Ekonomi China yang Merosot Beri Peluang Bagi AS untuk Menekan Korea Utara

Dalam sebuah laporan pada bulan Januari 2024 lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi China akan melambat
Papan elektronik yang menunjukkan nilai indeks saham pada Bursa Shanghai terpasang di salah satu tempat penjualan saham di Beijing pada 5 Februari 2024. (Foto: voaindonesia.com/AP/Andy Wong)

TAGAR.id - Beberapa pakar Asia menyerukan pemberlakuan sanksi ekonomi baru yang keras terhadap China, dengan alasan kemerosotan ekonomi negara itu membuatnya sangat rentan terhadap tekanan untuk menindak kemampuan Korea Utara dalam membuat dan mencuci uang bagi program senjata nuklir dan rudalnya. Christy Lee melaporkannya untuk VOA.

Sementara, sejumlah analis lain berpendapat sebaliknya. Mereka mengatakan pemberlakuan sanksi baru terhadap China saat ini justru akan membuat negara Tirai Bambu itu kurang menerima upaya AS untuk membuatnya membantu menekan program senjata Korea Utara.

"Beijing khawatir bahwa resesi yang panjang atau dalam akan menyebabkan kerusuhan politik," dan "kekhawatiran itu memberi Washington kontrol yang lebih besar terhadap Beijing. Amerika tidak memiliki pengaruh seperti ini ketika periode pertumbuhan ekonomi China kuat," ujar Joshua Stanton, seorang pengacara yang berkantor di Washington, DC, dan ikut membantu menyusun Undang-undang Sanksi dan Penegakan Kebijakan Tahun 2016.

Dalam sebuah laporan pada bulan Januari 2024 lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi China akan melambat, dari pertumbuhan PDB 5,2% yang diraih pada 2023, menjadi 4,6% tahun 2024. Angka pertumbuhan PDB itu akan terus turun menjadi 4,1% pada 2025.

Aktivitas manufaktur China mencatatkan kontraksi selama empat bulan berturut-turut pada bulan Januari lalu dan melonjaknya utang di pasar properti dan pemerintah daerah semakin menimbulkan masalah bagi negara tersebut.

Dalam sebuah email kepada VOA pada hari Jumat (9/2) lalu, Stanton mengatakan pemerintahan Biden harus "meningkatkan tekanan terhadap pemerintah China yang khawatir dengan resesi regional" dan "menunjuk pabrik-pabrik pengalengan dan pabrik-pabrik yang mempekerjakan tenaga kerja Korea Utara."

Mengutip badan intelijen Korea Selatan, kantor berita Reuters melaporkan pabrik-pabrik China telah mempekerjakan buruh Korea Utara dan melabeli produk yang mereka produksi dengan label buatan China. Sekitar 3.000 warga Korea Utara yang bekerja secara ilegal di Tiongkok melakukan protes yang diwarnai aksi kekerasan pada bulan Januari lalu karena gaji yang tidak dibayar.

Pada tahun 2017, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mendesak negara-negara untuk memulangkan semua pekerja Korea Utara paling lambat pada Desember 2019 untuk menekan kemampuan Korea Utara dalam memperoleh penghasilan di luar negeri guna mendukung program senjatanya. Para pekerja Korea Utara mengirimkan sebagian besar pendapatan mereka di luar negeri kepada rezim tersebut.

Stanton menilai Amerika Serikat juga harus "menerapkan pengawasan yang lebih ketat terhadap cabang-cabang bank lokal di kota-kota China" yang mencuci uang untuk Korea Utara. "China selalu berjanji untuk bekerja sama jika kita tidak memberikan sanksi terhadap bank-banknya, namun China selalu mengingkari janji-janji tersebut," ujarnya.

China baru-baru ini telah memperketat peraturan pada bank-banknya yang berhubungan dengan Rusia sebagai tanggapan atas penguatan sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat terhadap lembaga-lembaga keuangan yang bekerja sama dengan militer Rusia.

Anthony Ruggiero, seorang peneliti senior di Foundation for Defense of Democracies, menepis bahwa sanksi terhadap Korea Utara yang diberlakukan pemerintahan Biden saat ini "lemah dan tidak efektif."

"Pemerintahan Biden seharusnya menarget sumber pendapatan Korea Utara dan bank-bank, entitas, dan individu Rusia dan China yang membantu Pyongyang menghindari sanksi tersebut," ujarnya.

Sementara David Asher, seorang peneliti senior di Hudson Institute, mengatakan Korea Utara masih tetap kuat beroperasi untuk membiayai dan memperoleh produk teknologi tinggi untuk program militer dan senjata pemusnah massal (WMD), "sebagian besar karena China."

Asher, yang mengawasi gangguan perdagangan ilegal Korea Utara dan jaringan WMD selama pemerintahan George W. Bush, mengatakan pada Sabtu (10/2) lalu melalui email bahwa ada sektor kriminal yang "kuat" di China, "terutama Makau dan Hong Kong, di mana para elit Korea Utara terus melakukan pencucian uang, termasuk miliaran dolar yang dihasilkan melalui kejahatan dunia maya."

Namun, para ahli lainnya memperingatkan agar tidak memberikan sanksi terhadap China, terutama ketika ekonominya sedang melambat, dan di saat AS sedang berusaha mendapatkan bantuan Beijing untuk menghentikan peluncuran rudal Korea Utara. (em/rs)/voaindonesia.com. []

Berita terkait
IMF Sebut Ekonomi Rusia Masuki Masa Sulit Akibat Perang
Data tahunan yang dirilis pekan lalu menunjukkan perekonomian Rusia bangkit dari keterpurukannya sejak tahun 2022
0
Ekonomi China yang Merosot Beri Peluang Bagi AS untuk Menekan Korea Utara
Dalam sebuah laporan pada bulan Januari 2024 lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi China akan melambat