Golput adalah Tidak Nasionalis

Mendekati momen pencoblosan pada 17 April 2019, rasa nasionalis kembali diuji, angka pemilih golput masih tinggi.
Pekerja menyortir dan melipat surat suara pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di kantor KPU Solo, Jawa Tengah, Senin (25/3/2019). KPU Solo mempekerjakan 246 orang untuk proses sortir dan pelipatan 430.439 lembar surat suara DPD sedangkan untuk surat suara calon anggota DPR dan DPRD belum menerima. (Foto: Antara/Mohammad Ayudha)

Jakarta, Tagar (3/4/2019) - Mendekati momen pencoblosan pada 17 April 2019, rasa nasionalis kembali diuji. Ditengarai jumlah yang tidak ingin berpartisipasi pada pemilu 2019 atau angka pemilih golput masih tinggi. Hal itu dinilai dapat menjadi batu sandungan bagi capres petahana Joko Widodo (Jokowi) untuk melaju mulus dalam rematch kedua melawan capres oposisi Prabowo Subianto.

Maka itu, calon presiden nomor urut 01 Jokowi mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi 5 tahunan ini. Dia meminta masyarakat untuk menentukan pilihannya, asal tidak menjadi golongan putih atau golput.

"Jangan sampai ada satu orang pun di antara kita yang golput," kata Jokowi saat berkampanye di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (2/4).

Presiden Jokowi membeberkan, untuk melaksanakan Pemilu dan Pilpres 2019 pemerintah telah menganggarkan Rp 25 triliun. Ia mengimbau pada masyarakat untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan menggunakan hak pilihnya.

"Saya ingin mengajak kita semua agar untuk bersama-sama datang ke TPS menggunakan hak pilihnya. Karena ini menyangkut, sekali lagi, menyangkut anggaran yang triliunan, Rp 25 triliun," ujar mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Jokowi menegaskan bila ada desas-desus menyoal pernikahan sesama jenis dilegalkan, adzan tidak lagi berkumandang, penghapusan pendidikan agama bila ia terpilih lagi adalah kabar bohong alias berita hoaks.

Lebih lanjut kata Presiden, angka masyarakat Indonesia yang kadung terpapar hoaks mendiskreditkannya saat ini mencapai angka yang cukup tinggi. Maka itu, perlu ia tangkal isu-isu yang merugikan Jokowi.

"Penghapusan pendidikan agama itu bohong. Legalisasi pernikahan sesama jenis itu hoaks. Adzan akan dilarang apabila saya terpilih lagi itu fitnah. Ini harus diluruskan, bantu saya luruskan ini karena 9 juta orang percaya isu seperti ini," ujar dia.

Sebelumnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi mengungkapkan sejumlah langkah untuk menekan angka golongan putih (golput) di Pemilu 2019. Pertama, KPU akan memasifkan sosialisasi Pemilu 2019 dengan berbagai cara.

"Kegiatan sosialisasi kita kan semakin masif agar pemilih mau menggunakan hak pilihnya," ujar Pramono Ubaid Tanthowi di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta, Selasa (19/3).

KPU telah melakukan berbagai sosialisasi pemilu melalui berbagai aktivitas, seperti diskusi, kerja sama dengan lembaga terkait, penyebaran spanduk dan stiker.

Bahkan, KPU telah membuat film Suara April untuk mendorong pemilih milenial berpartisipasi di Pemilu 2019. Rencana film ini akan diputar di setiap daerah oleh KPU daerah. Tak hanya itu, ke depan KPU akan melakukan sosialisasi melalui tempat-tempat ibadah dan bekerja sama dengan tokoh agama.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, menyebut warga yang golput sebagai pengecut. Mega menganggap para golput adalah orang yang tidak memiliki pendirian.

Di hadapan ribuan peserta kampanye terbuka PDIP di GOR Pandawa Solo Baru, Sukoharjo, Mega lantang menyebut warga Indonesia yang golput tidak memiliki harga diri.

"Jangan golput. Golput itu pengecut, tidak punya pendirian, tidak punya harga diri, tidak usah jadi warga negara Republik Indonesia," katanya.

Menurut Mega, orang yang tidak berpartisipasi pada pesta demokrasi terindikasi tidak berjiwa nasionalis.

"Kalau orang siap sedia tidak memilih terus dia hidup di mana? Hidup di tanah siapa? Terus enak-enakan mencari rezeki di Indonesia, tetapi tidak mau menjalankan kewajiban dia sebagai warga negara sekali lagi Republik Indonesia," kata Mega.

Lebih lanjut ia menilai, warga negara Indonesia baik tua maupun muda yang tidak datang ke TPS justru tergolong sebagai orang pengecut.

"Saya akan mengatakan baik yang tua maupun yang muda, kalian adalah warga negara yang pengecut, tidak berani datang ke TPS menunjukkan harga dirinya," tandasnya. []

Berita terkait