Setiap doa pasti tujuannya baik, sehingga pantas ditujukan ke siapa saja.
Agama diciptakan Tuhan untuk manusia, sehingga roh agama itu adalah kemanusiaan yang nilainya universal. Di mana tidak pernah dibatasi isu SARA.
Sedang Tuhan sendiri adalah sesuatu yang Maha segalanya, tak tergambarkan oleh siapa pun. Tuhan tanpa awal dan akhir dan tidak berlaku hukum sebab-akibat. Energi Tuhan luar biasa besarnya, jauh lebih besar dari ciptaanNya. Secara ilmu fisika, keberadaan Tuhan itu logis dan riil. Tuhan itu hanya satu, dan bagi siapa pun, tidak peduli itu agamanya A, atau B, atau C, dan lain-lain. Jadi Tuhannya sama bagi seluruh umat manusia: Sangkan paraning dumadi: tempat kita berasal dan tempat kita kembali.
Menjadi relijius itu amat mulia, namun jika kehidupan keagamaannya begitu eksklusif dan fanatik, maka jelas itu jalan sesat.
Munculnya istilah Tuhan A, atau Tuhan B, atau Tuhan C, terjadi ketika agama dipolitisir untuk tujuan politik yaitu menguasai dan menindas orang lain dengan modus bahwa Tuhan saya beda dengan Tuhan kalian. Latar belakang sejarah manusia dalam mengenali dan menggambarkan Tuhannya, sifatnya subyektif, bahkan dalam kondisi tertentu sangat sumir, karena tidak didukung pemahaman yang baik.
Indonesia adalah negara relijius, negara memberikan istilah Agama Negara bagi agama-agama yang dianut rakyat Indonesia. Dalam suasana yang plural seperti Indonesia ini, mestinya dibedakan antara kehidupan keagamaan dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Istilah-istilah keagamaan tertentu yang diyakini kebenarannya oleh umat tertentu, mestinya tidak menjadi ucapan sehar-hari, di ruang-ruang publik yang plural ini, karena ada kemungkinan menyinggung dan menyakiti umat agama lain, karena perbedaan pemahaman. Di situlah dibutuhkan toleransi. Yaitu memberi ruang bagi umat agama lain untuk menjalankan hak dasarnya sebagai manusia dalam beragama. Toleransi tidak berarti mencampur aduk akidah.
Menjadi relijius itu amat mulia, namun jika kehidupan keagamaannya begitu eksklusif dan fanatik, maka jelas itu jalan sesat, baik dalam tataran keagamaan maupun kehidupan berbangsa dan bernegara, karena sudah tidak mampu melihat kebenaran obyektif pada orang lain. Adanya dirinya sendiri yang benar.
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, tidak mengenal istilah mayoritas dan minoritas. Musyawarah untuk mufakat, musyawarah untuk sepakat. Istilah itu juga tidak dikenal dalam konteks keagamaan, karena pada dasarnya sifat manusia itu bisa benar atau salah. Kalau benar terus itu namanya malaikat, kalau salah terus namanya setan jahanam.
Manusia tidak perlu merampas hak Tuhan dalam menilai kebenaran keagamaan seseorang. Itu sepenuhnya hak Tuhan. Stop pretending to be the God. Manusia hanya makhluk berlumur dosa, tidak layak menilai keagamaan orang lain.
Sekali lagi roh agama adalah kemanusiaan. Politisasi agama yang bernuansa sadistik, dan sarkastik, jelas bukan ajaran agama.
Bagi saya pribadi, berdoa itu maknanya universal dalam domain kemanusiaan. Jelas berlaku bagi semua manusia tanpa batas isu-isu SARA.
*Akademisi Universitas Gadjah Mada
Baca tulisan lain:
- MUI Jatim Minta Pejabat Tak Ucap Salam Agama Lain
- Gus Syafruddin Dukung MUI Jatim Tak Salam Agama Lain