikir panjang, mereka pun membangun rumah-rumah persinggahan seperti yang diminta sang cahaya.

Menurut Kareng Imran, beberapa dari rumah-rumah tersebut masih berdiri hingga saat ini. Masyarakat pun menjadikannya sebagai keramat.

"Rumah-rumah itu ada di Mangngara Dupa, di Kaili, Korong Batu, Pocci Buttayya, dan di Tamarunang," tuturnya.

KaraengKaraeng Imran Masualle, putra Raja Bantaeng Karaeng Masualle. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Usai membangun rumah, tujuh Kare' itu pun kembali meminta bertemu sang cahaya. Tujuan mereka sama, yakni meminta kehadiran seorang pemimpin atau pengayom masyarakat di Bantaeng.

"Apangaseng antu nuboya nakadinging-dinginganna? (Apa kiranya yang sedang kalian cari di tengah cuaca yang dingin ini?," katanya menyampaikan perkataan sang cahaya.

Kare' Bissampole pun menjawab, bahwa dia dan enam Kare' lainnya ingin memiliki seorang pemimpin yang dapat mengayomi dan menyatukan kelompok-kelompok mereka.

"Ammuko mangemako ri Mamampang ri Bungayya, ri Salu Cinranayya (Esok berangkatlah kalian ke Mamampang, di Bungayya di Salu Cinranayya," jawab sang cahaya.

Pendek kisah, konon di tempat itulah ketujuh Kare' bertemu seseorang yang sedang mandi di sebuah mata air. Sosok yang tak diketahui asal usulnya itu, tiba-tiba memahami maksud dan niat mereka. Dialah sosok yang dipercaya turun dari langit bernama To Manurung.

Anehnya, saat itu tidak ada pesisir pantai atau pun bibir laut di sana. Batas tanah mereka hanya jurang-jurang yang langsung menjorok ke laut.

Hingga kini, beberapa daerah itu masih ada di Kabupaten Bantaeng. Mamampang kini menjadi sebuah desa, yang di dalamnya ada kampung bernama Bungayya atau kadang disebut Rungayya, dan kampung Cinranayya.

Begitupun mata airnya. Mata air itu keluar dari sebuah batu sungai berukuran besar, tepat di belakangnya terdapat pohon kapuk. Meski airnya tak lagi sederas dulu, namun hingga kini masih tetap mengalir untuk mengairi ladang serta areal persawahan di sekitarnya.

"Salah satu putriku kuberi nama Salu Cinranayya," kata Kareng Imran.

Menurutnya, hingga kini tempat tersebut masih dijaga makhluk tak kasat mata. Dia pernah ditegur seseorang saat berjalan di sana dan menyebut adanya lombe. Sosok mistik yang dipercayai masyarakat Butta Toa berbentuk ular berkepala ayam, dengan ukuran sekitar satu meter.

"Selain lombe, sosok lain penjaga mata air itu ada orang tua bersurban yang disebut Ajjia atau Pak Haji. Namun tak ada yang tahu persis siapakah sebenarnya sosok-sosok jelmaan itu," katanya.

Pohon Pallantikang

Ada satu kelurahan di tengah kota di Kecamatan Bantaeng, Pallantikang. Penyematan nama itu ternyata bukan tanpa alasan. Tempat ini konon salah satu lokasi keberadaan To Manurung. Tepatnya, tempat dia dilantik menjadi seorang raja.

Hingga setelah masa pergantian pun, raja-raja Bantaeng berikutnya di lantik di daerah itu. Namun, proses pelantikan raja saat itu berbeda dengan seremonial pelantikan yang biasa disaksikan hari ini. Dulu, raja dilantik di sebuah rumah, di atas pohon tua dan besar.

Pohon yang tak seorang pun yang tahu apa jenis dan namanya. Pohon itu pun hingga saat ini masih ada dan bisa ditemui di sekitar pekuburan Bakarayya.

Konon, setelah ketujuh Kare' bersepakat menjadikan To Manurung pemimpin, mereka berjalan melewati lembah-lembah dan pegunungan.

Setelah itu beranjak ke satu pohon besar yang di dahannya terdapat bangunan berbentuk rumah. Di sanalah Raja Bantaeng pertama dinobatkan, di atas pohon Pallantikang.

Dulu, kata Kareng Imran, pohon Pallantikang itu sangat besar. Saking besarnya tak akan cukup jika batangnya dipeluk oleh 10 orang dewasa yang saling berpegangan tangan.

Pohon itu tiba-tiba terbakar tanpa diketahui penyebabnya. Tak ada juga yang berani mendekat saking besarnya kobaran api. Namun, api tersebut padam dengan sendirinya.

"Pohon itu tumbuh kembali walau tak lagi sebesar dulu, di mana dahannya bisa mencapai panjang 3 meter." tuturnya. []

Berita terkait
Anja Makhluk Halus Penculik Anak di Jeneponto
Pada malam Jumat itu seorang warga menggelar pesta pernikahan di Desa Tanammawang, Kecamatan Bontoramba, Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Siang Bersama Sri Dewi Yanti, Istri Bupati Bantaeng
Sri Dewi Yanti istri Bupati Bantaeng Ilham Syah Azikin membuat grup WhatsApp untuk keluarga, untuk berkomunikasi dengan suami dan empat anaknya.
Sejarah Kerajaan Sunda Empire di Bandung Jawa Barat
Kerajaan Sunda Empire di Bandung Jawa Barat adalah satu bentuk kekaisaran matahari yang ada sejak Alexander The Great, 324 tahun sebelum masehi.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.