Medan - Petani kelapa sawit mengharapkan pemerintah segera membebaskan lahan pertanian warga yang dinyatakan masuk kawasan hutan.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, mengatakan, penetapan kawasan hutan dilakukan secara sporadis serta mengabaikan aspek kehidupan warga yang bersumber dari lahan tersebut.
Yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan itu hanya printer dan bantal stempel.
"Kalau kita melihat waktu yang lampau tidak ada ketegasan hutan pada masa itu. Sementara saat ini setelah dikelola menjadi sawit dengan ketergantungan ekonomi 100 per 100 makan harus dibebaskan. pemerintah harus mengeluarkan dari kawasan hutan, " ucapnya di Medan, Rabu, 9 Oktober 2019.
Menurutnya, banyak petani membeli lahan yang sebelumnya tidak ditetapkan sebagai hutan. Sebagai contoh, saat ini sedikitnya 56% lahan di Riau yang dikelola petani dinyatakan masuk kawasan hutan. Jika dirinci 56% sekitar 1,4 juta hektare. Apabila masing-masing petani mengelola 4 hektare, maka lebih dari 200 ribu petani berada di kawasan hutan.
"Itu di Riau, kalau Indonesia secara keseluruhan ada sekitar 38%. Angka ini cukup tinggi dan sangat mengkhawatirkan para petani. Terlebih setelah ada regulasi penolakan pembelian hasil panen sawit dari lahan yang disebut kawasan hutan, " ujarnya.
Gulat mengharapkan pemerintah segera membebaskan lahan pertanian sawit warga. Karena tidak ada kerugian negara dengan pembebasan lahan tersebut.
"Yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan itu hanya printer dan bantal stempel. Ditetapkan dan dibebaskan, " katanya.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Apkasindo Sumut, Gus Dalhari Harahap menambahkan, banyak aturan yang timpang tindih. Contohnya lahan warga yang sudah bersertifikat sekalipun ditetapkan kementerian sebagai kawasan hutan. Padahal kawasan itu sudah dikelola secara turun temurun.
Contohnya di daerah Tapanuli bagian selatan yang dikelola sebagai lahan sawit, masuk sebagai kawasan hutan.
"Termasuk lahan yang sudah bersertifikat. Padahal simbol negara disertifikat itu sama-sama garuda. Ini sangat memprihatinkan," ucapnya.
Hal lain yang sangat memprihatinkan, katanya, pemekaran wilayah tidak disertai perubahan kawasan. Masih di Tapanuli bagian selatan yang dulu satu kabupaten, sekarang menjadi beberapa kabupaten. Namun, penetapan hutan juga tidak dirubah. Bahkan kantor kepala daerah masuk menjadi kawasan hutan.
"Berarti penetapan dengan sejumlah kebijakan di waktu lakukan tidak benar. Ketentuan 30% hutan membingungkan. Bahkan untuk memenuhi kuota 30% kampung warga yang sudah ditempati jauh sebelum zaman kolonial juga masuk, " ucapnya. []