Geopolitik di Asia Terguncang Karena Invasi Rusia Terhadap Ukraina

Pemerintah-pemerintah di seluruh Asia bergabung dengan pemberlakuan sanksi internasional, atau memberlakukan sanksi mereka sendiri, terhadap Rusia
Aktivis memegang plakat dalam aksi unjuk rasa memprotes invasi Rusia ke Ukraina, di dekat Kedutaan Besar Rusia di Tokyo, Jepang, 25 Februari 2022 (Foto: voaindonesia.com - Charly TRIBALLEAU/AFP)

Seoul – Pemerintah-pemerintah di seluruh Asia bergabung dengan pemberlakuan sanksi internasional, atau memberlakukan sanksi mereka sendiri, terhadap Rusia setelah invasinya ke Ukraina. Langkah negara-negara itu itu lebih dari sekadar sebagai sekutu AS. Bahkan, beberapa negara yang berusaha bersikap politik yang lebih netral ikut mengutuk agresi Rusia. William Gallo melaporkannya untuk VOA.

Terakhir kali Singapura memberlakukan sanksi sepihak terhadap negara lain adalah 44 tahun yang lalu. Ketika itu Singapura menghukum Vietnam karena menyerang Kamboja, yang waktu itu disebut Kampuchea.

Namun minggu ini, Singapura mengumumkan sanksi terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina. Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, mengatakan masalah ini menyerang “hak untuk hidup dan makmur” negara-negara kecil.

Lim Tai Wei mengajar di Universitas Nasional Singapura. Dia mengatakan Singapura adalah salah satu dari banyak negara kecil yang merasa rentan jika tatanan dunia saat ini tidak dilindungi. “Invasi ini merampas kedaulatan dengan sangat serius. Logikanya adalah, jika negara yang rentan dapat ditaklukkan, maka itu bisa terjadi pada negara kecil lainnya juga,” tuturnya.

Bukan hanya Singapura. Banyak negara dengan perekonomian terbesar di Asia Timur mulai dari Jepang hingga Korea Selatan hingga Australia, mengumumkan sanksi serupa.

Jepang mengutuk Rusia dengan sangat keras. Dalam pernyataannya, Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, mengatakan kepada Presiden Ukraina bahwa dia mendukung Ukraina dan menawarkan dukungan tak tergoyahkan demi kedaulatan dan integritas wilayah Ukraina.

Sentimen anti-Rusia tidak dinyatakan secara bulat di Asia. Yang paling menonjol, China dan Korea Utara telah membela Rusia, dengan mengatakan bahwa akar penyebab konflik terletak pada Amerika Serikat (AS). Di Asia Tenggara, sebagian besar pemerintah tetap diam.

Pekan lalu, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), merilis pernyataan tentang Ukraina yang intinya menahan diri untuk tidak menyatakan tindakan Rusia itu sebagai “invasi.” Bahkan, pernyataan itu sama sekali tidak menyebut Rusia.

Lim Tai Wei mengatakan bahwa ASEAN bersikap demikian karena banyak negara anggotanya memiliki hubungan ekonomi dan militer yang kuat dengan Rusia sejak Perang Dingin.

“Beberapa negara anggota ASEAN memiliki hubungan yang sangat erat, tradisional, dan lama dengan Rusia. Jadi, negara-negara itu akan sedikit lebih berhati-hati. Jadi, dalam hal ini, suara sekutu-sekutu AS seperti Jepang dan Korea Selatan dan mitra strategisnya seperti Singapura, mungkin lebih cepat dalam pemberlakuan sanksi terhadap Rusia,” jelasnya.

Namun, bahkan di antara sekutu-sekutu Amerika, situasi Ukraina sekarang dapat mengubah hubungan dengan Rusia. Baik Korea Selatan maupun Jepang telah mengupayakan hubungan yang lebih baik dengan Moskow. Upaya itu kini tampaknya terancam.

Duta Besar Rusia untuk Seoul minggu ini mengatakan bahwa hubungan Rusia-Korea Selatan telah meningkat selama 30 tahun. Sekarang, katanya, berbagai hal tampaknya telah “berubah arah.” (lt/jm)/voaindonesia.com. []

Amerika dan Sekutu Eropa Siapkan Sanksi Terhadap Rusia

Sanksi yang Bertubi-tubi Diprediksi Akan Runtuhkan Ekonomi Rusia

Sanksi Keuangan Jadi Salah Satu Pilihan untuk Hukum Rusia

Rusia Sudah Didepak dari Sistem Perbankan Global SWIFT

Berita terkait
Amerika Putuskan Akses Rusia Terhadap Dolar
Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) mengambil langkah terkuatnya untuk memutus akses Rusia pada aset-asetnya