Jakarta - Politikus dianggap tidak setia dengan partai politik. Indikasinya mudah keluar masuk dalam kepengurusan partai meski tidak ada urgensi. Sebagai kader, politikus seharusnya tetap bertahan dalam gerbong partai meski godaan menerpa.
"Berpartai itu seperti berumah tangga, tidak selalu merasakan enaknya, ada kalanya kita berada di bawah, tidak selalu partai mengalami posisi di atas. Ada juga yang tidak enaknya, tapi kita harus membuktikan kesetiaan kita," ucap Politikus Partai Demokrat Jansen Sitindaon kepada Tagar, Senin 7 Oktober 2019.
Jansen menilai tidak loyalnya elite bisa tergambar lewat niat untuk mengambil keuntungan dari kesempatan di depan mata demi diri sendiri. Akibatnya gonta-ganti partai sah-sah saja, tak berpegang teguh pada prinsip tertentu.
"Bisa karena tidak loyal, kesetiaannya dipertanyakan publik, itu pasti dinilai juga bagaimana di partai, apa oportunis enggaknya," kata dia.
Itulah akibat berpolitik tidak dengan ideologi. Yang di kedepankan politik kepentingan dan pragmatisme sesaat. Yang dikejar hanya jabatan dan wibawa.
Meski begitu, Jansen tak mempersoalkan politikus yang kerap bermigrasi ke partai lain. hal itu lumrah dalam dinamika politik di Indonesia. Kendati sebenarnya partai pertama telah berjasa membentuk elite berkembang menjadi maju dan besar.
"Hal yang biasa, kalau saya kembali lagi ke individualnya masing-masing. Biarkan publik yang menilai bagaimana sikap dari orang tersebut," kata Jansen.
Pernyataan serupa disampaikan pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin. Menurut Ujang, gonta-ganti partai ibarat 'kutu loncat' sudah menjadi tradisi dalam perpolitikan Tanah Air yang pragmatis. Partai diibaratkan kendaraan politik semata dalam kurun waktu jelang hingga akhir pesta demokrasi.
"Sesungguhnya mencerminkan perilaku politik yang tidak etis. Tidak konsisten dengan garis perjuangan partai," kata Ujang kepada Tagar.
Dalam menerapkan sistem kepartaian, lanjut Ujang, seharusnya politikus memahami sepenuhnya ideologi yang diusung partai. Bila gonta-ganti partai untuk menjembatani elite mengejar jabatan dan wibawa maka nilai-nilai moralitas dalam berpolitik tergerus. Nilai kesetiaan menjadi menggelayut rapuh gampang dirobohkan.
"Itulah akibat berpolitik tidak dengan ideologi. Yang dikedepankan politik kepentingan dan pragmatisme sesaat. Yang dikejar hanya jabatan dan wibawa," kata Ujang.
Kaderisasi partai menjadi pondasi utama lainnya. Sistem kaderisasi dalam partai di Indonesia, kata Ujang, belum terstruktur dengan baik. Proses rekrutmen hingga ke akar rumput terabaikan. Saat pesta demokrasi digelar, akhirnya partai mencari solusi, hingga muncul istilah "pemimpin instan".
Sebab itu partai perlu memperbaiki pola yang ada dalam sistem kepengurusan partai masing-masing. Sikap menganggap kaderisasi memakan waktu dan membutuhkan biaya untuk mencetaknya, kata Ujang, sepatutnya dihilangkan sehingga tak ada lagi "pemimpin instan". Mereka yang mempunyai dana atau nama yang tenar tak lagi menjadi jawaban cepat terkait permasalahan partai.
"Di tubuh partai juga tak ada kaderisasi yang bagus. Justru yang bagus terkadang terbuang dan digantikan dengan yang punya uang. Partainya sendiri yang harus bersih dan harus bagus," tutur dia.