Empat Kasus Intoleransi Terjadi di Yogyakarta

Kasus intoleran kembali terjadi di DIY. Tercatat sudah empat kasus intoleran yang terjadi dalam waktu enam bulan. Berikut rinciannya.
Dosen UGM Yogyakarta, Bagas Pujilaksono Widyakanigara. (Foto: Dok. Bagas)

Yogyakarta - Kasus intoleransi kembali terjadi di Provinsi DIY. Kali ini di Gunung Wulu, Dusun bandit Lor RT 34 Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul.

Warga setempat menolak rumah pribadi menjadi gereja. Rumah di atas tanah seluas 335 meter persegi tersebut milik Tigor Yunus Sitorus, 49 tahun. Dia seorang pendeta. 

Dosen UGM Bagas Pujilaksono Widyakanigara menyayangkan hal itu. Melarang pendirian rumah ibadah sama halnya melarang seseorang menjalankan ibadah. "Diskriminasi adalah kejahatan kemanusiaan," ujar Bagas, di Yogyakarta, Rabu 10 Juli 2019. 

Hak dasar bangsa Indonesia adalah kebebasan menjalankan ibadah agamanya. Indonesia adalah negara plural. Dalam masyarakat yang plural sangat dibutuhkan toleransi, sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan.

"Masyarakat plural itu butuh perilaku saling menghormati dan menghargai sesama pemeluk agama," ujar dia.

Artikel terkait: Sri Sultan, Penolakan Pembangunan Gereja Tidak Dibenarkan

Bagas mengatakan, setiap agama di Indonesia memiliki hak yang sama. Begitu juga kewajiban yang sama di bumi Pancasila ini. Di negara berasaskan Pancasila, di dalamnya tidak boleh ada diskriminasi. "Diskriminasi adalah kejahatan kemanusiaan," katanya.

Di Provinsi DIY, terbilang cukup sering mengemuka kasus intoleransi ini. Dalam catatan Tagar, sudah terjadi empat kasus intoleransi selama enam bulan terakhir.

Pertama pada 18 Agustus 2018 lalu, soal makam Albertus Slamet Sugiardi di Pemakaman Umum di Jambon RT 53/13 Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota. Kayu berlambang salib di atas pusara, di gergaji menjadi huruf T. Tempat makam juga di pinggir.

Kasus kedua intoleransi terjadi pada 3 April 2019. Kasus ini dialami Slamet Jumiarto, 42 tahun. Seorang pelukis beragama Katholik ini ditolak warga saat mengontrak rumah di Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul.

Artikel lainnya: Warga Bantul Keberatan Rumah Pendeta Jadi Gereja

Di Pedukuhan tersebut ada aturan tertulis, yang bunyinya warga pendatang yang mendiami Pedukuhan Karet harus muslim. Aturan itu berlaku sejak 2015. Aturan tersebut sudah tidak berlaku setelah kasus ini mengemuka.

Kasus ketiga di Kabupaten Gunungkidul. SDN Karang Tengah III Wonosari memberlakukan wajib seragam muslim bagi siswanya. Murid laki-laki pakai baju muslim, perempuan pakai jilbab.

Kasus ini viral. Pihak sekolah akhirnya mencabut aturan seragam wajib muslim itu. Kasus intoleransi terakhir dialami Pendeta Tigor Yunus Sitorus. Rumahnya yang dijadikan gereja ditolak warga.  []

Berita terkait
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.