Faktor Ini Membuat Prabowo Menang di Jawa Barat

Prabowo menang Pilpres 2019 di Jawa Barat, mengulang sejarah Pilpres 2014. Ini faktor yang membuatnya demikian.
Prabowo Subianto. (Foto: Facebook/Prabowo Subianto)

Bandung - Kemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf di tingkat nasional versi hasil hitung cepat sebagian besar lembaga survei sangat menggembirakan bagi para pendukung serta tim suksesnya.

Namun ada hal yang mesti digaris bawahi, PR Jokowi untuk dapat meraih kemenangan suara di Jawa Barat kembali tidak terselesaikan.

Seperti kita ketahui bahwa Jawa Barat merupakan suatu wilayah di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbanyak. Atas dasar itu pula Jawa Barat selalu dijadikan acuan atau barometer pada saat pesta demokrasi berlangsung. Bahkan para pakar kerap mengatakan bahwa jika suara masyarakat Jawa Barat dapat diamankan (diraih) maka suara nasional pun kemungkinan besar bisa dipastikan aman.

Pada Pilpres 2014, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kala hanya meraih 40,22 persen, sedangkan rival politiknya saat itu Prabowo beserta pasangannya Hatta Rajasa meraup suara sebanyak 59,78 persen dari total suara pemilih di Jawa Barat sebanyak 23.697.696.

Kekalahan suara Jokowi di Jawa Barat pada pemilihan presiden 2014 lalu tidak lantas menjadi acuan dan menjadikan kekalahan tersebut sebagai pembelajaran Jokowi dan timnya dalam mencari cara meraup simpati warga Jabar. Pasalnya pada Pilpres 2019 Jokowi kembali kalah suara atas Prabowo di Jawa Barat.

Lantas apa yang jadi kendala? Berikut analisis pakar tentang karakteristik suara demokrasi di Jawa Barat.

Pengamat Politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah Putra berpendapat bahwa pemilih di Jabar memiliki karakter konvensional-modern, kelompok tradisional sekaligus terbuka, sehingga cenderung memilih tokoh yang dianggap membawa harapan baru.

"Dengan karakter terbuka, masyarakat Jabar tidak menyukai ajakan yang terus-menerus. Mereka lebih senang diberi ruang untuk memutuskan secara mandiri. Hal ini terbukti dari minimnya pengaruh RK (Ridwan Kamil) dalam proses Pilpres ini," ujar Dedi Kurnia kepada Tagar di Bandung.

"Sementara itu berbalik dengan pengaruh gerakan berseri 212 yang begitu kuat, karena gerakan ini diikuti masyarakat Jabar dengan sukarela, tidak ada mobilisasi terstruktur," lanjutnya.

Kemudian, jika dibandingkan dengan model kampanye Sandiaga Uno di Jabar, 01 menggunakan model kampanye sektarian, ini bisa kita lihat dari agenda Ma'aruf Amin yang hanya menyasar pesantren, sehingga tidak cukup kuat menyasar kelompok yang lebih terbuka.

Lebih lanjut Dedi berpendapat bahwa kekalahan Jokowi di Jabar pada 2014 lalu dan kembali terulang pada Pilpres 2019 kali ini lebih dikarenakan faktor-faktor yang dirasa monoton alias tidak adanya hal-hal yang bersifat pembaharuan yang ditawarkan pada masyarakat.

"Pertama, tidak ada hal baru yang dilakukan oleh petahana untuk memperbaiki kekalahan di periode 2014. Termasuk pilihan tokoh wakil yang membersamai petahana tidak cukup mampu menyegarkan pilihan," katanya.

"Kedua, loyalitas pemilih Jabar terutama pada PKS dan Gerindra cukup kuat. Sehingga terus terkonversi sampai ke pemilihan presiden. Bertambah dengan karakter konvensional, pemilih Jabar tentu menghindari pilihan yang provokatif semisal PDIP dan PSI. Faktor ini juga menjadi pertimbangan," pungkasnya.

Faktor PKS

Tidak bisa dipungkiri bahwa kemenangan Prabowo-Sandi di Jawa Barat tak luput dari peran partai-partai koalisi, namun yang menarik adalah peran penting Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Militansi dari kader PKS tidak bisa dianggap remeh, belum lagi sosok dari para tokoh PKS Jawa Barat yang memiliki pengaruh cukup baik di masyarakat.

"Secara kolektif iya, ini bisa kita lihat dari Pilkada bahkan sejak periode pertama Ahmad Heryawan, PKS memiliki jaringan kepartaian lebih baik di antara parpol lain. Sehingga motor pengaruh itu memang ada pada parpol, sementara tokoh menjadi pilihan kedua. Ketika PKS brtemu tokoh yang memang berpengaruh  maka semakin solid suara PKS," jelas Dedi Kurnia Syah Putra. []

Baca juga:

Berita terkait