Medan - Kelompok Tani dan Nelayan Lestari Mangrove di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, meminta petugas kepolisian menangkap pelaku pencurian kayu bakau.
Mereka juga mendesak eksportir arang di sana segera dihentikan dan meminta DPRD Sumut mengecek lokasi banyaknya aksi pencurian bakau.
"Kami baru selesai rapat dengar pendapat dengan Komisi B DPRD Sumut. Kami mengeluhkan banyaknya pencurian kayu bakau untuk dijadikan arang di lahan yang telah kami kuasai. Kami diberikan izin oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk mengelola 410 hektare kawasan hutan. Namun dua bulan belakangan ini marak pencurian kayu di lokasi," kata Tajudin Hasibuan, perwakilan kelompok tani dan nelayan ditemui Tagar di DPRD Sumut, Jalan Imam Bonjol, Medan, Kamis, 22 Oktober 2020.
Wakil Ketua Bidang Konservasi DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia ini juga mengaku, di desa mereka ada sekitar 104 dapur arang atau tempat pengelolaan kayu bakau menjadi arang milik masyarakat.
Setelah menjadi arang, dijual ke eksportir. Dari ratusan dapur arang itu, hanya satu yang memiliki izin dan itu sudah mereka ungkap dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi B DPRD Sumut dan Pemerintah Kabupaten Langkat.
"Jadi kedatangan kami ke mari, upaya menghentikan kehancuran hutan bakau yang dijadikan arang. Banyak yang tidak memiliki izin untuk dapur arang ini. Aneh juga kalau tidak ada izin tapi beroperasi terus," tuturnya.
Menurutnya, kelompok masyarakat menebang kayu disebabkan adanya pembeli atau penadah. Kalau tidak ada yang membeli pasti mereka tidak akan menebang.
Sumber bahan dasar arang itu jika mengambil lahan di kawasan hutan itu tidak boleh
"Jadi eksportir yang ada di sana harus dihentikan. Dari 104 unit dapur arang di sana, produksi sampai 200 ton per tiga minggu. Artinya dalam waktu dekat, tanaman bakau yang kami tanam selama 13 tahun itu akan habis dibuat mereka," terangnya.
Pengakuannya, kelompok tani telah diberikan izin untuk pemulihan hutan bakau yang telah lama rusak.
Kelompok tani dan nelayan sebagai pemilik izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHK) melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK/987/Menlhk/PKPS/PSL/0/3/2017.
Lahan itu seluas 410 hektare. Kawasan hutan lindung seluas 50 hektare, dan kawasan hutan produksi tetap 360 hektare.
"Jadi umur tanaman itu sudah 13 tahun. Saat ini sudah dalam kondisi pulih. Tapi kemudian menjadi satu hal yang sangat menggiurkan bagi eksportir arang dan mendorong masyarakat untuk melakukan pencurian mangrove di lahan yang telah terbit izinnya kepada kelompok tani. Kami meminta kepada penegak hukum, dinas kehutanan dan DPRD Sumut menghentikan aksi pengerusakan hutan mangrove," terangnya.
Ketua Komisi B DPRD Sumut Viktor Silaen menegaskan, mereka concern membahas kehutanan dan meminta dinas terkait terbuka.
"Kami serius dan concern membahas perhutanan. Dinas Kehutanan kami minta jangan membohongi jumlah luas hutan, padahal nyatanya tidak begitu," katanya.
Untuk masalah di Langkat, politisi Partai Golkar ini mendesak Pemerintah Provinsi Sumut maupun Kabupaten Langkat serius melihatnya.
Dia menduga ada pengusaha yang mengatasnamakan masyarakat, sehingga terjadi pencurian kayu mangrove.
"Kalau masyarakat yang mengelolanya lumayan. Ini pengusaha yang mengatasnamakan masyarakat. Dosanya tiga kali lipat. Sekarang yang harus serius adalah dari dinas, kami akan meninjau ke lokasi. Hutan harus dijaga jangan dirusak," terangnya.
Asisten III Pemerintahan Kabupaten Langkat Hermansyah menyebut, terkait dapur arang yang tidak mengantongi izin, akan dilihat sejauh mana kewenangan pemerintah setempat.
"Jadi untuk Kabupaten Langkat, kami lihat dulu di mana kewenangan kami. Menurut saya, sumber bahan dasar arang itu jika mengambil lahan di kawasan hutan itu tidak boleh dan kami tidak akan memberikan izin. Sejauh ini mereka tidak memiliki izin," terangnya.[]