Enam Etnik Danau Toba Bukan Batak

Erond L Damanik MSi, mengungkapkan bahwa etnik Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak, Angkola, dan Toba bukanlah bagian dari Batak
Danau Toba (Foto: Tagar/Fetra Tumanggor)

Medan - Antropolog dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr. Erond L Damanik MSi, mengungkapkan bahwa etnik Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak, Angkola, dan Toba bukanlah bagian dari Batak.

Orang yang bermukim di pedalaman atau di pegunungan disebut Batak dan orang yang bermukim di pesisir disebut Melayu

Menurut dia, Batak hanya sebuah penyebutan yang sengaja diciptakan oleh orang asing pada abad 14 untuk melabelkan kelompok masyarakat. Di masa itu, mereka membuat atau mengelompokkan dalam dua wilayah, yaitu pegunungan dan pesisir.

Erond mengatakan kelompok pesisir disebut Melayu, karena mereka cenderung beragama Islam dan kelompok di pegunungan adalah Batak, karena ketika itu mereka lebih menyembah berhala (pagan), belum memiliki agama.

"Pertama bukan saya atau Erond Damanik yang menyebutkan bahwa enam etnik yang dipersamakan dengan Batak itu adalah Batak. Ada banyak riset, penelitian dulu yang mencoba menelusuri itu, dari mana munculnya Batak. Ternyata dalam buku ada banyak konsep yang dimunculkan. Ini ada konsep yang muncul setelah adanya konsep Melayu. Batak ini adalah konsep yang muncul setelah eksisnya suku Melayu," ucap Erond saat ditemui Tagar di ruang kerjanya, di Universitas Negeri Medan, Senin, 24 Februari 2020.

Tortor BatakTortor Batak. (Foto: Ist)

Ia mengatakan abad ke-14, ketika itu, datanglah para pengelana asing, dari Spanyol dan Portugis. Mereka sampai ke Sumatera bagian Utara yaitu Aceh dan Sumatera Utara. 

"Dalam kunjungan itu, mereka menemukan masyarakat yang disebut Melayu, artinya masyarakat Melayu itu bukan yang disebut Melayu yang hari ini, di abad ke 21 ini, tetapi masyarakat yang mengenakan identitas beragama Islam dan bisa ditelusuri dengan pakaian, atribut dan lainnya," katanya.

"Pengelana asing bisa melihat bahwa mereka sudah Islam. Interaksi perdagangan mereka juga sudah intens, itu juga ada di pesisir, mereka juga sudah bisa mengidentifikasi bahwa mereka menganut agama Islam. Dari pakaian dan lainnya. Maka oleh pengelana asing itu, mereka disebutkan Melayu," kata Erond.

Ia menambahkan tapi kemudian di luar pesisir, ada sebuah komoditas yang berasal tidak khas daerah pesisir seperti rotan, beras, lilin, dan lainnya. Itu berasal dari luar pesisir. Itu disebut dalam beberapa literatur dan itu berasal dari populasi atau masyarakat yang bermukim di pedalaman atau di pegunungan. 

"Kemudian, informasi yang diperoleh dari orang pesisir menyebut bahwa mereka itu masih belum beragama, masih menyembah berhala, belum beradab. Kemudian datang si pengelana asing, disebutlah orang yang bermukim di pegunungan itu dengan sebutan orang Batak. Pengelana asing adalah penjelajah yang pernah singgah di Sumatera Bagian Utara, paling tidak di abad ke 14 atau 15," ucap dosen antropologi ini.

Kalau kita bicara asal-usul manusia, mana mungkin manusia itu dari gunung duluan baru ke pesisir.

Menurutnya, Melayu dan Batak adalah konsep geografis untuk membedakan populasi antara orang yang sudah beragama Islam dan masih menganut agama pagan, penyembah berhala, atau leluhur (agama asli).

Ia mengatakan dua konsep ini, Melayu dan Batak sama sekali tidak menyebut etnik, tapi lebih kepada identifikasi populasi masyarakat yang ada di pegunungan dan pesisir. "Orang yang bermukim di pedalaman atau di pegunungan disebut Batak dan orang yang bermukim di pesisir disebut Melayu," ujarnya.

Erond  DamanikAntropolog dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr. Erond L Damanik MSi (Foto: Tagar/Reza Pahlevi)

"Kenapa mereka disebut Melayu karena sudah beragama. Kenapa mereka disebut Batak karena masih menganut agama asli. Itu saja embrionya. Kita bisa lihat uraian mendalam dalam tulisan Daniel Perent di bukunya Batak dan Melayu. Dalam buku itu dia menyebut atau merujuk dalam tulisan misalnya Wiliam Mardest di tahun 1774, bahwa dia juga menolak homogenisasi yang disebut batak," kata Erond.

Ia mengatakan. menurut buku Daniel Perent, masyarakat di pegunungan di Sumatera Utara dan Aceh, tidak bisa disebut Batak atau homogen. Karena mereka adalah masyarakat yang heterogen.

"Misalnya dalam buku itu, ada tulisan, Papak Daera diartikan (Pakpak Dairi), lalu menemukan orangtuba (Orang Toba), menemukan orang Mandailing, Angkola sekitar Air Bangis. Itu untuk klasifikasi masyarakat yang ada di daerah pantai barat. Tidak ada sebutan Batak," kata Erond.

Seratus tahun kemudian, seorang peneliti dan penulis, Anderson juga menemukan masyarakat yang berbeda, sekitar tahun 1823. Dia menemukan orang Gayos (Gayo), Karaokarao (Karo), Semilongan (Simalungun). Jadi menurut Erond, dua ahli sudah menolak homogenisasi Batak.

"Batak itu sama sekali tidak memiliki akar sejarah yang dekat dengan mereka. Tulisan Anderson misalnya tentang Simalungun, dia menuliskan kata semilongan sebanyak dua kali, tidak ada kata Batak dalam tulisan itu, maksudnya orang orang Simalungun di tahun 1823," katanya.

Bagaimana dengan kemiripan bahasa, pakaian, dan budaya?

Erond mengatakan bahasa enam etnik itu jauh berbeda, begitu juga dengan pakaian. "Bahasa enam etnik itu tidak bisa disebut banyak kemiripan, bahasa aksara, organisasi sosial, dan bahasa mereka berbeda," katanya.

Ia menyebut struktur sosial atau organisasi sosial juga tidak ada kemiripan, misalnya Toba dengan dalihan natolu, Simalungun Pentagon, dan Karo Siwalujabu. "Sedangkan pakaian, coba kita sandingkan pakaian mereka, tidak mirip," katanya. 

"Kalau adat, ada banyak adat. Misalnya perkawinan atau kematian dimana-mana itu sama. Dalam antropologi itu namanya ritus peralihan. Ritus peralihan dimana mana-sama, itu sesuai dengan definisi artiologi oleh Arnol Margenap. Itu bukan khas di Sumatera Utara, ada ritus kelahiran, menjelang dewasa, perkawinan, di hari tua, dan lainnya itu sama dilakukan oleh kelompok di dunia ini," katanya.

Rumah BatakFoto bertahun 1910-1930, dua anak di pintu masuk rumah Batak (Foto: KITLV)

Ia memberi contoh mengenai dalihan natolu dalam hubungan antar perkawinan, antara hula-hula, dan itu bukan khas Sumatera Utara. Menurutnya hal ini juga ada di masyarakat Prancis

Kemudian dongan sabutuha, sanina, atau anakberu, Erond menyebut tidak bisa diklaim bahwa itu adalah khas Batak. "Itu adalah global. Dalam artiologi, itu dikembangkan juga oleh Tri Angel Kuliner atau hubungan segitiga kuliner yang ada pada masyarakat Prancis," kata Erond.

Apakah enam etnik tersebut berasal dari satu rumpun?

Erond menyebut bahwa semuanya satu rumpun. Sebab, seluruh penduduk Indonesia satu rumpun.

"Kita semua satu rumpun, yang terbangun dengan Indonesia, yang menyebar, ada yang menjadi Minang, Simalungun, atau Pakpak. Jadi mereka itu semua satu rumpun, kita memiliki kemiripan yang sama, DNA itu sejenis, DNA berbicara tentang kemiripan. Hanya saja ada beberapa perbedaan dengan Indonesia bagian timur, berbeda rambut dan ciri ciri fisik," kata dia.

Jika enam etnik itu bukan Batak, bagaimana dengan silsilah marga yang disebut saling berkaitan antara enam etnik tersebut?

Erond mengakui bahwa marga itu sebenarnya tidak saling bertautan. Menurutnya itu bermula dari tulisan Hutagalung dengan tulisan "Silsilah Bangso Batak", marga itu hanya sebuah konstruksi.

Menurutnya, dalam buku Hutagalung tersebut, dia menulis silsilahnya, tahun 1926, hanya paradigma kontruksi dan tidak mengacu secara arkeologis. "Dia rekonstruksi tokoh-tokoh imajiner legenda Batak, itulah Si Raja Batak. Si Raja Batak diturunkan oleh Tuhan Pencipta Alam Semesta, Debata, lahirlah Si Raja Batak.

"Dalam buku itu Si Raja Batak anaknya tiga, kemudian bergenerasi lagi dan muncullah marga-marga di kalangan orang Toba. Disebutlah marga-marga, lalu ini berdiaspora sampai ke Karo dan Gayo. Kalau di Gayo dikenal dengan Batak 24, di Karo ada Perangin-angin, di Simalungun ada Damanik, sampai ke Mandailing ada Tanjung, Pasaribu, ini semua masuk. Itukan kontruksi. Konstruksi si Hutagalung berhasil membuat itu," katanya. 

Ia mengatakan sebenarnya konsep Batak pertama sekali ada, bukan di Sumatera Utara, tapi Batak itu untuk menyebut pemukim di Aceh disebut Bateh.

"Pesisir disebut Melayu dan di pedalaman disebut Bateh, itu di tahun 1915. Sedangkan Batta ada di antara Lhokseumawe dan Aru di Pantai Timur Sumatera. Kemudian, Batak itu masuk ke Sumatera Utara ditambah adanya penelitian tahun 1925, itu yang dipakai sampai hari ini. Sedangkan (hubungan) marga itu adalah sebuah kontruksi yang ditulis oleh Hutagalung, dia berhasil membuat konstruksi itu," ucapnya.

Menurutnya, tujuan rekonstruksi itu antara lain untuk mempersatuan enam etnik yang ada, kelompok etnik ini menyatu. Simalungun, Mandailing, Angkola dan lainnya, bahwa mereka satu leluhur Si Raja Batak.

"Memang dia (Hutagalung) berhasil untuk mengkontruksi itu, tapi pada akhirnya semua terjadi gontokan seperti sekarang ini. Ada Mandailing menolak disebut batak, Simalungun ada menolak Batak. Bahkan terakhir, Mandailing menghilangkan lebel Batak di nama depannya dan itu sudah diakui oleh Badan Pusat Statistik Pusat, di awal Februari 2020 ini," ucap Erond.

Orang BatakFoto bertahun 1894, sebuah keluarga besar Batak Toba (Foto: KITLV)

Selain itu, penyebutan enam etnik di Sumatera Utara bukan Batak terjadi pembicaraan dan penolakan dari beberapa kelompok. Misalnya mereka mengaku tidak setuju dengan hilangnya penyebutan Batak. Kemudian, Damanik tidak ada hubungannya dengan Manik yang ada di Toba.

"Terjadi perdebatan ketika membicarakan tentang penyebutan Batak. Padahal itu sudah terbukti bahwa Damanik tidak ada hubungannya dengan Manik di Toba. Sebagian orang menentang, menyebut bahwa Damanik berasal dari Manik yang ada di Toba. Itu saya bantah," ucapnya.

Ada beberapa pandangan yang membuatnya berpikir bahwa Damanik tidak berasal dari Manik yang ada di Toba. Pertama pandangan berdasarkan buku pertama yang menulis ini adalah Hutagalung tahun 1926. Menurutnya, paradigma yang digunakan Hutagalung adalah kontruksi, tidak mengacu kepada bukti arkeologis.

"Kalau kita bicara asal-usul manusia, mana mungkin manusia itu dari gunung duluan baru ke pesisir. Harus dari pesisir duluan barulah naik ke pegunungan. Bukan dari gunung dulu baru ke pesisir. Masa dari gunung duluan baru datang ke Karo atau Simalungun. Terus manusia yang ada di gunung itu dari mana naiknya?" katanya.

Ia mengatakan seharusnya pemukim yang pertama itu adalah yang mendiami daerah pantai. Kemudian, sesuai analisis arkeologi dan antropologi, adanya pemukim di pegunungan karena jumlah makanan yang semakin menipis di pantai, maka mereka mulai masuk ke pedalaman. 

"Atau ada serangan pihak musuh yang intens di pantai, maka mereka ke pedalaman atau pegunungan," kata Erond. []


Berita terkait
Melihat Kampung Ulos Batak Sakamadeha di Samosir
Kampung Ulos Sakkamandeha di Samosir sangat berguna untuk meningkatkan kesejahteraan warga pengrajin di sana.
Menpora Kagumi Danau Toba dan Cerita soal Ulos Batak
Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) Zainudin Amali mengutarakan kekagumannya atas panorama Danau Toba dan cerita menerima ulos Batak.
Tuan Guru Batak dari Simalungun: Islam Itu Damai
Tuan Guru Batak ini adalah tokoh dari Kabupaten Simalungun, memiliki ilmu pengetahuan agama Islam.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.