Oleh: Syaiful W. Harahap*
TAGAR.id – Ironis WNI di luar negeri taat aturan hukum sementara WNA di Indonesia dibiarkan melakukan perbuatan melawan hukum dan mengangkangi hukum.
Lihat saja di Pulau Bali. Baru beberapa hari belakangan ini polisi lalu lintas merazia WNA yang mengendarai mobil dan sepeda motor yang melawan aturan lalu lintas.
Padahal, hal itu sudah lama terjadi sementara itu warga asli yaitu penduduk Indonesia disebut juga WNI yang melawan aturan lalu lintas ditindak polisi.
Itu artinya terjadi diskriminasi (perlakuan berbeda) antara penduduk dan WNA yang secara yuridis merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
“Dari kamar berapa!”
Itulah ‘bentakan’ perempuan di meja depan restoran sebuah hotel bintang 4 di Denpasar, Bali, ketika penulis hendak sarapan (2005).
Pada saat yang sama sepasang bule yang hanya pakai kaus kurang dan celana pendek kusam serta sandal justru diantar ke meja dan dituangkan pula kopi dan teh ke cangkir di meja mereka.
Sementara 'Si Pribumi' berjalan sendiri dan ditatap dengan pandangan curiga. Padahal, saya diinapkan di hotel itu oleh sebuah lembaga untuk menjalankan pelatihan wartawan yang juga diadakan di hotel tersebut.
Memang, dalam hati kesal tapi biarlah YMK memberikan balasan kepada orang-orang yang melakukan diskriminasi berdasarkan ras. Ya, perlakukan tersebut sama saja dengan rasialisme!
Tampaknya, telah terjadi paradigm supremacism (supremasi) di Bumi Pancasila ini yaitu ideologi yang menempatkan bule, dalam kasus ini turis mancanegara khususnya dari Barat, Australia dan Amerika Utara sebagai kelas yang melebih pribumi.
Ketika di akhir tahun 1990-an sampai tahun 2000-an penulis sering diundang ke Batam untuk pelatihan wartawan selalu dihindarkan kegiatan di hari-hari Jumat, Sabtu dan Minggu.
Mengapa?
Di akhir pekan itu banyak turis dari Malaysia dan Singapura sehingga sebagian pelaku pariwisata melihat pribumi dengan sebelah mata. Bahkan, ketika itu mata uang dolar Singapura dan ringgit Malaysia lebih diterima daripada rupiah.
Ketika jalur feri Batam-Singapura dibuka wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Singapura memegang pameo: Lebih aman membuang puntung rokok ke kantong.
Mengapa?
Soalnya, membuang puntung rokok kena fine atau denda 2.000 dolar Singapura. Jika dengan kurs sekarang itu setara dengan Rp 22.920.620.
Nah, kalaupun kemeja rusak karena puntung rokok masih lebih murah membeli kemaja baru daripada bayar denda.
Celakanya, di Pelabuhan Feri Batam turis dari Singapura dan Malaysia justru buang sampah sembarangan. Ini terjadi karena tidak ada penegakan hukum terhadap pembuang sampah yang tidak pada tempatnya.
Perlakuan dalam bidang penegakan hukum terhadap penduduk juga bisa dilihat dari razia identitas. Kalau di banyak negara yang dirazia adalah pendatang, di Indonesia yang dirazia terkait KTP justru penduduk. Padahal, secara yuridis penduduk berdasarkan sistem hukum biarpun tidak mempunyai KTP adalah warga negara Indonesia.
Lagi pula secara universal KTP itu adalah hak bukan kewajiban. Maka, ketika ada penduduk yang tidak mempunyai KTP kesalahan ada pada negara, dalam hal ini pemerintah.
Ketika ada remaja AS yang ditahan di Singapura karena merusak rambu lalintas dan mobil serta melakukan graffiti akan dihukum (1993), Presiden AS, waktu itu Bill Clinton, meminta agar pemerintah Singapura melepaskan remaja tersebut..
Sontak warga Singapura protes keras karena kalau pemerintah menyetujui permintaan Presiden Clinton itu sama saja dengan diskriminasi. Akhirnya, remaja AS itu tetap dihukum.
Hal ini bisa jadi ide buat pemerintah terhadap wisatawan mancanegara (Wisman) yang melakukan pelanggaran hukum ringan (Tipiring-tindak pidana ringan), seperti tidak pakai helm ketika mengendarai sepeda motor, menjalani kerja sosial.
Sudah saatnya pemerintah menghentikan supemasi terhadap Wisman. []
* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id