Untuk Indonesia

HTI Menginjak-injak Hukum

Demi hukum, seharusnya apa pun yang menjadi atribut dan aktivitas organisasi terlarang ini adalah pelanggaran. - Ulasan Eko Kuntadhi
Atribut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). (Foto: Detik/Mindra Purnomo)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Sepertinya hukum tunduk diinjak-injak kelompok ekstrim. UU dan pengadilan telah secara sah membubarkan HTI sebagai  ormas. Demi hukum, seharusnya apa pun yang menjadi atribut dan aktivitas organisasi terlarang ini adalah pelanggaran.

Begitulah logika formal hukumnya.

Apalagi Hizbut Tahrir (HT) sebagai organisasi induk HTI adalah organisasi yang punya jejak berdarah di berbagai negara dunia. Rakyat Libya jelas merasakan bagaimana jaringan HT mengompori kekacauan yang pada akhirnya menjatuhkan rezim Khadafi.

Negara Afrika yang tadinya terhitung paling makmur, kini menjadi negara paling beringas dan kacau. Pengganti Khadafi adalah boneka. Rakyat sengsara dan sumber daya Libya dikeruk habis oleh korporasi raksasa AS.

Di banyak negara Hizbut Tahrir juga meninggalkan jejak melakukan kudeta. Wajar saja jika keberadaan organisasi sempalan Ikhwanul Muslimin ini diharamkan. Saudi Arabia dan Turki mengkategorikan HT sebagai organisasi teroris. Malaysia dan Singapura juga melarang mereka berdiri.

Baca juga: Insiden Pembakaran Bendera, JK Ajak Seluruh Masyarakat Menahan Diri

Sayangnya selama 10 tahun pemerintahan SBY, organisasi penyuplai teroris ini dibiarkan bebas bergerak. Mereka membesar di berbagai kota. Kota-kota yang sejak dulu akrab dengan ideologi DI/TII adalah basis HTI. Perubahan Barat merupakan salah satu tempat subur kelompok ini.

Kenapa HTI dilarang UU? Karena tujuan mereka mau menghancurkan Indonesia. Mau meluluhlantakan bangsa ini, dan mengubahnya hanya menjadi lingkungan sekelas kelurahan. Sebab tujuan mereka mengangkat seorang pemimpin (Khalifah) dan Indonesia harus tunduk patuh di dalamnya.

Siapa Khalifahnya? Gak jelas. Di mana dia berada? Gak tahu. Apa kreterianya, mbuh!

Jadi negeri yang telah diperjuangkan oleh darah para pahlawan, oleh mereka ingin dirusak begitu saja. Dirobohkan. Dipaksa tunduk pada kekuasaan Khalifah yang belum diketahui siapa.

Orang waras manapun pasti menolak konsep amburadul tersebut.

Mereka berlindung di balik nama agama untuk menyorongkan niat busuknya. Padahal sampai sekarang tidak ada satu negara pun yang bisa menjadi bukti Hizbut Tahrir sukses membangun kesejahteraan masyarakat. Masa' sih, kita mau diajak ke sebuah sistem yang belum pernah ada bukti keberhasilannya sama sekali.

Tidak ada negara yang secara sadar mau mengikuti arah Hizbut Tahrir. Itu sama saja bunuh diri. Mana ada negara yang rela eksistensinya dihilangkan begitu saja dari peta dunia.

Indonesia juga negara rasional. Mana mau mengikuti seruan berbungkus agama padahal cuma mimpi siang bolong. Jadi secara hukum sangat wajar jika Indonesia melarang oraganisasi yang tujuannya mau menghancurkan bangsa ini. Sama seperti Anda yang pasti menghalau perampok yang mau merampok rumah Anda.

Harusnya ketika palu hakim sudah diketuk dan UU sudah disahkan, semua sepak terjang HTI diharamkan. Diberangus. Dihancurkan. Itulah cara menegakkan hukum.

Tapi apa yang terjadi. Di Garut, anggota Banser sedang melaksanakan perayaan hari santri. Seorang simpatisan HTI mengibarkan bendera itu. Tentu ini mengundang kemarahan. Banser merampas bendera itu lalu dibakar.

Kenapa bendera itu diberangus? Sebab semua warga negara tidak ada yang rela perampok mengibarkan bendera kelompok rampok di rumahnya.

Tapi isu soal itu digoreng. Kebetulan bendera HTI mirip dengan bendera ISIS dan Alqaedah, semuanya menggunakan kalimat tauhid sebagai simbol. Nah, dengan itulah kelompok ini membodohi rakyat untuk memprotes Banser.

Tapi Indonesia saat ini menjelang Pilpres. Akhirnya suasana politik itu juga yang menghangatkan suasana.

Kita tahu, jika berpikir sehat, Pemilu semestinya menjadi ajang setiap calon untuk menjajakan ide dan gagasan. Untuk menawarkan track record dan kemampuan. Untuk menampilkan visi misinya. Rakyat yang waras akan memilih pemimpin berdasarkan pertimbangan siapa di antara mereka yang paling mampu dan kapabel.

Tapi sialnya, ada satu Capres yang memang gak punya prestasi untuk ditonjolkan. Gak punya track record yang baik. Lahir dari seorang bapak yang pernah mengkhianati NKRI dengan pemberontakan PRRI/Permesta.

Jika saja dia bertarung dalam suasana normal, pasti rakyat akan malas dipimpin oleh orang yang gak punya prestasi untuk ditawarkan. Karena itu jalan satu-satunya untuk menang adalah dengan menunggangi kekacauan. Semakin besar kekacauan akan semakin bagus. Semakin besar peluangnya untuk menang.

Di sinilah dua kepentingan bertemu. HTI memang berharap Indonesia hancur. Sementara pendukung Capres minim prestasi juga berharap terjadi kekacauan.

Wajar saja jika demo membela bendera HTI juga diselingi oleh teriakan ganti Presiden. Para pengacau bertemu di sini untuk kerusuhan Indonesia.

Ketika organisasi terlarang sekelas PKI terang-terangan menunjukkan kekuatan, sementara aparat hukum diam saja. Ini adalah kecelakaan. Bagaimana mungkin aparat yang di tangannya diserahkan penegakkan hukum tunduk pada HTI. Bagaimana mungkin di depan hidung aparat mereka memamerkan kekuatan dengan mengibarkan bendera ormas terlarang itu.

Kita tahu. Bahwa isu agama memang masih sensitif di Indonesia. Jika salah penanganan akan membahayakan masa depan bangsa ini. Tetapi mendiamkan saja organisasi itu berbuat semau-maunya sama saja dengan membiarkan hukum diinjak-injak.

Polisi, TNI dan seluruh perangkat hukum semestinya adalah lembaga yang paling depan menegakkan hukum. Kalau palu pelarangan sudah diketuk, jangan lagi membiarkan mereka berbuat semaunya.

Tanpa hukum yang tegas, bangsa ini tidak akan beranjak maju. Para pengacau akan terus memanfaatkan kelemahan kita. Apalagi dengan membawa-bawa agama.

Sebagai komponen bangsa yang mencintai tanah airnya tindakan anggota Banser yang memberangus bendera organisasi terlarang rasanya sudah pas. Jika tidak ada yang mencegah kelompok HTI berulah, masa depan negeri ini akan jadi taruhannya.

Jika aparat diam, rakyat akan terus menghalau setiap gerakan yang ingin menghancurkan NKRI.

Tidak ada tempat buat para perusuh. []

*Eko Kuntadhi Pegiat Media Sosial

Berita terkait
0
Dua Alasan Megawati Belum Umumkan Nama Capres
Sampai Rakernas PDIP berakhir, Megawati Soekarnoputri belum mengumumkan siapa capresnya di Pilpres 2024. Megawati sampaikan dua alasan.