DPR: Utang Indonesia Untuk Belanja Produktif, Masih Wajar dan Seimbang

Jika pun ada kritik terhadap utang yang besar di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo, sangatlah tidak tepat. Karena setiap utang itu disetujui oleh pemerintah dan DPR.
Johnny G Plate (Foto: MI)

Jakarta, (Tagar 6/9/2017) - Total utang pemerintah Indonesia hingga akhir Juli 2017 tercatat menembus angka Rp 3.779,98 triliun. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp 73,46 triliun dibanding bulan sebelumnya sebesar Rp 3.706,52 triliun.

Namun, peningkatan besaran utang tersebut dinilai sesuai dengan kebutuhan ekonomi di Indonesia. Indonesia dikenal merupakan negara yang punya pertumbuhan ekonomi yang baik, sehingga dipercaya untuk mendapatkan pinjaman utang.

"Utang besar atau kecilnya relatif, jika semakin besar harus dikelola dengan baik. Tidak berarti tidak ada utang lebih bagus. Yang menjadi persoalan kalau ada negara yang memberikan utang, berarti negara kita perekonomiannya baik," ungkap Anggota Komisi XI Johnny G Plate saat dihubungi Tagar.id di Jakarta, Rabu, (6/9).

Asumsi Produk Domestik Bruto (PDB) dalam APBN-P 2017 sebesar Rp 13.613 triliun, maka rasio total outstanding utang pemerintah mencapai 27,77% terhadap PDB. Bisa dikatakan utang yang dimiliki pemerintah masih wajar, sesuai dengan pendapatan nasional semua sektor.

"Indonesia itu kenapa mendapat kepercayaan utang, karena manajemen utang baik. Total outstanding utang rendah sekali 28 persen, padahal bisa sampai 60 persen. Nah, ini karena Indonesia bukan cuma punya manajemen baik tapi juga dikenal konservatif terhadap utang," jelasnya.

Menurutnya, kalau masalah utang dianggap beban, maka hal tersebut kurang tepat. Pemerintah Indonesia mempunyai defisit budget system artinya akan selalu ada pembiayaan utang.

"Utang tersebut diperlukan untuk stimulus pembangunan ekonomi besar. Bisa saja Indonesia tidak berutang dengan menganut sistem balance budget namun anggaran belanja pun harus lebih kecil," tambahnya.

Jika pun ada kritik terhadap utang yang besar di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo, menurut Politisi Nasdem ini sangatlah tidak tepat. Karena setiap utang itu disetujui oleh pemerintah dan DPR.

Besaran utang pun bukan ditentukan dari masa satu presiden saja. Tetapi, setiap satu masa jabatan presiden berakhir, maka jatuh tempo utang akan akan dibebankan pada presiden berikutnya. Artinya, besaran utang tidak bisa ditentukan karena pemimpin pada satu masa jabatan saja.

"Pinjaman itu disetujui DPR, artinya utang bukan Pak Jokowi yang bayar. Pada saat adanya pinjaman negara, dibebankan bukan pada presiden, karena utang sudah disetujui DPR melalui APBN," imbuhnya.

Ia menambahkan manajemen Kementerian Keuangan dalam mengelola utang sudah sangat hati-hati dengan kualitas yang membaik. Utang pun tidak digunakan untuk belanja konsumtif, tapi untuk belanja produktif yaitu pembangunan infrastruktur dan sarana yang hasilnya bisa didapatkan, bukan untuk subsidi.

"Tapi, jangan sampai terjebak dengan debt trap, hutang terlalu besar dibandingkan dengan PDB, kemudian anggaran belanja digunakan hanya untuk konsumsi yang pasti habis dan tidak menghasilkan kembali," pungkasnya. (nhn)

Berita terkait
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.