Jakarta - Mantan Kepala Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Hak Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut, Budi Djatmiko, menanggapi persoalan yang dialami Kelompok Tani Arih Ersada Aron Bolon (AEAB), terkait penyerobotan tanah di Desa Durin Tonggal, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang.
Budi mengatakan, persoalan yang tengah dihadapi Sekretaris Kelompok Tanu AEAB beserta masyarakat lainnya dapat dilakukan dengan cara membatalkan kepemilikan sertifikat tanah di lahan tersebut.
"Kuncinya penyelesaian kasus Rembah dan kelompok tani lainnya adalah batalkan sertifikat-sertifikat yang jika ada di atas lahan tersebut. Selain itu bukti kepemilikan yang cacat hukum terbitnya, secara teknis juridis bisa diuraikan tersendiri kenapa cacat, " kata Budi kepada Tagar, Kamis, 4 Maret 2021.
Dia menyebut, sertifikat itu menjadi biang masalah. Sebab, melalui surat tersebut mafia tanah semakin semena-mena mengklaim lahan yang bukan milik mereka.
"Sertifikat itulah biangnya masalah. Inilah yang dimainkan mafia tanah. Dengan bukti hak, mereka bisa mendapat dukungan dari pihak terkait selain tebar hepeng (uang)," ujarnya.
Selain itu, dia juga mengingatkan agar BPN Sumut membatalkan sertifikat yang diduga milik mafia tanah di Deli Serdang. Jika surat tersebut tidak dicabut, konflik di daerah itu akan terus berlangsung.
"Pihak BPN ingat, dan perintahkan batalkan itu sertifikat yang bertebaran di atas lahan tersebut yang memanfaatkan mafia tanah. Ingat kasus Dino Pati Djalal. Sepanjang BPN tidak mencabut atau membatalkan, ya sampai kiamat konflik atau sengketa akan terus terjadi," tuturnya.
Sertifikat itulah biangnya masalah. Inilah yang dimainkan mafia tanah. Dengan bukti hak, mereka bisa mendapat dukungan dari pihak terkait selain tebar hepeng (uang).
"Ingat, kasus Rembah sudah 22 tahun lebih dan tidak berakhir. Modusnya, ya punya sertifikat ada selanjutnya dialihkan kepada pihak lain mafia tanah dan memakai kekuatan-kekuatan preman, aparat dan seterusnya sampai hakim," ucap Budi.
Preman selalu dilibatkan dalam persoalan seperti itu, kata Budi, sebab pekerjaan meratakan tanah dan menjaga lokasi lahan itu dapat menghasilkan uang dari pihak yang ingin menyerobot lahan kelompok Tani.
"Gasak itu lahan. Itu punya kami, ini bukti sertifikat dan mereka (kelompok tani) menyerobot tanah kami. Gitu kan modusnya dan ini hepeng (uang) untuk kerja untuk meratakan dan menjaga keamanan lahan beres kan. Tidak peduli hanya 1 atau 2 sertifikat dan entah berapa itu luasnya dan letaknya pokoknya lahan Rembah sorong dapatlah bonus 30 hektare, sisa dari 102 hektare), benarkan modus ini, " ucapnya.
"Nah kuncinya ya batalkan sertifikat di atas lahan itu jika ada dan berapa banyaknya. Dijamin selesai itu sengketa. Bonusnya dapatlah tangkap itu mafia tanah dan para preman dan oknum yang telah menerbitkan sertifikat," tutur Budi.
Ia menjelaskan konflik agraria hanya bisa diselesaikan dengan kekuatan political will negara sejak zaman kolonial. Dalam persoalan ini diperlukan kehadiran negara dalam membantu masyarakat.
"Rakyatlah yang harus dibantu apa pun posisinya itulah penegakan hukum berkeadilan. Rakyat tidak punya kekuatan hukum ekonomi dan politik jelas akan terus dimarginalkan. Oleh karena itu negara harusnya hadir membantu rakyat, bukan mafia tanah," ujar Budi Djatmiko. []