Hidup Anak Papua di Tanah Rantau

Asrama mahasiswa Yahukimo Papua terletak di kawasan Batu Ampar, Kramat Jati, Jakarta Timur, di perkampungan menyatu dengan warga sekitar.
Asrama Mahasiswa Yakuhimo Papua di Kawasan Batu Ampar, Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu, 21 Agustus 2019. (Foto: Tagar/Moh. Ainul Yaqin)

Jakarta - Asrama mahasiswa Yahukimo Papua terletak di kawasan Batu Ampar, Kramat Jati, Jakarta Timur, di perkampungan yang menyatu dengan warga sekitar. Tidak ada yang aneh ketika melihat rumah berukuran cukup lebar sekitar 120 meter persegi ini. Persisnya berjarak satu rumah dari jalan dengan menjorok ke dalam.

Pertama kali memarkir kendaraan di depan asrama, terlihat sejumlah anak asal Papua sedang duduk-duduk di teras saling bercanda gurau. Lima mahasiswa dengan baju santai nampak bermain game menggunakan gadget.

Setelah kejadian kerusuhan yang terjadi di sejumlah wilayah di Papua atas reaksi kemarahan karena insiden ucapan rasisme di Surabaya dan Malang, saya agak khawatir akan mendapat perlakuan tidak enak ketika mendatangi asrama mahasiswa Yahukimo ini.

Tatapan mata mereka tertuju kepada saya, orang tak dikenal yang datang menghampiri. Setelah menyapa dan mengutarakan maksud, saya diterima, dipersilakan duduk di teras.

Namanya Gideon M Adii, 21 tahun, asal Kabupaten Yahukimo, Papua. Sudah sejak tiga tahun lalu, dirinya datang ke Jakarta untuk melanjutkan studi usai menamatkan SMA di kampung halaman. Sesampai di Jakarta, Gideon menempati asrama mahasiswa Yahukimo di Jalan Mesjid Condet, kawasan Batu Ampar, Kramat Jati, Jakarta Timur. Namun, ia enggan memberi kesempatan untuk melihat-lihat suasana di dalam asrama.

Di asrama ini setiap penghuni tidak lagi dibebankan untuk membayar sewa, sebab sejak 2006 Pemerintah Kabupaten Yahukimo telah melunasi pembelian rumah itu. Para penghuni hanya diwajibkan menjaga dan merawat, karena tidak ada petugas kebersihan yang melayani mereka. Totalnya ada 7 kamar di dalam rumah itu.

Hingga saat ini ada sekitar 30 mahasiwa Papua yang menempati rumah tersebut, empat di antaranya perempuan. Dari jumlah tersebut, semuanya tidak kuliah di satu kampus, tapi menyebar di seluruh Jakarta.

Kami sejak dari rumah sudah diajarkan mandiri. Jadi kami tidak heran saat hidup jauh dari kampung.

PapuaJimmy dan Gideon, mahasiswa asal Yahukimo, Papua, di asrama mahasiswa di kawasan Batu Ampar, Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu,21 Agustus 2019. (Foto: Tagar/Moh. Ainul Yaqin)

***

Untuk makan, mereka sepakat iuran setiap hari untuk belanja dan bergilir piket memasak.

"Kami sejak dari rumah sudah diajarkan mandiri. Jadi kami tidak heran saat hidup jauh dari kampung," kata pemuda berusia 21 tahun itu, Jakarta, 21 Agustus 2019.

Gideon, memperbaiki posisi duduk seolah siap berbicara kepada saya. Sebelumnya ia duduk menyila agak jauh yang kemudian ambil posisi mendekat dengan merapatkan kaki berlutut.

Ia saat ini tercatat sebagai mahasiswa aktif jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Kristen Indonesia

Gideon pada mulanya bersama beberapa teman sekampung, bertekad berangkat ke Jakarta. Pemerintah Kabupaten Yahukimo mengarahkan mereka untuk tinggal di asrama.

Untuk tiba di kampus, ia harus menumpang sepeda motor sekitar 25 menit. Namun kalau tidak ada motor, ia pesan ojek online karena hanya ada beberapa motor saja di asrama.

Dalam ceritanya, jauh dari orang tua dan rumah bukan suatu kesedihan, meski terkadang dirasakan muncul kerinduan untuk bertemu orang yang disayanginya.

Kendati demikian, ia jarang menelepon orang rumah karena malu dianggap cengeng sebagai laki-laki. Ayah Gideon bekerja sebagai pegawai negeri sipil, sementara ibunya mengurus rumah tangga.

Selama merantau, kebutuhan sehari-hari mengandalkan kiriman uang dari ayahnya. Termasuk untuk biaya kuliahnya yang per semester harus membayar Rp 9 juta. 

Setidaknya per bulan untuk makan ia harus menyiapkan Rp 700 ribu lebih belum termasuk biaya tugas kuliah dan pengeluaran lain yang tak terduga.

Sebenarnya, katanya, Pemerintah Kabupaten Yahukimo menyediakan bantuan per tahun, tapi tidak banyak, hanya Rp 1,6 juta per tahun.

"Kalau tidak ada uang, kami biasa gadai laptop, HP. Karena tidak ada uang sama sekali dan belum dikirim," katanya.

Kalau tidak ada uang, kami biasa gadai laptop, HP. Karena tidak ada uang sama sekali dan belum dikirim.

PapuaAsrama mahasiswa Papua di kawasan Batu Ampar, Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu,21 Agustus 2019. (Foto: Tagar/Moh. Ainul Yaqin)

***

Sebentar lagi Gideon akan menginjak semester tujuh, artinya tidak lama lagi akan menyusun tugas akhir sebagai syarat kelulusan. Usai wisuda, ia tak mau lagi berlama-lama di perantauan. Ia mengingat baru dua kali pulang kampung selama tiga tahun di Jakarta.

Tidak hanya kuliah, mahasiswa Papua di Jakarta juga mengasah skill berorganisasi, seperti bergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Ikatan Pelajar Mahasiswa Yahukimo (IPMY).

Dalam Anggaran Dasar AMP, mahasiswa Papua yang kuliah di luar Papua diberi waktu tiga bulan setelah wisuda untuk segera kembali pulang dan berjuang memerdekakan Papua. Jika itu dilanggar maka akan dikeluarkan dari keanggotaan organisasi, tidak diperkenankan menempati asrama mahasiswa.

Setelah pulang, Gideon tidak ingin bekerja seperti ayahnya yang megabdi kepada negara. Ia ingin mengabdi kepada masyarakat Papua dan berjuang bersama memerdekakan negara Papua. Ayahnya membebaskan dirinya akan seperti apa ke depan.

Gideon ingin Papua merdeka karena menurutnya selama ini orang Indonesia tidak memperlakukannya selayaknya sesama warga negara, tetapi menjajah. 

Ia menceritakan sejarah Papua yang didapatkan ketika diskusi di organisasi, bahwa pada dasarnya tahun 1969 ketika diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), wilayah Papua sebenarnya bukan bergabung, tetapi dicaplok untuk dipaksa gabung dengan Indonesia.

Pepera 1969 penuh dengan dusta dan kecurangan, katanya. Dari sekitar 800.000 penduduk Papua saat itu hanya sekitar 1000 yang bisa memberikan suara untuk memilih antara Indonesia dan merdeka. 1000 orang itupun telah diintimadasi oleh TNI untuk memilih gabung Indonesia.

"Permasalahan Papua akan selesai hanya satu solusi, Papua merdeka," katanya.

***

Ada juga Jimmy yang juga satu jurusan di kampus UKI dengan Gideon. Jimmy tidak tinggal di asrama. Ia memilih sewa kos di daerah Cawang, Jakarta Timur, dekat kampus UKI.

Saat itu, ia kebetulan sedang mengunjungi Gideon di asrama. Sudah menjadi kebiasaan mahasiswa Papua di perantauan saling mengunjungi. Menurutnya, itu sebagai pelepas penat ketika sedang tidak ada kegiatan.

Selama tiga tahun di Jakarta, Jimmy baru satu kali pulang kampung. Hal itu disebabkan karena mahalnya harga tiket pesawat. Ia memilih tinggal di kos agar lebih dekat kampus.

"Saya ingin jadi arsitek pembangunan provinsi, sesuai jurusan," katanya saat ditanya ingin menjadi apa kalau sudah kembali ke Papua.

Ia tidak sendirian di kamar kos. Teman-teman sesama asal Papua ada yang tinggal bersamanya. Pola hidupnya tidak jauh berbeda dengan di asrama yang kesehariannya iuran untuk kebutuhan sehari-hari.

***

Sementara itu, menurut penuturan warga sekitar, mahasiswa Papua tidak ada yang berbeda dengan orang lain. Seorang ibu dua anak yang tak mau disebutkan namanya, menyebut anak-anak Papua sering belanja di warungnya.

"Beli apa aja sesuai kebutuhan. Ya, rokok, jajan, minuman. Ya apa yang dibelilah," katanya.

Kendati demikian, ia menceritakan sejumlah kejadian yang pernah ramai yang dibuat oleh mahasiswa Papua. Sekitar bulan Desember 2018 Forum Betawi Rempug (FBR) sempat menggeruduk asrama Papua disebabkan salah satu gadis Betawi pernah dipermainkan salah satu anak Papua. Namun sayang ia lupa cerita persisnya.

"Ramai sekali, tentara, polisi semua datang. Lah, yang geruduk bawa parang macam-macam kok," ujar ibu itu.

Kejadian itu akhirnya diselesaikan dengan cara musyawarah, setelah berjalan alot degan sejumlah perjanjian yang disepakati kedua belah pihak. Sayangnya lagi ia tidak tahu apa keputusan jelasnya.

Sempat juga rama-ramai menenggak minuman keras hingga membuat keributan. Bahkan pernah membuat keributan di warungnya dan hampir berkelahi dengan suaminya. Setelah itu dipanggilkan polisi dan mahasiswa Papua berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.

"Tapi tidak semua seperti itu, hanya beberapa lah, Mas," ujarnya. []

Berita terkait
Tiga Wanita Cantik Asal Papua
Selain menyimpan sejuta keindahan alam, Tanah Papua juga melahirkan banyak sekali wanita berparas cantik dan berprestasi.
Lima Makanan Ekstrem di Papua yang Jarang Diketahui
Papua memiliki daya tarik pada cita rasa makanan yang eksotis, mungkin bagi sebagian orang akan mengatakan menjijikkan.
Kehidupan Pelajar Papua di Tegal Jawa Tengah
Anak-anak asal Papua yang sedang menempuh pendidikan di Tegal, Jawa Tengah, menceritakan situasi psikologis di tengah kabar Papua bergejolak.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.