Jakarta - Direktorat Jendral Badan Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Dirjen Badilag MARI), Aco Nur mengatakan, perceraian di Pulau Jawa meningkat yang disebabkan pandemi Covid-19.
Aco menduga hal itu dilatarbelakangi faktor ekonomi, di mana banyak pencari nafkah harus menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) di saat pandemi ini.
Jadi pendaftaran (cerai) April dan Mei tertunda sehingga menumpuk ketika mulai 'new normal'
"Akibat Covid-19 kan banyak di-PHK, sehingga ekonomi enggak berjalan lebih baik. Hal itu membuat Ibu-ibu enggak mendapat jaminan dari suaminya," ujar Aco kepada wartawan di Jakarta, dikutip Tagar, Sabtu, 29 Agustus 2020.
Baca juga: 70 Persen Perceraian di Sulbar Akibat Ekonomi
Dalam catatannya, mayoritas penggugat cerai yang masuk dalam daftar pengadilan agama berasal dari istri, dan hal itu pun dilandasi faktor ekonomi. Penggugat perceraian terbanyak di Pulau Jawa khususnya di Provinsi Jawa Barat, kemudian di kota Semarang, dan Surabaya, Jawa Timur.
Aco memaparkan, saat awal penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada April dan Mei 2020, perceraian di Indonesia di bawah 20.000 kasus. Namun, pada bulan Juni dan Juli 2020, jumlah perceraian meningkat menjadi 57.000 kasus.
Baca juga: Covid-19, Ribuan Perceraian Terjadi di Kota Tangsel
Menurutnya, penutupan pengadilan selama PSBB juga memberi pengaruh dalam peningkatan kasus perceraian di pengadilan agama, akibat pergeseran pendaftaran cerai di bulan April dan Mei ke bulan Juni dan Juli.
"Jadi pendaftaran April dan Mei tertunda sehingga menumpuk ketika mulai 'new normal'," ujarnya. []