Jakarta - Anggota Komisi I DPR Fadli Zon memiliki catatan khusus yang perlu disoroti setelah DPR mengetuk palu pengesahan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna, Senin, 5 Oktober 2020.
"Dalam catatan saya, ada beberapa isu yang memang mengusik rasa keadilan buruh. Misalnya, skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK (pemutusan hubungan kerja) diubah dari sebelumnya 32 bulan upah, kini menjadi 25 bulan upah," kata Fadli Zon dalam pernyataan tertulis yang diterima Tagar di Jakarta, Rabu, 7 Oktober 2020.
Sehingga, alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruh, Omnibus Law ini belum apa-apa sudah akan menurunkan kesejahteraan mereka.
Selain itu, politikus Partai Gerindra ini juga menyoroti penghapusan UMK (Upah Minimum Kabupaten) menjadi UMP (Upah Minimum Provinsi). Padahal, lanjut dia, menurut data lapangan, besaran UMP ini pada umumnya adalah di bawah UMK.
Baca juga: Fadli Zon dan Fahri Hamzah Kritik Pedas Omnibus Law
"Sehingga, alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruh, Omnibus Law ini belum apa-apa sudah akan menurunkan kesejahteraan mereka," ucapnya.
Lebih lanjut Fadli menyatakan, hak-hak pekerja yang sebelumnya dijamin, seperti hak istirahat panjang, uang penghargaan masa kerja, serta kesempatan untuk bekerja selama lima (5) hari dalam seminggu, kini tak ada lagi.
"Sehingga, secara umum Omnibus Law ini memang tak memberi rasa keadilan, bukan hanya buat buruh, tapi juga buat masyarakat secara umum," ujar dia lagi.
Selain Fadli Zon, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu juga menyoroti Omnibus Law Cipta Kerja. Syaikhu meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mendengarkan tuntutan aspirasi buruh dan masyarakat sipil terkait penolakan mereka terhadap Undang-Undang Cipta Kerja atau Ciptaker.
Baca juga: Fadli Zon Heran Ahmad Basarah Takut Buku Felix Siauw
Menurut Ahmad Syaikhu, Jokowi harus menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu dan mencabut UU Ciptaker. Permintaan itu disampaikan Syaikhu setelah melihat aksi demonstrasi buruh dan masyarakat sipil yang menolak UU Ciptaker di sejumlah daerah.
"Presiden Jokowi harus mendengar suara buruh dan masyarakat. Terbitkan Perppu. Cabut UU Ciptaker. Sebab, buruh dan masyarakat menolak keberadaannya," kata Syaikhu dalam pernyataan tertulis yang diterima Tagar, Selasa, 6 Oktober 2020.
Ia menekankan, aksi unjuk rasa buruh dan koalisi masyarakat sipil ini sangat bisa dipahami. Menurutnya, kandungan UU Ciptaker baik secara materil dan formil banyak cacat dan merugikan masyarakat.
"Aksi buruh dan koalisi masyarakat sipil sangat bisa dipahami. UU Ciptaker berdampak buruk bukan hanya kepada buruh dan pekerja, tetapi juga berdampak buruk ke sektor lingkungan hidup dan kedaulatan ekonomi kita," ucap dia. []