Indonesia menolak perlakuan diskriminatif yang dikaitkan dengan isu keberkelanjutan terhadap produk kelapa sawit Indonesia. Wakil Menteri Luar Negeri RI, Mahendra Siregar menegaskan hal ini dalam webinar “Keberlanjutan Minyak Nabati: Peluang untuk Peningkatan Dua Arah” yang diselenggarakan Kedutaan Besar RI di Stockholm, Kamis, 14 Januari 2021.
Dua pakar ahli di bidang keberkelanjutan dan minyak nabati berbasis di Swedia dihadirkan dalam acara ini, Francis X. Johnson dari Stockholm Environment Institute dan Fumi Harahap dari KTH Royal Institute of Technology.
Menurut Mahendra, upaya untuk mencapai target-target Sustainable Development Goals (SDGs) memerlukan kerja sama yang erat antar negara-negara. Pemerintah Indonesia, ujarya, siap melakukan dialog dengan seluruh mitra, baik di tingkat regional maupun global. Indonesia, ujarnya, berkomitmen untuk penuhi ke-17 target SDGs 2030 dan telah berhasil mencapai perkembangan yang signifikan.
Acara ini digelar dalam rangka mendorong diskusi seputar topik keberkelanjutan minyak nabati serta dilatarbelakangi kesepakatan antara negara-negara anggota Uni Eropa (UE) dan ASEAN dalam meningkatkan hubungan dari Kemitraan Dialog menjadi Kemitraan Strategis, serta pembentukan Joint Working Group on Vegetable Oil pada Pertemuan Tingkat Menteri UE-ASEAN ke-23 yang diadakan pada tanggal 1 Desember 2020.
Kelapa sawit dan produk turunannya merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang diekspor ke Swedia. Dalam 3 tahun terakhir nilai impor kelapa sawit Swedia dari Indonesia terus meningkat, dari USD 14,5 juta pada tahun 2017 menjadi USD 32,3 juta pada tahun 2019.
Dalam pembukaan acara, Dubes RI Stockholm, Kamapradipta Isnomo, menjelaskan bahwa penting bagi seluruh pemangku kepentingan di Indonesia serta masyarakat UE dan ASEAN memanfaatkan momentum awal tahun ini untuk menyambut diluncurkannya Joint Working Group tersebut untuk menuju peningkatan perdagangan minyak nabati dua-arah.
"Komitmen kedua belah pihak untuk bentuk sebuah Joint Working Group mengindikasikan adanya kesamaan visi untuk menyelesaikan tantangan dan isu-isu lingkungan hidup di sektor minyak nabati dalam perspektif yang lebih obyektif dan non-diskriminatif, " kata Kamapradipta.
Dalam diskusi ini dirinci antara lain tahapan transisi perekonomian menuju bioekonomi, pangsa pasar penggunaan tanaman minyak, potensi energi yang dihasilkan dari sisa tanaman pertanian, serta peluang pengembangan biorefinery guna menangkap potensi sumber daya nabati secara utuh.
Salah satu kesimpulan dari acara ini, di tengah pandemi Covid-19 dan upaya percepatan pemulihan ekonomi nasional, perdagangan minyak nabati, terutama ekspor kelapa sawit ke luar negeri, jelas akan menjadi semakin penting bagi Pemerintah dan masyarakat Indonesia. []