Intervensi Jokowi, Bobby Nasution Vs Kotak Kosong?

Pengamat politik menilai Pilkada Kota Medan adalah peragaan nyata konflik internal pendukung Jokowi. Kehadiran Bobby Nasution menjadi alasannya.
Bobby Nasution, ketika berada di Taman Hewan Kota Medan, Sumatera Utara, Minggu, 5 Juli 2020. (Foto: Facebook Bobby Nasution)

Medan - Pengamat politik di Kota Medan, Sumatera Utara, menilai pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Medan yang akan berlangsung pada 9 Desember 2020, adalah peragaan nyata konflik internal pendukung Jokowi.

Shohibul Anshor Siregar, dosen Sosiologi Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Senin, 6 Juli 2020, menyebut Pilkada Medan cukup sensitif dan berpotensi membelah lagi Indonesia dalam dua kubu, semisal 'Cebong dan Kampret' atau pro RUU HIP versus anti RUU HIP.

Karena cengkraman Jokowi dinilai cukup efektif, sehingga Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bisa saja memutuskan akan merelakan kadernya yang juga petahana yakni Akhyar Nasution, demi memuluskan langkah menantu Jokowi yakni Bobby Nasution.

"Guna memenuhi hasrat politik Jokowi, bahkan Prabowo juga terlihat mulai memberi reward kepada kadernya dari Partai Gerindra, yakni Ikhwan Ritonga, yang dapat dimaknai sebagai isyarat agar tak lagi berpikir yang lain kecuali mengerahkan seluruh kekuatan partai untuk memenangkan Bobby Nasution. Padahal kita harus catat, Ikhwan Ritonga sebagai salah satu figur terpenting dengan popularitas dan elektabilitas signifikan untuk Pilkada Kota Medan 2020," katanya.

Menurutnya, sebagai partai terbesar PDIP dan Gerindra memiliki kursi dan suara yang cukup untuk mengajukan calon sendiri tanpa koalisi dan secara ideologis khususnya Pemilu 2019, keduanya adalah representasi kekuatan terbesar petahana dan penantang. Latar belakang itu berpotensi membentuk peta dinamika yang sama di Medan pada Pilkada 2020.

Shohibul Anshor mengatakan, tanpa faktor intervensi Jokowi, normalnya yang akan bertarung Pilkada Kota Medan 2020 adalah PDIP dan Gerindra, berikut koalisi keduanya ditambah kemungkinan koalisi lain semisal PKS dan PAN atau partai-partai yang masing-masing beroleh 4 kursi atau lebih kecil pada Pemilu 2019 (Golkar, Demokrat dll).

"Dinamika yang saya gambarkan tidak muncul karena intervensi Jokowi, dan partai-partai yang mengikut dikte tetap saja memiliki agenda tersendiri untuk memperbesar peluangnya menguasai politik dan pemerintahan pasca Jokowi," katanya.

Kemungkinan adanya pertarungan Akhyar dan Bobby utamanya dalam mendapatkan restu dari PDIP, Shohibul Anshor menyebutnya dengan perang asimetris kekuatan politik di belakang Bobby melawan Akhyar. 

"Akhyar sama sekali tak berhadapan dengan Bobby. Itu penting dicatat," ujarnya.

Kotak kosong juga akan berpotensi beroleh perlawanan besar dari rakyat karena beberapa hal, seperti jika Jokowi salah menentukan siapa pasangan Bobby

Dan Akhyar, katanya, kelihatannya sadar betul kekuatan yang dihadapinya, karena Akhyar dibesarkan dan ikut membesarkan PDIP dan kini merasa harus menentukan sikap.

"Kecerdasannya dalam mengkapitalisasi status kepetahanaannya, membuat PKS dan PD merasa harus membalas dengan sikap politik yang membawa political benefits untuk semua pihak yang mengamblil keputusan dan rakyat luas," jelasnya.

Shohibul memperkirakan kemungkinan Akhyar berpasangan dengan Salman Alfarisi pada Pilkada Medan ini.

"Jika Akhyar Nasution tak berhasil diganggu oleh kekuatan eksternal, dan berhasil meyakinkan PKS maka bersama PD dia dan figur lain yang kemungkinan besar Salman Alfarisi, akan maju dalam satu pasangan. Tentu PD akan legowo berkoalisi meski tidak dengan reward posisi wakil dalam rivalitas pilkada di kubu ini. Akan tetapi jika isu reshuffle kabinet akan mengikutkan nama Ketum PD, AHY dalam kabinet baru, maka pasangan ini bisa terancam," terangnya.

Baca juga: Soal Gibran dan Bobby, Hasto: Keputusan di Megawati!

Dalam peta politik Kota Medan, kata dia, sudah sulit membayangkan adanya partai lain yang bisa bergabung bersama PKS mengajukan Akhyar Nasution dan Salman Alfarisi. Itu sangat memudahkan rivalitas Boby Nasution melawan kotak kosong.

Shohibul Anshor SiregarDosen Sosiologi Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU),Shohibul Anshor Siregar. (Foto: Tagar/Andi Nasution)

"Kotak kosong juga akan berpotensi beroleh perlawanan besar dari rakyat karena beberapa hal, seperti jika Jokowi salah menentukan siapa pasangan Bobby. Jika Bobby akan berpasangan dengan kader Gerindra, keikhlasan partai pendukung lain pasti terganggu. Di Jakarta pimpinan partai bisa akur, tetapi konstituen di daerah bisa memberontak," tuturnya.

Sosok Kandidat

Kembali kepada figur Bobby Nasution, kata dia, memang terus dipoles tetapi belum sampai menghilangkan persepsi publik bahwa jika bukan karena menantu Jokowi, ia tak akan memiliki peluang apapun terutama tak memiliki jejak politik dan keterampilan sebagai sosok yang akan memimpin kota terbesar ke tiga di Indonesia.

Di samping itu, posisi Bobby Nasution dalam Pilkada Kota Medan ini diibaratkan dengan pendatang baru. "Pilgubsu terakhir, mencatat kekalahan PDIP karena membawa orang yang relatif tak dikenal oleh rakyat, yakni Djarot Saiful Hidayat. Meski Bobby putra asli Medan, tetapi ia tidak berbeda posisi politik sebagai pendatang baru seperti halnya Djarot Saiful Hidayat yang mencatat kekalahan meski telah mendaftar sebagai warga Kota Medan menjelang hari H pencoblosan Pilgubsu. Tetapi pasti akan berbeda jika posisi Bobby hanya sebagai wakil," ungkapnya.

Menurutnya, pola yang harus diadopsi oleh para ahli di sekitar Bobby, adalah membuang jauh-jauh kesan dinasti dengan kapasitas yang harus secara jelas terlihat dan meyakinkan bagi rakyat. Selain itu, Bobby juga ditunggu dengan komunikasi politik yang bernas," urainya.

Mengenai figur Akhyar Nasution yang sekarang menjabat sebagai Pelaksana Tugas Wali Kota Medan, adalah seorang pembelajar dengan tekad yang kuat membawa ruh Kota Medan yang dia pahami dan kapitalisasi di dalam dirinya.

Baca juga: Golkar: Kemungkinan Besar Kami Usung Bobby Nasution

"Pada dasarnya dia bukan orang yang suka pencitraan, meski politik kontemporer tak bisa menghindarinya. Dan Akhyar tidak menempuh cara dan resep seribu janji, sebab dia memang tidak punya visi dan misi kecuali dokumen yang disampaikan ke KPUD saat mendaftar sebagai pasangan Dzulmi Eldin dan yang diperdakan di DPRD Kota Medan," sebutnya.

Sejumlah celah untuk mencaci Akhyar, menurutnya, cukup terbuka, namun Akhyar sadar dan ingin semua orang sadar bahwa pundaknya tidak cukup kuat untuk dipersalahkan tentang kekurangberesan wajah kota yang sudah mensejarah.

"Siapa pun Wali Kota Medan akan sama dengan nasib Gubenur DKI Jakarta yang tak mungkin serta merta menyelesaikan banjir. Medan dengan banjirnya, tak mungkin tak berurusan dengan semua daerah yang dialiri banyak sungai yang melintasi Kota Medan, dan hutan yang dibabat habis di daerah hulu yang merupakan tanggung jawab daerah lain. Dan Akhyar tak mungkin menjalankan resep pembangunan yang berjiwa konstitusi (berkeadilan), karena negara sedang memerankan diri sebagai penyembah setia neoliberalisme yang tak peduli kemiskinan struktural," ujarnya.

Bergeser ke figur lain, lanjutnya, politisi dari Partai Gerindra yang juga menduduki jabatan Wakil Ketua DPRD Medan, Ikhwan Ritonga harus diakui memiliki potensi popularitas dan elektabilitas besar. Begitu juga dengan rekan separtainya Aulia Rachman, tokoh Medan Utara yang sudah membangun jejaring berupa posko dengan hasrat besar untuk digandeng Bobby Nasution.

Salman Alfarisi, menurutnya adalah santri yang intelektual dan sangat paham Indonesia mau dibawa seharusnya ke arah mana. Kaderisasinya di PKS melejitkannya dalam posisi terkemuka di antara rekan separtainya untuk Pilkada Kota Medan 2020.

"Pilkada Kota Medan baginya menjadi pilihan sulit, karena jika kalah pasti kehilangan status sebagai legislator dengan jabatan penting pimpinan DPRD Sumatera Utara. Dia harus menghitung risiko dan penuh percaya diri memutuskan maju dan direstui PKS," bebernya.

Politik Uang dan Kampanye Hitam

Dalam demokrasi politik Indonesia, Shohibul Anshor menilai, politik uang adalah napas yang inheren dalam tradisi maupun dalam kelemahan regulasi serta sikap kelembagaan.

"Percuma membicarakan politik uang, ketika rakyat yang dibiarkan miskin berhadapan dengan etalase paket-paket sembako gak berjuntrungan dan semisalnya," ucapnya.

Bagaimana caranya bicara politik uang jika regulasi memastikan penentuan calon Pilkada ada di Jakarta. Orang yang ditetapkan Jakarta, tambahnya, kerap tak dikenal di daerah.

"Agar bisa menang, hanya memiliki satu bahasa, yakni uang. Dan kampanye hitam akan efektif atau lebih efektif di kalangan awam," tuturnya. []

PEN

Berita terkait
Tito dan Mahfud Bahas Pilkada di Medan
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Mahfud MD di Kota Medan, membahas Pilkada Serentak 2020.
Pilkada Medan, 21 PAC PDIP Deklarasi Jagokan Akhyar
PDIP tingkat kecamatan se-Kota Medan mendeklarasikan dukungan kepada Akhyar Nasution.
Bobby Nasution Bertemu Prabowo, Bahas Pilkada Medan?
Bakal calon Wali Kota Medan, Bobby Nasution bertemu Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Keduanya membahas Pilkada Medan?
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.