Oleh: Syaiful W. Harahap
Pedangdut Iis Dahlia merasa dirugikan karena berita di media mengaitkan suaminya, Satrio Dewandono, dengan penyeludupan moge (motor gede) Harley Davidson dan sepeda Brompton yang dibawa pesawat Garuda yang diterbangkan oleh si suami. Iis pun membandingkan pilot dengan supir Ojol (ojek online).
Ketika TNI-AU memilih lima penerbang jadi pilot pesawat tempur F-16 di tahun 1980-an, seorang wartawan di sebuah tabloid di Jakarta ditugaskan ke Pangkalan Udara Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, untuk membuat laporan tentang lima penerbang pesawat tempur tsb. Lead laporannya dimulai dengan kata ‘bangga’ dengan penjelasan lima penerbang itu terpilih dari 180-an juta penduduk Indonesia.
Perbandingan yang dipakai wartawan tsb. tidak objektif karena tidak semua penduduk Indonesia penerbang TNI-AU. Tidak semua penduduk memenuhi syarat jadi penerbang pesawat tempur. Lima penerbang yang terpilih hanya bisa dibandingkan dengan penerbang di lingkungan TNI-AU dengan persyaratan atau kualifikasi yang sama. Misalnya, dari sekian penerbang dengan jam terbang yang sama, atau berdasarkan pangkat yang sama.
Artinya, kalau wartawan tsb. memberikan fakta bahwa lima penerbang itu terpilih dari sekian penerbang dengan pangkat yang sama dan jam terbang yang sama baru ojektif.
Hal yang sama dilakukan oleh penyanyi dangdut, Iis Dahlia, terkait dengan pem-bully-an terhadap dia dan suaminya, Satrio Dewandono, pilot Garuda Indonesia yang menerbangkan pesawat Garuda Indonesia jenis Airbus A330-900 dengan nomor penerbangan GA9721 dari Toulouse, Perancis ke Jakarta, pada 17 November 2019. Belakangan pesawat ini diketahui menyelundupkan moge (motor gede) Harley Davidson dan sepeda Brompton yang berujung pada pemecatan Dirut Garuda Indonesia, I Gusti Ngurah Askhara.
Mungkin karena kesal terus-menerus di-bully, al. ada yang mengaitkan keterlibatan Satrio dengan tips (imbalan) lantas Iis pun membandingkan pilot dengan pengemudi Ojol (Ojek Online). Berita di media massa dan media onlie disebutkan bahwa Iis mengatakan pilot bukan supir Ojol.
Iis bandingkan supir Ojol akan minta bintang kalau penumpang sudah diantar sampai di tujuan, bahkan ada penumpang yang berbaik hati memberikan tips. Sedangkan pilot, menurut Iis, tidak seperti itu.
Lagi-lagi Iis membuat perbandingan yang tidak fair karena banyak perbedaan, mulai dari alat trasport dan proses mencari dan mengantar penumpang.
Dalam bahasa lain alm Sartono Mukadis, psikolog di UI, dalam sebuah wawancara dengan penulis di awal tahun 1990-an mengatakan pembandingan yang tidak objektif ibarat mengukur tinggi badan dengan alat timbangan dan menimbang berat badan dengan alat meteran.
Iis memakai pilot untuk mengukur kapabiltas seorang supir Ojol. Jelas keliru. Ngawur. Penulis jadi teringat kepada salah seorang saudara yang bekerja di sebuah maskapai penerbangan plat merah yang selalu membangga-banggakan pilot. Lagi-lagi dibandingkan dengan tukang becak dan sopir angkot.
Seperti yang dikatakan Sartono, Iis memakai (alat) pengukur yang salah. Pesawat terbang tidak mencari penumpang dan pilot tidak berurusan langsung dengan penumpang. Sedangkan supir Ojol berurusan langsung dengan penumpang dan bekerja sendiri. Pilot hanya salah satu bagian dari sebuah sistem penerbangan komersial.
Terkait dengan ada netizen yang mengaitkan Satrio dengan penyelundupan moge dan sepeda yang ada dalam pesawat yang diterbangkan Satrio tentulah tidak sepantasnya dibandingkan dengan supir Ojol karena sama sekali tidak ada keterkaitan keduanya. Lagi-lagi Iis memakai alat ukur yang salah.
Kalau saja Iis lebih arif akan lebih objektif yang dibandingkan sesama pilot di maskapai yang sama atau di maskapai lain. Atau mengungkap kasus keterlibatan pilot dalam penyelundupan. Nah, baru bandingkan dengan Satrio yang sudah bekerja sekian tahun tapi tidak pernah terlibat dalam tindak pidana penyelundupan. Ini baru fair. []