Judul Asli: Saya Mendukung GAR ITB
Saya sepenuhnya mendukung langkah Gerakan Antiradikalisme Alumni Institut Teknologi Bandung (GAR ITB) dalam memberantas radikalisme di kampus dan kalangan ASN. Tulisan saya ini sifatnya umum, tidak ada kaitannya dengan pelaporan GAR ITB soal Pak Din Syamsudin.
Sebagai alumni Teknik Mesin ITB, saya merasakan sekali betapa nasionalisnya ITB pada masa lalu di mana nilai-nilai kebangsaan dan egalitarian dijunjung tinggi. Kehidupan akademik di dalam kampus ITB dengan spirit Rasionality and Freedom, berjalan sangat elegan mendukung proses akademik yang jauh dari perilaku diskriminatif.
Radikalisme selalu berujung perilaku diskriminatif terhadap kelompok minoritas, dikarenakan pola pikirnya yang dungu, bebal dan picik. Gamang melihat perbedaan. Padahal perbedaan adalah rahmah yang menjadi driving force untuk sebuah perubahan.
Tidak ada korelasi kecerdasan otak dan perilaku radikal di dalam kampus.
Orang dengan pola pikir radikal adalah seorang pengecut, karena tidak berani tampil dengan dirinya sendiri, butuh bungkusan dan sembunyi di balik sesuatu agar berkesan menggenggam kebenaran. Omong kosong!
Kehidupan akademik mengabdi pada kebenaran dan kebenaran itu bisa menjadi milik siapa saja.
Kebenaran adalah sesuatu yang diargumentasikan secara akademik, bukan dicitrakan dengan pernak-pernik pola pikir radikal.
ASN yang dibayar oleh negara dengan uang rakyat, saat ini banyak yang justru menyerang negara Pancasila. ASN semacam ini tidak perlu dipelihara, pecat saja.

Diskriminasi atas kelompok minoritas di dalam kampus adalah suatu kebodohan yang jauh dari nilai-nilai akademik, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dan ajaran agama yang mulia.
Homogenisasi ideologi, pola pikir dan korelasi sosial adalah fakta kedunguan, kebebalan dan kepicikan kelompok radikal di dalam kampus.
Kampus harus steril dari segala macam intervensi politik praktis ideologi ekstrim kanan atau kiri. Kehidupan akademik adalah suatu kebebadan yang rasional menuntut pola pikir kritis, terbuka, berani dan perilaku jujur. Bukan dengan cara didogma ideologi sesat yang jelas-jelas bertentangan dengan ideologi negara Pancasila.
Kebebasan diarahakan untuk hal-hal akademik, bukan untuk mendiskriminasi kelompok minoritas atau bahkan untuk menyerang negara dengan cara mematahkan sendi-sendi kebhinnekaan Indonesia.
Radikalisme di Kampus membuat kampus menjadi titik lemah bagi kebhinnekaan Indonesia.
Kampus-kampus Indonesia tertinggal jauh dari negara lain, karena pola pikirnya yang sangat radikal, jauh dari performa sebagai akademisi sejati.
Radikalisme di kampus adalah gerakan politik ekstrem yang berkedok di balik simbol-simbol agama atau politisasi agama.
Radikal kanan dan kiri sama busuknya karena sama-sama anti Pancasila, anti NKRI yang berbhinneka, anti demokrasi dan otoriter. Bedanya, yang satu dicap ateis, sedang satunya sibuk mempolitisir agama.
ASN yang dibayar oleh negara dengan uang rakyat, saat ini banyak yang justru menyerang negara Pancasila. ASN semacam ini tidak perlu dipelihara, pecat saja.
Sekali lagi saya mendukung langkah GAR ITB. Merdeka!
*Akademisi Universitas Gadjah Mada