Fintech, Solusi Atau Beban?

Kehadiran start up fintech khususnya jenis peminjaman (lending) bisa menjadi solusi masalah pembiayaan.
Diskusi mengenai keamanan Fintech di Jakarta, Selasa, 9 Juli 2019. (Foto: Tagar/Thio Pahlevi)

Jakarta – Kehadiran perusahaan rintisan (start up) berbasis teknologi keuangan (financial technology - fintech) memberikan alternatif kemudahan akses layanan keuangan. Fintech khususnya jenis peminjaman (lending) mendapat respon positif dari masyarakat. Kemudahan persyaratan dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah pembiayaan. Namun tanpa sadar kemudahan itu bisa menjebak masyarakat pada pola konsumtif sehingga bukannya menjadi solusi tapi malahan beban.

Pesatnya perkembangan teknologi digital telah merubah kehidupan dan perilaku masyarakat. Hal itu terlihat dari semakin tingginya akses masyarakat terhadap internet. Salah satu indikatornya adalah jumlah pengguna ponsel pintar (smartphone) di Tanah Air yang saat ini sudah mencapai 371,4 juta pengguna atau 142 persen dari total populasi sebanyak 252 juta jiwa.

Semakin tingginya akses masyarakat terhadap internet membuka peluang akses bisnis fintech yang lebih luas. Perusahaan rintisan (start up) di bidang teknologi keuangan ini terus mengalami pertumbuhan. Berdasarkan data publikasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejak 2017 sampai dengan 7 Agustus 2019 total jumlah penyelenggara fintech yang terdaftar dan berizin sebanyak 127 perusahaan. Berdasarkan data Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), mayoritas perusahaan fintech didirikan pada kurun waktu 2015-2017. Saat ini AFTECH beranggotakan 235 fintech.

Ada beberapa kategorisasi fintech yang jarang diketahui masyarakat. Fintech dapat dibedakan menjadi fintech 2.0 dan 3.0. Fitech 2.0 adalah lembaga jasa keuangan yang sudah mendapat lisensi sebagai perusahaan keuangan yang berinovasi menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan akses pasarnya. Fintech 2.0 banyak dimanfaatkan oleh perusahaan jasa keuangan untuk menjangkau konsumen.

Fintech 3.0 adalah start up yang tidak mempunyai lisensi jasa keuangan, tetapi mampu memberikan layanan keuangan untuk konsumen. Rata-rata mereka adalah perusahaan teknologi atau perusahaan telekomunikasi. Dengan semakin pesatnya pertumbuhan start up fintech membuat peta persaingan dengan layanan keuangan konvensional menjadi seru. Sebab, kompetisi menjadi tidak sektoral lagi tapi kompetisi bebas.

Kehadiran fintech di Indonesia Indonesia bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan transaksi keuangan secara online, meningkatkan literasi keuangan, dan mewujudkan inklusi keuangan di Indonesia. Fintech mendapat respon positif. Hal itu terlihat dari perkembangan yang cepat ke berbagai sektor seperti ke start up pembayaran (payment gateway), manajemen keuangan (wealth management), pembiayaan (crowdfunding), dan peminjaman (lending).

Kemudahan meminjam fulus lewat pembiayaan online tentu saja akan memanjakan orang

Jenis fintech payment gateway ini sangat berguna dalam dunia e-commerce, karena pada e-commerce dibutuhkan suatu proses transaksi antara penjual dan pembeli yang cepat dan aman. Munculnya layanan payment gateway akan sangat membantu memudahkan proses transaksi seperti memilih berbagai metode pembayaran karena payment gateway menghubungkan e-commerce dengan pihak perbankan. Beberapa contoh fintech payment gateway yakni Xendi, Midtrans, dan Doku.

Untuk kategori pembayaran, ada juga dompet digital (digital wallet) yang pertumbuhannya sangat pesat. Dengan dompet digital, memungkinkan pengguna untuk menyimpan uang diaplikasi dan dapat digunakan unuk transaksi pembayaran di merchant offline maupun online. Kelebihan dari dompet digital terletak pada kenyamanan dan kepraktisannya. Pengguna tidak perlu membawa uang secara fisik, tidak perlu menyimpan uang receh hasil kembalian dari transaksi, dan pembayaran bisa dilakukan dengan beberapa langkah saja termasuk scan QR code sehingga mempercepat waktu transaksi. Contoh fintech dompet digital, Go-Pay, OVO, T-Cash, dan Dana.

Jenis fintech berikutnya adalah wealth management (manajemen kekayaan) yakni jasa pengelolaan keuangan dan kekayaan. Wealth management ini tujuannya untuk memberikan solusi kepada orang yang ingin mengatur keuangan atau kekayaannya dengan bantuan perusahaan jasa keuangan. Salah satu fintech yang bergerak di bidang wealth management adalah Finansialku.

Setelah itu ada pembiayaan sosial (social crowdfunding) yaitu salah satu metode pendanaan bisnis sosial yang sedang populer. Crowdfunding melibatkan beberapa pihak dalam melakukan pembiayaannya seperti seorang yang membutuhkan dana, supporter (publik yang memberikan dana) dan penyedia platform crowdfunding. Dari ketiga pihak ini mereka saling terhubung dan memiliki peran masing-masing untuk dapat saling menunjang kebutuhan pihak lainnya. Contoh start up social crowdfunding adalah KitaBisa.

Jenis fintech terakhir adalah peminjaman (lending). Jenis ini yang paling diminati masyarakat karena persyaratan untuk mendapatkan pinjaman yang mudah. Fintech lending ada dua segmentasi sesuai dengan tujuan debitur yakni pinjaman personal (konsumtif) dan pinjaman usaha (produktif). Nominal pinjaman untuk pinjaman konsumtif biasanya berkisar di angka Rp 1 juta hingga Rp 3 juta dengan tenor minimum kurang dari 1 minggu dan pinjaman modal UMKM yang nominalnya dapat mencapai Rp 2 miliar dengan tenor 1-24 bulan. Segmen pinjaman konsumtif biasa dikenal juga dengan istilah payday loan, sementara untuk pinjaman modal UMKM hingga Rp 2 miliar dengan istilah peer-to-peer (P2P) lending.

Dorong Pola Konsumtif

Ada beberapa aspek perbedaan antara payday loan dengan P2P. Dari sisi bunga, yang ditawarkan P2P lebih rendah dengan kisaran 5 persen hinga 30 persen per tahun. Sementara bunga payday loan, bunga hariannya sebesar 1 persen sehingga bila dihitung per tahun bisa mencapai 300 persen. Selain itu P2P lending tidak mengambil keuntungan dari biaya bunga. Soal perolehan keuntungan, P2P lending memotong biaya administrasi dari peminjam bukan dari biaya bunga seperti payday loan, sehingga P2P lebih mudah dan aman.

Dengan persyaratan yang lebih mudah, masyarakat lebih memilih mengajukan pinjaman melalui skema P2P ketimbang kredit perbankan. Masyarakat kini dimanjakan bisa meminjam dengan mudah secara online melalui situs pembiayaan yang menyediaan pinjaman secara online. Semua mudah, hanya tinggal duduk manis di depan laptop atau PC ataupun smartphone, kemudian mengisi form yang disediakan secara online melengkapi persyaratan. Begitu persyaratan terpenuhi dalam hitungan menit, uang langsung masuk dalam rekening. Debitur tinggal mencicil setiap bulan sesuai dengan perjanjian awal. Begitu mudah dan praktis.

Kemudahan meminjam fulus lewat pembiayaan online tentu saja akan memanjakan orang. Namun tanpa sadar kemudahan ini bisa menjerat masyarakat pada pola hidup konsumtif. Mereka tak mempertimbangkan lagi akal sehat, apakah pengajuan pinjaman itu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan finasial. Jangan sampai kehadiran fintench akan mendorong gaya hidup yang lebih senang "besar pasak dari pada tiang", ujung-ujungnya akan meningkatkan jumlah kredit macet lembaga pembiayaan non bank, bukannya memberikan solusi tapi menjadi beban. Ini yang harus dipikirkan dan diantisipasi oleh pemerintah dengan perkembangan industri fintech yang masif.

Berita terkait
Amankah Pinjam Dana pada Fintech?
Fintech adalah aplikasi layanan keuangan yang memudahkan akses produk keuangan . Namun banyak belum mengerti tingkat keamanannya.
Lowongan Kerja Fintech, Aplikasi Populer Saat Lebaran
Saat membutuhkan uang, di tahun ajaran baru, banyak tawaran aplikasi pinjaman uang, di telepon genggam dari fintech.
‘Fintech’, MakComblang Pemilik Uang dan Pencari Pinjaman
Dia pengusaha muda di bidang industri kreatif dan sudah lama mencari sumber pinjaman. Ia tahu pihak bank tak akan begitu saja memberikan pinjaman kepadanya.
0
Aung San Suu Kyi Dipindahkan ke Penjara di Naypyitaw
Kasus pengadilan Suu Kyi yang sedang berlangsung akan dilakukan di sebuah fasilitas baru yang dibangun di kompleks penjara