Doni Monardo dan Sepiring Sukun di Pinggir Kali

Doni Monardo mendekati pohon sukun itu dan berkata pelan, mohon izin, Bung Karno, saya memotong dahan pohon sukun untuk saya tanam di tempat lain.
Doni Monardo (depan) yang selalu senang berada dekat dengan alam. (Foto: Tagar/Facebook Egy Massadiah)

Jakarta - Sukun, nama latinnya Artocarpus altilis ternyata sangat memikat hati Doni Monardo. Buah tanpa biji, berbentuk bulat, berkulit hijau kekuningan, dengan duri-duri yang tereduksi, ini mudah ditemukan di kampung-kampung di penjuru Indonesia. Doni melihat sukun sebagai pertahanan pangan masyarakat. Belanda ketika menjajah Indonesia, membawa pohon sukun ke negerinya, menanamnya di sana, hingga orang Eropa juga mengenal sukun. Buah sukun memiliki bagian empuk mirip roti setelah direbus atau digoreng, juga bercita rasa roti, karena itu orang Eropa menyebutnya breadfruit atau buah roti.

Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekaligus Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Staf Khususnya yang berlatar belakang jurnalis, Egy Massadiah, mengamati kecintaan Doni pada sukun. Egy sering mendampingi Doni dalam perjalanan kerja ke berbagai pelosok Tanah Air. Hingga kemudian Egy membuat buku Sepiring Sukun di Pinggir Kali, Kiprah Doni Monardo Menjaga Alam. Dalam buku ini, Egy menceritakan persentuhan Doni dengan sukun. 

Seperti ketika rapat kerja dengan Komisi 8 DPR RI, Rabu sore, 13 November 2019, Doni menyajikan sukun goreng untuk anggota komisi. Hari itu pada pagi menjelang berangkat ke kantor, Doni meminta Feryanto ajudannya memasukkan buah sukun ke bagasi mobil. Sehari sebelumnya memang Doni mendapat kiriman dua kotak besar buah sukun dari Ambon, Maluku.

Mohon izin, Bung Karno, saya memotong dahan pohon sukun untuk saya tanam di tempat lain.

Sukun Doni MonardoBuku berjudul Sepiring Sukun di Pinggir Kali - Kiprah Doni Monardo Menjaga Alam, karya Egy Massadiah. (Foto: Dok Tagar)

Sang ajudan pada saat itu belum tahu akan dibawa ke mana dan diberikan kepada siapa, buah sukun segar itu. Sang ajudan baru tahu saat menjelang tiba di gedung DPR RI. Kolonel CZI Budi Irawan, Koorspri Ka BNPB meminta Feryanto membeli minyak goreng untuk menggoreng sukun tersebut di sebuah kantin di kawasan gedung DPR. Budi menerjunkan Mbak Endang dan tim, petugas pelayan di lantai 10 kantor BNPB, untuk mengkoordinir urusan sukun goreng dadakan tersebut. 

Saat Yandri Susanto Ketua Komisi 8 DPR RI membuka rapat, sukun goreng  masih panas sudah terhidang di hadapan anggota dewan yang terhormat. Setidaknya potongan breadfruit renyah dari delapan butir sukun terbagi rata, termasuk di meja peserta rapat tim BNPB.

"Bapak-ibu anggota dewan yang saya hormati, sore ini saya menyajikan sukun dari Ambon yang digoreng dadakan," ujar Doni seraya mengajak semua pimpinan dan anggota Komisi VIII mencicipi sukun renyah.

Setelah memaparkan kinerja BNPB, Doni dengan penuh semangat menyampaikan hal-hal berkaitan penghijauan termasuk ketahanan pangan masyarakat, sukun yang paling ia rekomendasikan. Bukan hanya untuk ketahanan pangan, pohon sukun berfungsi menjaga ketersediaan sumber air. "Kalau setiap desa punya pohon sukun yang cukup, sangat mungkin bisa menyimpan air. Jadi ketika kemarau panjang sumber air di desa itu masih bisa terjaga."

Sukun Doni MonardoSepiring sukun goreng kesukaan Doni Monardo. (Foto: Tagar/Facebook Egy Massadiah)

Penjelasan Doni itu berdasarkan pengalaman pribadi. Saat berpangkat letnan satu bertugas di Timor Timur, Doni melihat hampir semua desa yang mempunyai banyak pohon sukun pasti tidak kekurangan air.

"Kita harus jaga mata air agar kelak tidak berurai air mata," kata Doni. Ia juga menanam pohon sukun di rumahnya di kawasan BSD, Tangerang Selatan, Banten. 

Keberadaan sukun, kata Doni, bisa menjadi tanaman lapis kedua setelah mangrove, kelapa, cemara udang, ketapang, waru, dan tanaman lain yang akrab dengan tanah berpasir, serta air asin. "Sukun bisa menahan abrasi, khususnya di sejumlah wilayah kepulauan yang memiliki risiko abrasi tinggi."

Selain menjaga air, buah sukun juga memiliki nilai ekonomi yang hebat. Untuk beberapa jenis sukun, khususnya dari Indonesia timur, Ambon, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua, rasanya gurih renyah dan harga jualnya tinggi.

"Di Singapura, saya dapat info, per kilogram dijual 15 dollar Singapura," kata Doni.

Sukun Doni MonardoBuah sukun, nama latinnya Artocarpus Altilis, buah yang mencuri hati Doni Monardo. (Foto: Tagar/Facebook Egy Massadiah)

Sukun merupakan pangan alternatif, bisa menjadi penopang ekonomi masyarakat terutama saat paceklik atau gagal panen. Bahkan VOC yang telah menikmati hasil rempah Nusantara, juga mengakui keunggulan buah sukun. Pohon sukun dibawa dan ditanam di Belanda, kemudian menyebar di Eropa dengan nama breadfruit atau buah roti. 

Sejumlah Asisten di Kodam Pattimura, periode Doni menjabat Pangdam 2015 hingga 2017, menceritakan nyaris dalam setiap kegiatan Doni menyuguhkan sukun kepada tamu-tamunya, baik digoreng, direbus, dan dikukus. Pendampingnya agar lebih maknyus, yakni gula aren dan parutan kelapa segar.

Di Indonesia sukun dikenal dengan beberapa sebutan. Orang Sunda menyebutnya kulur, orang Aceh menyebutnya kulu, orang Minang menyebutnya kalawi, orang Bugis menyebutnya bakara. 

Doni Monardo dengan fasih menjelaskan sukun adalah kultivar yang terseleksi sehingga tak berbiji. Akarnya mencengkeram kuat, menjalar luar, cocok juga untuk pantai yang rawan tsunami dan longsor. Pengembangbiakannya dengan tunas, sehingga satu pohon bisa tumbuh puluhan pohon baru. Pembibitannya juga terbilang tidak sulit, serta mudah tumbuh.

Sukun Doni MonardoSukun, buah tanpa biji, bentuknya bulat dengan kulit hijau kekuningan dengan duri-duri yang tereduksi. (Foto: Tagar/Facebook Egy Massadiah)

Sukun adalah buah asli Nusantara. Doni suka menyajikan olahan sukun untuk tamu. Tidak terbatas pada sukun, Doni menggemari aneka buah dan hasil bumi lain asal tanah Indonesia. Ia akan memprotes stafnya apabila penganan rapat disajikan buah impor. Para staf di BNPB sudah memahami kegemaran bosnya ini.

Sebuah unggahan di media sosial sempat viral hingga ke grup-grup WhatsApp, menggambarkan kecintaan Doni Monardo pada buah-buahan lokal. Begini bunyinya.

Setelah melarang keras penggunaan botol plastik kemasan sekali pakai di lingkungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badang Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BNPD), termasuk dalam berbagai acara agar membudayakan Tumbler, kembali Letnan Jenderal Doni Monardo mengingatkan jajarannya untuk menyajikan penganan buah-buah lokal Indonesia. Hindari buah impor, agar petani Indonesia menikmati manfaatnya. Salak pondoh, matoa, langsat, rambutan, sukun, singkong, ubi, kacang rebus, adalah jagoan camilan Indonesia. 

Gerakan ini bukan hal baru, namun kerap kita melupakannya, dengan kata lain abai serta tak mau berepot ria. Saatnya konsisten, satunya kata dan perbuatan atas nama kesejahteraan petani. Sedikit saja perubahan, dan jika semua lembaga pemerintah mulai dari pusat hingga paling bawah, termasuk swasta menunaikannya, maka denyutnya akan terasa untuk kebaikan hasil bumi Indonesia serta kesejahteraan petani.

Sukun Bung KarnoPohon sukun dan patung Bung Karno di Ende, Nusa Tenggara Timur. (Foto: Tagar/livingindadream)

Saat melakukan kunjungan kerja ke Nusa Tenggara Timur pada penghujung Desember 2019, Doni Monardo melintasi Kota Ende dalam perjalanan menuju Bajawa. Saat itu tengah malam. Usai menyeruput kopi di rumah Bupati Ende, Doni meluangkan waktu ke patung Bung Karno di bawah pohon sukun. Kisah pohon sukun Soekarno di Ende, bukan saja dikenal luas masyarakat Ende atau NTT, tapi juga oleh bangsa ini.

Soekarno akrab disapa Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia. Pada masa perjuangan, Belanda membuang Soekarno ke Ende. Di tempat ini pada rentang waktu 1934-1938, Bung Karno, mempunyai kebiasaan selepas asar berjalan kaki kurang lebih satu kilometer, mengarah ke pantai. Di bawah pohon sukun menghadap pantai, Bung Karno duduk beralaskan tanah berpasir. Sikapnya diam. Mulutnya terkunci. Tatapannya menerawang. Otaknya berkecamuk tentang banyak hal. Satu di antaranya adalah merenungkan ideologi bangsa, ketika kemerdekaan diraih kelak.

Kita harus jaga mata air agar kelak tidak berurai air mata.

Bung Karno terpekur meratapi nasib dirinya sebagai interniran yang dijauhkan dari bangsanya. Ia larut memikirkan nasib bangsanya yang masih terjajah. Tiba-tiba, sehelai daun sukun kering jatuh menipa lengan kanannya. Sambil memungut daun kering berwarna kecokelatan, Soekarno menengadahkan wajah. Ia melihat rimbunnya daun sukun yang menempel pada lima batang. Seketika, bilangan lima pun terekam kuat di benaknya. 

Masih dalam kebisuan, debur ombak pantai selatan Flores seperti menyuarakan derap irama monoton. Seketika Soekarno teringat kisah Wagiman di Mojokerto. Ia adalah petani yang sering mengisahkan ephos Mahabharata. Setiap hari Wagiman mengisahkan keluhuran budi Pandawa lima: Yudhistira, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Soekarno bergumam, "Pandawa, lima bilangannya."

Sejarah juga mencatat, fase pembuangan di Ende adalah fase pendalaman Islam seorang Soekarno. Jejaknya terhimpun dalam naskah Surat-surat Islam dari Ende. Saat itulah Bung Karno dan A. Hasan, sahabatnya di Bandung, berkorespondensi tentang hal-ihwal Islam.

Malam-malam larut, saat terjaga di antara tidur, Bung Karno mengambil air wudu kemudian salat tahajud. Jejak ruang salat di rumah pembuangan Ende masih mengguratkan warna gelap pada tiga bagian yang tersentuh kedua telapak tangan dan dahinya ketika bersujud. Bung Karno berpikir, "Umat Islam diwajibkan salat lima kali dalam sehari."

Renungan di bawah pohon sukun bercabang lima di pesisir Pantai Ende itulah yang menggenapi lima sila yang dipidatokan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Lima asas itulah yang kemudian digodok tim perumus hingga hari ini mewujud ideologi bangsa kita: Pancasila.

Doni Monardo pada tengah malam itu mendekati pohon sukun di belakang patung Bung Karno, bersiap memotong dahan, "Mohon izin, Bung Karno, saya memotong dahan pohon sukun untuk saya tanam di tempat lain." []

Berita terkait
Doni Monardo pada Jam Makan Siang di Graha BNPB
Makan siang di Graha BNPB, olahan serba sagu terhidang di meja: briyani, kabsa, liwet, uduk Papua, sagu goreng. Doni Monardo minta piring besar.
Setelah Perahu Doni Monardo Melaju Cepat Membelah Segara Anakan
Perahu Doni Monardo itu melaju cepat membelah Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah, sesekali perahu melambat saat berpapasan dengan sampan nelayan.
Menyesap Secangkir Kopi di Bawah Pohon Bersama Doni Monardo
Pria berpostur tinggi besar itu tersenyum lebar, semringah, tangannya menyentuh daun-daun hijau pada batang pohon. Sisi lain Doni Monardo.
0
PBB Serukan Taliban Batalkan Pembatasan Hak Perempuan
Dewan Keamanan (DK) PBB juga terus menekan otoritas Taliban untuk membatalkan pembatasan pada perempuan dan untuk menstabilkan negara