Jakarta – Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan dua pulau yang letaknya di sebelah timur Pulau Sebatik, Kalimantan Timur, tepatnya berada di Selat Makassar. Masing-masing pulau memiliki luas 10,4 hektare untuk Sipadan dan 7,4 hektare untuk Ligitan. Kedua pulau memiliki jarak yang berkisar sekitar 15,5 mil laut.
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ (International Court Of Justice), kemudian pada hari Selasa, 17 Desember 2002, ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia (id.wikipedia.org). Tahun 2002 adalah masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004).
Awalnya, Indonesia dan Malaysia sama-sama memberikan izin eksplorasi di Pulau Sipadan dan Ligitan. Izin tersebut dikeluarkan Indonesia pada 6 Oktober 1966 kepada perusahaan asing PN Pertambangan Minjak Nasional (Permina) dan Japan Petroleum Exploration Company Limited (Japex). Sementara Malaysia memberikan izinya kepada Sabah Teiseki Oil Company pada tahun 1968.
Kemudian persengketaaan atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan mencuat pada tahun 1967 ketika terselenggaranya pertemuan mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Pada pertemuan tersebut, kedua negara saling menyebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.
Indonesia dan Malaysia sepakat untuk memberi status quo pada kedua pulau. Namun, kedua pihak memiliki pengertian yang berbeda terkait status quo tersebut. Indonesia mengartikan status ini berarti kedua pulau tidak boleh ditempati/diduduki sampai pesoalan atas kepemilikan dua pulau tersebut selesai.
Sebaliknya, Malaysia memahami status quo dengan tetap berada di bawah kepemilikannya sampai persengketaan selesai. Oleh karena itu, pihak Malaysia membangun resor pariwisata baru di salah satu pulau yang sedang diperebutkan. Indonesia segera mengirimkan protes agar pembangunan dihentikan terlebih dahulu. Namun, Malaysia justru memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam peta nasionalnya secara sepihak pada tahun 1969.
Pada 1991, Indonesia dan Malaysia membentuk Kelompok Kerja Bersama untuk mempelajari situasi kedua pulau tersebut. Sayangnya, kedua pihak tidak bisa mencapai persetujuan dan membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional. Semula Indonesia kukuh dengan membawa persengketaan ini melalui Dewan Tinggi ASEAN. Namun Malaysia menolak dan beralasan tengah bersengketa dengan negara lainnya mengenai perbatasan hingga membuat Indonesia menjadi melunak.
Ketika itu, Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto yang telah menjadwalkan keberangkatannya pada 7 Oktober 1996 ke Kuala Lumpur. Dalam kunjungan tersebut Soeharto menyetujui usulan dari Perdana Menteri (PM) Mahathir sehingga membentuk kesepakatan antara kedua negara yang tertuang dalam perjanjian “Final and Binding” yang ditandatangin pada tanggal 31 Mei 1997 di Kuala Lumpur. Pernjajian ini lalu disampaikan secara bersama kepada Mahkamah Internasional tertanggal 2 November 1998.
Ketika persidangan berlangsung, Indonesia mengajukan beberapa argumentasi. Pertama, kedaulatan Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan diperoleh dari Konvensi 20 Juni 1891 yang menetapkan batas-batas di Pulau Kalimantan antara Inggris dan Belanda. Dalam konvensi tersebut menyatakan garis 4°10’ LU yang membagi Pulau Sebatik tidak berhenti di ujung Pulau Sebatik, melainkan harus diteruskan ke arah timur sebagai allocation line yang membuat pulau-pulau di sisi utara menjadi milik Inggris dan pulau-pulau di sisi selatan gari menjadi milik Belanda, termasuk Pulau Sipadan dan Ligitan.
Kedua, seandainya mahkamah menolak argumetasi pertama, Indonesia menyatakan berhak atas Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai pewaris dari kekuasaan Sultan Bulungan. Ketiga, Indonesia mengajukan bukti-bukti effective occupation yang ditunjukkan sebagai dasar pembuktian adanya kekuasaan Indonesia daripada Belanda terhadap kedua pulau. Bentuk bukti tersebut adalah patroli Angkatan Laut Belanda pada 1921 dan TNI Angkatan Laut sesudah Indonesia merdeka.
Namun, ketiga argumentasi tadi dipatahkan oleh kemenangan Malaysia yang hanya menyampaikan dua argumentasi. Dengan menggunakan analisis, Mahkamah Internasional menyimpulkan bahwa klaim effective occupation yang diajukan Malaysia lebih menunjukkan bukti adanya effective administration atas kedua pulau tersebut dibandingkan klaim yang diajukan Indonesia.
Keputusan yang disampaikan oleh Mahkamah Internasional yakni, bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan adalah milik Malaysia. Terkaitan dengan bukti-bukti yang diajukan oleh pihak Malaysia dinilai meyakinkan para hakim, yaitu berupa penugasan dan pengelolaan penyu dan pengambilan telur penyu oleh Inggris, pembentukan wilayah suaka burung di Pulau Sipadan pada 1933, dan pembangunan mercusuar yang dirawat secara berkala di kedua pulau oleh otoritas colonial British North Borneo pada tahun 1960-an
Sebelum menyampaikan argumentasi effective occupation, Malaysia juga sempat memberikan argumentasi serupa mengenai warisan yang diperoleh dari Sultan Sulu. Tetapi argumentasi ini ditolak sama seperti Indonesia. Pada akhirnya, Indonesia harus merelakan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi miliki Negeri Jiran, Malaysia (dari berbagai sumber). []
- Sabian Vega Arwi
5 Pulau Tak Berpenghuni Memancarkan Keindahan
Empat Alasan Pulau Natuna Ingin Dikuasai China
Melihat Keindahan Pulau Saipan, Bali-nya Amerika Serikat
Film Pulau Plastik Tunjukkan Efek Sampah Plastik