Ditempel 3 Sosok Gaib di Gunung Burangrang Jawa Barat

Mendaki Gunung Burangrang di Jawa Barat saat melakukan diklat, mahasiswa diintai tiga sosok misterius, suara gamelan, dan disesatkan kabut tebal.
Pendakian Gunung Burangrang di Jawa Barat. (Foto: Dok.Raimuna).

Bandung - Mungkin saja banyak orang yang tertarik, bahkan merasa bangga saat predikat pecinta alam melekat pada dirinya. Gagah, pemberani, dan berwibawa. Umumnya hal tersebut menjadi gambaran karakter sejati para pegiat alam bebas seperti pada kisah diklat di Gunung Burangrang ini.

Tentu saja bukan hal mudah untuk menyandang predikat tersebut. Diperlukan pembekalan diri dan materi untuk bisa bertahan hidup atau survival di alam bebas. 

Mulai dari belajar navigasi, penyeberangan basah, hingga mengenal ragam jenis flora dan fauna yang bisa dan aman untuk dikonsumsi dalam kondisi terdesak kelaparan di dalam hutan.

Biasanya para pegiat alam tergabung dalam sebuah wadah organisasi, dan di sanalah mereka ditempa menjadi pribadi yang siap mental untuk menghadapi pelbagai macam hal melalui Pendidikan Kilat dan Latihan Dasar (Diklatsar) yang dilaksanakan setahun sekali.

Pada awal tahun 2000-an, salah satu organisasi pecinta alam di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Bandung, menggelar Diklatsar. Tak banyak memang mahasiswa-mahasiswi yang mengikuti pelatihan pada periode itu. 

Organisasi ini biasa melaksanakan kegiatan alam di salah satu gunung di wilayah Jawa Barat, tepatnya di Gunung Burangrang

Ada yang bilang pendidikan pecinta alam itu keras, tetapi panitia nyatanya tetap melaksanakan kegiatan rutin untuk menggembleng mental para calon anggota menjadi mahasiswa-mahasiswi yang survivor dalam kehidupan nyata. 

Pada suatu saat, sembilan orang mahasiswa bersepakat mengikuti pelatihan tersebut, salah satu di antaranya adalah saya. 

Dengan didampingi para kakak pembina, canda tawa, perasaan tegang, dan khawatir menghadapi para senior dan alam liar, terpancar jelas dari sorot mata sembilan orang "anak baru". 

Hari demi hari kami lalui dengan penuh semangat, berjuang mempelajari materi positif yang diberikan kakak kelas dalam diklat ini.

Naik Gunung Menempa Mentalitas

Pendaki BurangrangPendakian Gunung Burangrang di Jawa Barat. (Foto: Dok.Raimuna).

Sebelumnya, saya lupa menjelaskan detail lokasi kami melaksanakan Diklatsar. Organisasi ini biasa melaksanakan kegiatan alam di salah satu gunung di wilayah Jawa Barat, tepatnya di Gunung Burangrang yang terletak di antara perbatasan Kabupaten Bandung dengan Purwakarta. 

Lokasi ini sengaja dipilih karena dirasa memiliki segala kebutuhan pelatihan untuk bisa dipelajari dalam tahap pembekalan.

Perkenalkan, nama saya Sandi. Saat itu saya masih menjadi seorang maba alias mahasiswa baru di kampus tercinta tempat saya menimba ilmu. Dan yang pasti, keturutseraan saya di sini, ingin bergaul seluas-luasnya, agar bisa dikenal seluruh penghuni kampus, salah satu caranya, dengan mengikuti kegiatan ini.

Kembali lagi berbicara tentang Diklatsar. Pada saat itu saya merasa tidak ada yang aneh dengan lokasi tersebut. Terlebih pada siang hari.

Layaknya suatu pedesaan di kaki gunung lainnya. Desa lokasi Diklatsar kami, lebih melihat keramahan masyarakat dan rutinitas mereka setiap hari, yang mayoritas bekerja sebagai petani sayuran. Itu yang kami saksikan setiap hari selama digembleng dalam Diklatsar ini.

Tetapi, lain hal lagi jika sudah memasuki malam hari. Suasana gunung ini menjadi sepi dan nyaris hening, belum lagi suasana mencekam begitu lekat terasa. Hanya sahut-sahut binatang malam yang kami dengar, tanpa ada kebisingan seperti halnya di dalam kota.

Singkat cerita, akhirnya kita memasuki malam terahir dalam melaksanakan Diklatsar yang sudah berjalan selama enam hari penuh, tanpa ada satu pun kendala.

Namun di tengah perjalanan, salah satu senior kami yang berada di barisan paling belakang tiba-tiba saja ngacir menyalip barisan.

Ada tradisi yang biasa kita lakukan, yakni seluruh siswa harus mendaki puncak Gunung Burangrang untuk bisa dinyatakan lulus dari Diklatsar, sehingga bisa ditetapkan resmi sebagai anggota muda.

Malam kian larut, tiupan angin berembus semakin kencang, hingga terasa menusuk kulit hingga menyusup ke tulang. Sementara tim dan seluruh siswa diklat terus mempersiapkan diri untuk kebutuhan pendakian, hingga waktu penanjakan pun akhirnya tiba juga. 

Waktu tempuh normal diperkirakan tak lebih dari empat jam untuk bisa mencapai puncak Gunung Burangrang dari lokasi berkemah.

Perlu diketahui, bukan satu atau dua kali saja organisasi ini melaksanakan diklat di gunung tersebut, tetapi sudah sejak tahun 1996, hingga tulisan ini dibuat, kita tetap berkegiatan di tempat tersebut melanjutkan legenda lama. 

Namun, malam itu, entah kenapa kita semua merasa sangat kelelahan. Waktu pendakian terasa amat panjang, keringat terus mengucur meski angin sepoi-sepoi dan dingin malam membekap tubuh, ditambah nafas mulai tersengal-sengal karena berada di ketinggian dengan kadar oksigen yang kian menipis.

Saat itu para siswa berjalan beriringan. Di barisan terdepan ada leader yang menuntun jalan. Begitu juga pada bagian belakang, takut-takut ada siswa yang kelelahan dan tertinggal bakal dijaga seorang sweeper yang merupakan senior kami di kampus.

Namun di tengah perjalanan, salah satu senior kami yang berada di barisan paling belakang tiba-tiba saja ngacir menyalip barisan. Dia melaju ke arah depan dengan setengah berlari, kemudian menghampiri senior lainnya.

Mereka semua berembuk di tengah perjalanan, dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Entah apa yang terjadi malam itu. Namun yang pasti, nampak wajah senior yang tadi berlari terlihat sangat pucat pasi. 

Sebagai junior, kami hanya bisa bergumam, tak berani bertanya apalagi menyahut menanyakan kenapa dan apa yang terjadi, mengapa dia harus lari kocar-kacir seperti orang ketakutan.

Dalam peristirahatan, kami berusaha memulihkan kondisi fisik yang terkuras dengan membuat teh manis dan kopi hangat. Saya sempat meneguk segelas teh manis. Lumayan untuk menghangatkan badan dan mmbuat relaks pikiran, meski sejenak.

Melalui Jalur Menanjak dan Tersesat

Burangrang PendakiPendakian Gunung Burangrang di Jawa Barat. (Foto: Dok.Raimuna).

"Kita istirahat dulu ya disini. Kita buat minuman hangat dulu untuk pulihkan stamina," teriak lantang salah seorang senior kami.

Tidak lama setelah beristirahat, seluruh senior merapatkan barisan, berdialog, dan kemudian memutuskan untuk turun kembali ke basecamp, mengurungkan niatnya alias tidak jadi melanjutkan pendakian ke puncak.

Kami hanya mengikuti perintah dan patuh dengan apa yang diinstruksikan senior, benar-benar junior itu tidak punya kapasitas untuk melawan atasan. 

Rasa kecewa sempat timbul dalam benak, karena tidak bisa melanjutkan pendakian ke atap Burangrang, atau dengan kata lain kami bisa disebut gagal menyempurnakan pendidikan karena kurang memenuhi syarat. Tetapi ya sudahlah, pikirku mereka yang lebih tahu tentang kondisi saat itu.

"Dengan segala pertimbangan, kita putuskan untuk kembali ke basecamp dan tidak melanjutkan pendakian, untuk yang ingin bertanya nanti kita akan jelaskan apa alasannya di basecamp," jelas Kang Chandra, pembina kami.

Namun tidak lama berselang, hal aneh mulai terjadi saat kami hendak kembali ke basecamp. Kabut putih turun secara tiba-tiba hingga kami hanya memiliki jarak pandang yang terbatas, tak lebih dari lima meter.

Yang anehnya lagi, saat kami hendak turun, menjadi terasa amat sangat lama dan jaraknya menjadi jauh. Jika secara logika waktu tempuh menuruni bukit seharusnya lebih cepat daripada pendakian, namun pada waktu itu kita hanya berpikir kondisi tubuh sudah terlalu lelah sehingga perjalanan menjadi terasa sangat lama.

Dan pada akhirnya, kami merasa senang sesaat, kala mendengar suara gamelan dan musik khas tradisional khas Jawa. Yang terlintas dalam benak kala itu adalah, rombongan sudah mulai dekat dan memasuki areal perkampungan.

Namun tak disangka-sangka, lebih dari dua jam sudah kami berjalan malahan tidak kunjung melihat perkampungan, karena yang sempat terbersit dipikiran malam itu masyarakat setempat sedang ada hajatan.

Bulu kuduk mulai naik, rasa cemas meningkat drastis. Kami tak lagi saling berbicara, hanya dapat saling menatap penuh tanya. Lalu apa dan dari mana suara musik gamelan yang kami dengar tadi? 

Logika berpikir mulai jernih, mana mungkin di hutan belantara ini ada orang berpesta seperti melangsungkan hajatan, terlebih dalam kondisi malam sudah sangat larut.

Kami terus melangkah dengan segudang rasa cemas, sambil berteriak-teriak memanggil rekan-rekan yang bertugas menjaga tenda di basecamp, namun anehnya tak ada satupun balasan ataupun respons. 

Mulai Menemukan Titik Terang

Setelah terus berjalan, yang dirasa sangat lama, akhirnya kabut putih itu perlahan menghilang. Dari kejauhan kami mendengar teriakan rekan dari bawah sana, terdengar pula suara azan subuh berkumandang, perasaan lega saat itu tak bisa lagi tergambarkan.

Setibanya di basecamp, rekan kami bercerita. Ternyata dia sudah lebih dari dua jam berteriak-teriak, memanggil, dan menyerukan jargon organisasi kami. Namun suara kencang itu sama sekali tidak saya dengar.

Bahkan, katanya, dia sempat naik hingga ke punggungan bukit, namun tak kunjung mendapat balasan suara. Begitu pun Kang Chandra yang menceritakan kejadian yang kami alami saat pendakian hingga memutuskan untuk kembali ke lokasi berkemah.

Burangrang PendakiPendakian Gunung Burangrang di Jawa Barat. (Foto: Dok.Raimuna).

Pada saat itu, saya belum paham betul apa yang sedang terjadi, sehingga para pembina mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan pendakian ke atas Burangrang.

Dalam benak saya, segudang pertanyaan terus melintas di kepala, apakah ada hubungannya semua ini? Mulai dari senior kami yang terlihat tiba-tiba pucat pasi, kabut tebal menutup jalan, suara gamelan misterius, hingga teriakan-teriakan yang seakan menutup telinga, hingga tidak mendengar sahutan dari basecamp.

Malam telah berlalu, kami segera bergegas merapikan semua peralatan yang kami bawa, dan berpamitan kepada warga sekitar, termasuk ke salah seorang sesepuh di desa, karena memang seperti itu lah kebiasaan yang kami lakukan sejak dulu, tentu sambil menceritakan kejadian aneh yang menerpa kami pada malam pendakian semalam.

Yang membuat kami merasa tercengan, ternyata senior kami yang terlihat pucat kemarin malam bercerita, pada saat dia menghitung jumlah siswa ternyata ada sesuatu hal yang janggal. 

Seharusnya siswa diklat hanya berjumlah sembilan orang, namun saat itu dia berulang kali menghitung barisan malahan bertambah menjadi 12 orang.

Artinya, siswa di barisan tersebut bertambah tiga orang. Dia meyakini, ada sosok tidak diundang selama proses perjalanan pendakian dan ikut menyelinap, hingga akhirnya memutuskan untuk berkordinasi dengan senior lainnya, sehingga memutuskan tidak melanjutkan pendakian karena dinilai berisiko. 

Menurutnya, ketiga sosok tambahan itu terus mengikuti rombongan dengan berjalan di belakang, dengan postur tubuh yang lebih tinggi tegap, berbeda dengan siswa lainnya. Ketiganya hanya menunduk tanpa memperlihatkan wajahnya ataupun bersuara.

Hingga pada akhirnya ketiga siswa misterius tersebut menghilang berbarengan dengan lenyapnya kabut yang pada saat bersamaan berkumandang azan subuh.

Salah seorang sesepuh desa yang mendengarkan kisah dari Kang Chandra dan pembina lainnya. Ketika diceritakan, pria tua ini hanya tersenyum kecil. 

Sesepuh adat setempat menjelaskan, ternyata pada saat kami melakukan pendakian di hutan tersebut, memang benar sedang ada "hajatan" di dimensi lain.

Maka dari itu terdengar suara-suara gamelan di tengah hutan dan menurutnya, ketiga sosok yang menyerupai manusia pada malam itu hanya menjaga dan mengantarkan kami semua ke tempat kita berkemah, agar tidak melanjutkan perjalanan karena dirasa akan ada bencana.

Mendengar penjelasan itu, dalam hatiku bergejolak antara percaya dan tidak percaya. Namun, itulah pengalaman yang kami alami saat itu dan yang pasti, setelah beberapa hari setelah kejadian itu, memang ada peristiwa alam yang terjadi di sana. []

Berita terkait
Ular Berkepala Kucing Penunggu Rana Roko di NTT
Air panas Rana Roko adalah destinasi wisata di Flores, NTT. Namun, sisi mistisnya kuat. Ular berkepala kucing dan bidadari menunggu tempat ini.
Menelusuri Lokasi Nyata Kisah Horor KKN Desa Penari
Kisah KKN Desa Penari yang ditengarai berada di Banyuwangi, menjadi viral di media sosial Twitter karena hal mistik di sana begitu menyeramkan.
Mitos Pulung Gantung, Marak Bunuh Diri di Gunungkidul
Mitos pulung gantung atau bunuh diri dengan cara gantung diri telah terjadi secara turun temurun di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.