Ironis, Koruptor Denda Maksimal Hanya Rp 1 Miliar

Ironis, koruptor denda maksimal hanya Rp 1 miliar. Padahal banyak koruptor meraup keuntungan secara tidak wajar melebihi Rp 1 miliar.
Ironis, Koruptor Denda Maksimal Hanya Rp 1 Miliar | Tersangka Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein (kanan) memakai rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (23/7/2018). Wahid Husein menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka pasca operasi tangkap tangan terkait suap atas pemberian fasilitas dan perizinan di Lapas Sukamiskin. (Foto: Antara/Reno Esnir)

Jakarta, (Tagar 28/7/2018) - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Fakultas Hukum UI menilai pemenjaraan jangan menjadi fokus utama pemidanaan koruptor.

"Kalau fokus hanya penjara, tapi tidak ada sanksi moneter seperti denda dinaikkan dan maksimalisasi uang pengganti, koruptor akan tetap berduit," kata Choky R Ramadhan Ketua Harian MAPPI FHUI di Jakarta, Jumat (27/7) mengutip Antara.

Ia mencontohkan OTT KPK di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, para koruptor masih memiliki uang hingga melakukan suap kepada kepala lapas tersebut.

Karena itu, kata dia, upaya pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan KPK, tentu tidak berhasil jika menggunakan indikator pengembalian kerugian negara dan efek jera.

Ia menambahkan hukuman yang diancamkan kepada koruptor harus melebihi keuntungan yang diperolehnya agar mereka jera.

Ironisnya, kata dia, ancaman maksimal pidana denda yang diatur dalam UU Tipikor hanya Rp 1 miliar. Padahal diketahui banyak koruptor yang meraup keuntungan secara tidak wajar melebihi Rp 1 miliar.

Sebenarnya UU Tipikor membuka peluang untuk memberi tambahan hukuman berupa uang pengganti sebesar jumlah korupsi yang diperolehnya. Apabila terpidana korupsi tidak membayar, hartanya dapat dirampas negara.

Disebutkan, korupsi ditetapkan sebagai kejahatan agar meningkatkan kesejahteraan sosial. Koruptor selaku pelaku kejahatan ekonomi tentu memiliki perhitungan untuk menambah kekayaannya secara melawan hukum.

Perbuatannya telah dihitung dapat menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi dari biaya yang ditanggungnya. Motivasi pertambahan keuntungan serta kekayaan mendominasi tindak pidana korupsi.

Karena itu, ia menegaskan kembali harus sanksi moneter seperti denda dinaikkan dan maksimalisasi uang pengganti, disamping pemenjaraan tetap dilakukan.

Hukuman Mati

Pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra menyatakan jaksa dan hakim harus mengenakan uang pengganti secara maksimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

"Sita seluruh kekayaan hasil korupsinya," katanya.

Azmi menambahkan, miskinkan koruptor ini sebagai formulasi yang harus dilakukan mengingat praktik korupsi di Indonesia masih juga terjadi.

Ia menilai tingginya korupsi di tanah air akibat krisis moral, miskin etika dan tidak punya malu.

Dikatakan, sebenarnya hukuman mati lebih efektif bagi koruptor karena secara teoritik harus ditanggulangi secara kausatif dan integral atau komprehensif.

Ia menyebutkan kalau dilihat dari kebijakan hukum nasional, harusnya diefektifkan penegakan hukum yang direncanakan sesuai UU Nomor 31 tahun 1999 antara lain dengan pidana mati.

"Sayangnya ketentuan pidana dalam UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 masih banyak kelemahannya," katanya.

Ia menambahkan secara ilmiah belum ada jawaban pidana apa yang efektif untuk pelaku korupsi itu, khususnya penjara sulit membuktikan efektivitasnya karena faktor penyebab kejahatan itu banyak. []

Berita terkait
0
Yang Sedang Viral: Tentang ACT atau Aksi Cepat Tanggap, Pengelola Dana Masyarakat
Sebuah lembaga pengelola dana masyarakat, nama lembaganya ACT atau Aksi Cepat Tanggap, mendadak viral dan diselidiki polsi. Ada apa. Apa itu ACT.