Jaga Netralitas, Ketum Korpri Usul Redesain Sistem Karir ASN

Ketum Korpri mengusulkan Redesain Sistem Karir bagi ASN, pasalnya setiap kali ada pilkada, isu mengenai netralitas ASN selalu mencuat.
Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional Prof. Zudan Arif Fakrulloh. (Foto:Tagar/Kemendagri)

Jakarta – Setiap kali ada pilkada, isu mengenai Netralitas ASN selalu mencuat dan ramai dibicarakan masyarakat. Oleh sebab itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional (DPKN) Prof. Zudan Arif Fakrulloh mengusulkan perlunya merumuskan solusi agar hal tersebut tidak terulang dan menimbulkan kegaduhan setiap kali ada pilkada.

"Meskipun persentasinya sedikit sekali, yakni dari 4,2 juta ASN yang tidak netral itu tidak banyak. Jumlahnya di bawah 1.000, tapi sangat noise. Menimbulkan image seolah-olah ASN itu banyak yang tidak netral," kata Zudan dalam webinar dalam rangka HUT Korpri ke-49 bertajuk 'Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak', di Jakarta, Rabu, 19 November 2020.

Yakni pejabat eselon II selayaknya menjadi pejabat nasional. Sehingga dia bisa dimutasi antarprovinsi dan yang menempatkan itu Menteri PANRB, Mendagri, atau Presiden.

Padahal, lanjut Zudan ASN yang netral jumlahnya jauh lebih banyak. Meski demikian ASN yang tidak netral akan tetap ditangani. "ASN yang profesional jauh lebih banyak jumlahnya dibanding yang tidak netral. Namun meskipun sedikit jumlahnya tetap harus kita tangani," jelasnya.

Supaya ASN tidak menjadi korban ritual politik lima tahunan itu, Zudan mengajak semua pihak memikirkan sistem merit baru. "Saya sebut 'ritual politik lima tahunan' karena setiap lima tahun paska pilkada terjadi tsunami birokrasi. Banyak ASN yang dicopot, banyak ASN yang nonjob," sambung Zudan.

Menurut Pakar Hukum Administrasi ini, ada dua faktor penyebab ASN menjadi tidak netral, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, terjadi lantaran sistem politik yang ada menyebabkan ASN bisa tidak netral atau dipaksa oleh sistem untuk tidak netral. Misalnya, ketika incumbent maju Pilkada lagi.

"Kalau incumbent gubernur/bupati dan wakilnya maju satu paket tidak ada pergolakan bagi ASN. Apalagi kalau menang. ASN-nya nyaman. Tetapi jika wakilnya maju, gubernur/bupati incumbent maju, birokrasi bisa terbelah," sebut Zudan.

Dalam hal ini, masing-masing calon pejabat yang berharap menang kerap memberikan "gratifikasi politik dan jabatan".

"Nanti kalo saya menang, you dukung saya, you jadi kepala dinas pendidikan. You jadi Kadinas PU, Kadinas Kesehatan. Yang tidak bergerak, tidak berkeringat biar saja di luar pagar. Begitulah bentuk gratifikasi politik," ungkap profesor termuda bidang ilmu hukum ini saat usianya 35 tahun.

Prof Zudan juga menyayangkan sistem politik saat ini yang membolehkan pejabat yang tidak mencalonkan diri dalam pilkada, namun tetap boleh berkampanye. Menurutnya ini banyak terjadi. Misalnya, ASN yang kepala daerahnya sudah dua periode menjabat ikut kampanye untuk calon separtainya.

"Misalnya, ASN diperintahkan mengerjakan materi yang dikampanyekan. Kalau tidak dikerjakan dimarahi kepala daerah. Kalau dikerjakan, ya kalo calon yang didukung sang kepala daerah itu menang. kalo kalah, ASN tersebut bisa dinonjobkan calon kepala daerah yang menang. Ini yang menyebabkan ASN tidak nyaman. Ini perlu kita kaji," tegas Zudan.

Lebih lanjut, Ketum Korpri ini menyampaikan bahwa regulasi yang memperbolehkan kepala daerah/wakil kepala daerah yang sedang berkuasa cuti untuk ikut kampanye mendukung calon tertentu, perlu dikritisi. Karena, merugikan ASN dan menjadikan ASN terbelah.

Sementara Faktor eksternal yang juga disoroti Zudan, adalah sistem merit yang masih sangat tergantung pada kepala daerah.

"Saya menyebutnya merit system yang sangat tergantung politik lokal. Sebab pejabat kita diangkat oleh PPK. Eselon II, Eselon III, Sekda provinsi diangkat oleh PPK. Eselon I yang diangkat oleh presiden. Jadi betapa tergantung sistem meritnya dengan para kepala daerah," ungkap Zudan.

Oleh sebab inilah, Prof Zudan mengusulkan agar sistem karir ASN didesain ulang.

"Yakni pejabat eselon II selayaknya menjadi pejabat nasional. Sehingga dia bisa dimutasi antarprovinsi dan yang menempatkan itu Menteri PANRB, Mendagri, atau Presiden. Jadi dia bisa ditempatkan di mana pun tidak tergantung satu kepala daerah saja. Diputar dalam satu provinsi atau berputar antar provinsi," saran Prof Zudan.

Sedangkan untuk faktor internalnya juga sangat banyak. "Dan yang harus kita jaga adalah walaupun berkawan harus tetap profesional. Ini memang tidak mudah," tutur Zudan.

Misalnya, calon kepala daerah sangat akrab dengan Sekda. Anak buah Sekda tidak enak kalau tidak mendukung. "Ini mendukung karena kedekatan, karena utang budi. Ini faktor internal yang harus bisa kita antisipasi agar tidak terjebak dalam sikap tidak netral," tutup Zudan. []

Berita terkait
Mendagri Terbitkan Instruksi Penegakan Protokol Kesehatan
Mendagri Terbitkan Inmendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19.
Mendagri Paparkan Protokol Kesehatan Pilkada Serentak 2020
Mendagri Muhammad Tito Karnavian memaparkan Langkah-langkah dalam menegakkan protokol kesehatan di tahapan Pilkada Serentak Tahun 2020.
Kemendagri Minta Kepala Daerah Antisipatif Bencana Alam
Mendagri Tito Karnavian menginstruksikan seluruh Gubernur, Bupati, dan Walikota se-Indonesia mempersiapkan langkah antisipasi bencana alam.
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.