Ibu Kota Malaysia, dari Kuala Lumpur ke Putrajaya

Bagaimana langkah Malaysia memindahkan Ibu Kotanya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya? Cerita berawal pada tahun 1997
Kota Putrajaya. (Foto: Pixabay)

Jakarta - Presiden Joko Widodo berencana memindahkan Ibu Kota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. Jokowi menyebut Malaysia pernah melakukan hal serupa. Lantas bagaimana langkah Malaysia memindahkan Ibu Kotanya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya?

Cerita berawal pada tahun 1997. Saat itu keadaan Kuala Lumpur, tak jauh berbeda dengan Jakarta saat ini yang mengalami problematika kota besar, yaitu banjir, kemacetan, dan kepadatan penduduk.

Lantas, otoritas Malaysia turun tangan mengatasi persoalan tersebut dengan memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur. Saat itu, munculah berbagai nama daerah yang menjadi kandidat pusat administrasi pemerintahan Malaysia. Setelah berbagai pertimbangan lokasi yang dinilai layak adalah Putrajaya.

Putrajaya kemudian resmi menjadi pusat administrasi pemerintahan Malaysia pada tahun 1999. Putrajaya diambil dari penggalan nama Perdana Menteri Malaysia pertama, Tunku Abdul Rahman Putra.

Keputusan kenapa Putrajaya dipilih lantaran jaraknya tidak terlalu jauh dari Kuala Lumpur, sebagai pusat bisnis. Jarak antara dua kota itu hanya 25 kilometer. Alasan lain, populasi Putrajaya saat itu jauh dari kata padat. Rata-rata dipenuhi lahannya luas, bekas perkebunan kelapa sawit.

Infrastruktur administrasi pemerintahan di Putrajaya selanjutnya banjir kritikan. Musababnya pembangunan masif di Putrajaya menelan biaya tinggi di tengah situasi Malaysia yang dihantam krisis ekonomi pada 1997.

Lim Kit Siang, seorang pemimpin partai oposisi, menilai bangunan yang berdiri menjadi kantor administrasi pemerintahan di Putrajaya berlebihan. Dia membandingkannya seperti infrastruktur negara adidaya yang kala itu tidak diterpa krisis moneter.

"Ini lebih besar dari Gedung Putih dan 10 Downing Street disatukan," ujar Lim, dikutip Tagar dari New York Times pada Kamis 2 Mei 2019.

Namun, Perdana Menteri yang memimpin Malaysia kala itu, Mahathir Mohamad, menampik tudingan tersebut. Menurutnya hal itu sah-sah saja.

"Kami sama sekali tidak boros. Seseorang boros jika dia hidup di luar kemampuannya. Seorang miliarder menghabiskan USD 1 miliar dolar, tidak menjadi boros jika dia punya uang. Tetapi jika seseorang adalah seorang jutawan dan menghabiskan seperti miliarder, itu menjadi boros," jawab Mahathir.

Proyek pemindahan pusat adminitrasi pemerintahan Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putrajaya digadang-gadang merupakan ambisi Mahatir. Pasalnya Mahathir mengetahui sistem pemerintahan negaranya akan diubah menjadi e-goverments seperti visi yang dilihatnya dalam dokumen Huxleyan. Menurut dokumen itu, birokrasi akan digantikan sistem internet dan beragam bentuk komunikasi digital lainnya.

"Keputusan untuk membangun Putrajaya adalah ambisius, tetapi itu sesuai dengan pemikiran saat itu," ungkap K.S. Jomo, seorang ekonom asal Universitas Malaya.

Baca juga: 

Berita terkait
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.