Dugaan Manipulasi Ekspor PT Toba Pulp Lestari ke Tiongkok

IndonesiaLeaks pada Februari 2020 lalu, merilis laporan investigatif dugaan manipulasi dokumen ekspor PT TPL ke China.
Kawasan konsesi PT TPL di Sumatera Utara. (Foto: tobapulp.com)

Medan - Sejumlah media yang tergabung dalam konsorsium IndonesiaLeaks pada Februari 2020 lalu, merilis laporan investigatif mengenai dugaan manipulasi dokumen ekspor bubur kayu PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) ke China.

Laporan tersebut mengungkap dugaan salah klasifikasi jenis pulp yang diekspor PT TPL.

Forum Pajak Berkeadilan, satu koalisi yang berisi sejumlah organisasi masyarakat sipil di Indonesia, menindaklanjuti temuan IndonesianLeaks tersebut dengan menganalisis dokumen-dokumen ekspor impor pulp Indonesia, Makau, dan Tiongkok. Hasilnya, menguatkan temuan IndonesiaLeaks.

Pada pencatatan ekspor ke Tiongkok disebut sebagai pulp grade kertas, tapi oleh pencatatan Tiongkok tercatat diterima sebagai pulp larut yang biasa dipakai untuk tekstil dan harganya jauh lebih mahal.

Pada Selasa, 3 November 2020, Forum Pajak Berkeadilan pun mempublikasikan temuan-temuannya, dengan laporan berjudul Mesin Uang Makau: Dugaan Pengalihan Keuntungan dan Kebocoran Pajak pada Ekspor Pulp Indonesia.

Laporan ini mengupas dugaan pengalihan keuntungan dan kebocoran pajak ekspor pulp larut PT TPL pada 2007 - 2016. Terhitung potensi kerugian negara oleh praktik itu sebesar Rp 1,9 triliun.

Rentang 2006 - 2017 PT TPL diduga melakukan salah klasifikasi jenis pulp yang diekspornya, yang dilaporkan sebagai pulp grade kertas berkode HS 470329, yakni kode produk bleached hard wood kraft paper (BHKP) yang digunakan untuk memproduksi kertas dan tisu.

Ditelisik, terlihat bahwa otoritas di Tiongkok mencatat menerima kiriman dissolving pulp (pulp larut) dari Indonesia. Sementara, sepanjang periode tersebut hanya PT TPL yang memproduksi pulp larut di Indonesia.

Pulp larut digunakan untuk memproduksi viscose tercatat dengan kode HS 470200 yang digunakan untuk memproduksi viscose untuk produk tekstil, dan harganya jauh lebih tinggi dibanding pulp grade kertas.

Sepanjang 2007-2016, total ekspor pulp larut Indonesia tercatat sebanyak 150.000 ton, namun Tingkok mencatat mengimpor pulp larut dari Indonesia sebanyak 1,1 juta ton.

Pada 2017 sepertinya PT TPL sudah melaporkan produk ekspornya sebagai pulp larut, tapi justru APRIL Grup, korporat di Riau yang pengendali utamanya sama dengan PT TPL, yaitu Sukanto Tanoto, diduga mengulang praktik salah klasifikasi tersebut pada ekspornya dari Riau ke Tiongkok.

Dalam siaran pers diterima Tagar pada Jumat, 6 November 2020, kelompok masyarakat sipil di Sumatera Utara yang turut menerbitkan laporan tersebut, KSPPM, Bakumsu, AMAN Tano Batak, dan Walhi Sumut, mendesak pemerintah mengusut tuntas dugaan praktik pengalihan keuntungan dan kebocoran pajak tersebut.

Apalagi, bukan kali ini saja perusahaan yang dikendalikan Sukanto Tanoto melakukan perbuatan sejenis, sebagaimana tahun 2007 PT Asian Agri terlibat kasus dugaan penggelapan pajak senilai Rp 1,3 triliun.

Setelah kasusnya berjalan tujuh tahun, pada 2015 pengadilan menjatuhkan denda kepada PT Asian Agri sebesar Rp 2,5 triliun dan sanksi administrasi sebesar Rp 1,9 triliun.

PT TPL sendiri sarat masalah di Sumatera Utara. “Kehadiran perusahaan ini sejak awal sudah menimbulkan banyak masalah, khususnya perampasan ruang hidup masyarakat adat di Tano Batak. Dari sisi konsesi saja, setidaknya 37.500 hektare yang dikelola 21 komunitas adat dirampas oleh izin konsesi TPL,” ujar Direktur Program KSPPM Delima Silalahi.

10 tahun terakhir deforestasi di bentang alam ini meningkat drastis, dan 92,5 persen terjadi di wilayah izin TPL

Tumpang tindih izin dengan wilayah kelola masyarakat adat tersebut selama ini memicu konflik berkepanjangan.

"Kebijakan dan regulasi cenderung berpihak ke korporasi, tapi tidak melindungi komunitas adat yang sudah ada di lokasi tersebut jauh sebelum TPL hadir. Regulasi yang berbelit dan butuh biaya membuat sulitnya mewujudkan hutan adat. Bahkan, tak jarang penduduk yang memperjuangkan wilayah adatnya justru diintimidasi dan atau dikriminalisasi," ujar Ketua BPH Aman Tano Batak Roganda Simanjuntak. 

Sekretaris Eksekutif Bakumsu Manambus Pasaribu, mengatakan bahwa kriminalisasi yang terjadi di wilayah konsesi PT TPL terkait pada proses penegakan hukum pidana yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum pidana itu sendiri.

Aparat penegak hukum khususnya penyidik, menggunakan proses hukum acara pidana tanpa adanya bukti permulaan yang cukup atau probable cause atau bukti yang diada-adakan dan dilakukan dengan itikad buruk.

“Ada banyak kasus kriminalisasi yang terjadi sejak reoperasional PT TPL di awal tahun 2000-an, khususnya terhadap masyarakat adat di wilayah konsesi PT TPL, seperti Pandumaan-Sipitihuta, Tungko Ni Solu, Sihaporas, Lumban Sitorus dan yang lainnya,” kata dia.

Saat ini, sambung Delima, bahkan PT TPL kerap memicu konflik horizontal atau menciptakan disharmoni di desa, di mana masyarakat adat dibenturkan dengan Kelompok Tani Hutan (KTH).

"Politik devide et impera masih saja menjadi andalan perusahaan ini sejak masih bernama PT Inti Indorayon Utara (IIU), untuk menguasai wilayah adat yang mereka klaim sebagai wilayah konsesi tersebut,” ujar Delima.

Direktur Ekseskutif Walhi Sumut Dana Tarigan menyebut, kehadiran PT TPL juga mempercepat laju deforestasi di Kawasan Danau Toba, sebagaiman terjadi di Kawasan Bentang Alam Tele yang pada sebagiannya diterbitkan izin PT TPL sesuai SK No. 351/Menhut-II/2004; Add 361/Menhut-II/05.

"Seluas 68.365 hektare Bentang Alam Tele diterbitkan izin TPL. Itu lebih dari separuh Bentang Alam Tele. Pada 10 tahun terakhir deforestasi di bentang alam ini meningkat drastis, dan 92,5 persen terjadi di wilayah izin TPL. Dengan sederet rekam jejak buruk tersebut, sudah saatnya pemerintah mengevaluasi keberadaan PT TPL. Tak cukup hanya mengembalikan kerugaian negara, tapi setidaknya mengeluarkan semua wilyah kelola masyarakat dari izin konsesi dan memastikan hutan tersisa tidak ditebang lagi," kata Dana.

Sekaitan itu, Forum Pajak Berkeadilan di Sumatera meminta Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak mengusut tuntas dugaan manipulasi dokumen ekspor PT TPL, dan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pengusutan tersebut.

Meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan wilayah kelola masyarakat dari wilayah izin PT TPL.

Meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan pemerntah daerah menerbitkan regulasi dan kebijakan yang memastikan semua hutan tersisa di wilayah izn PT TPL tidak dikonversi menjadi hutan tanaman industri.

Mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan pemerintah daerah segera menerbitkan penetapan hutan adat terhadap wilayah-wilayah di dalam izin PT TPL saat ini dikelola komunitas adat.

PT TPL harus menghormati proses penyelesaian konflik yang sedang berjalan, tidak mengganggu aktivitas masyarakat adat di wilayah adatnya, dan menghentikan segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi masyarakat adat di Tanah Batak. []  

Berita terkait
Ricuh Kepemilikan Lahan Masyarakat Adat Toba dengan PT TPL
Beredar video di media sosial kericuhan antara warga petani di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, dengan puluhan petugas PT TPL.
Truk Bawa Muatan PT TPL Terbalik di Parapat, 2 Tewas
Satu unit truk terbalik di jalinsum Pematangsiantar-Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumut. Sopir dan penumpang truk tewas.
Polda Didesak Ambil Alih Kasus Kekerasan Humas TPL
Aliansi Mahasiswa dan masyarakat Adat demo di depan Polda Sumut. Mereka mendesak kepolisian segera menangkap Humas PT TPL.
0
Anak Elon Musk Mau Mengganti Nama
Anak CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, telah mengajukan permintaan untuk mengubah namanya sesuai dengan identitas gender barunya