Diculik Hantu Wewe dan Mitos Larangan di Yogyakarta

Sejumlah mitos dan larangan sering disampaikan oleh orang tua pada anaknya di Yogyakarta. Salah satunya adalah dilarang keluar saat Magrib.
Ilustrasi pohon besar. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta – Sejumlah anak laki-laki berlarian menyusuri gang sempit Kampung Badran, Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. Mereka seperti tak peduli pada ibu-ibu yang duduk-duduk di depan salah satu rumah.

Sesekali mereka tertawa, kemudian berteriak bersamaan. Entah permainan apa yang sedang mereka mainkan. Wajah-wajah mereka tampak mengilap oleh keringat yang memantulkan cahaya matahari sore itu, Senin, 12 Oktober 2020.

Beberapa anak yang lebih kecil muncul dari belokan gang. Mereka terlihat lebih rapi dan segar daripada kakak-kakaknya yang bermandi peluh. Dua kelompok anak-anak itu tidak bermain bersama. Tapi jarak mereka hanya terpaut sekitar tiga atau empat meter.

Hanya berselang sekitar 10 menit, beberapa anak laki-laki yang tadi berkejaran berjalan menuju pulang. Ibu mereka memanggil dari kejauhan. Sementara tiga temannya berjalan menuju tepi Sungai Winongo di sebelah barat kampung.

Anak-anak yang berjalan ke arah sungai rupanya belum puas bermain. Mereka kemudian berenang di mbelik atau mata air di tepi sungai. Di situ mereka melanjutkan keseruannya, saling menyiram air dan bermain gulat-gulatan.

Namun keseruan dan permainan mereka di mata air itu tidak berlangsung lama. Tawa dan canda mereka terhenti saat seorang perempuan berjilbab datang.

Ket mau dolan wae, nganti arep magrib durung mulih. Kowe nek digondol wewe kapok. Wis, saiki mulih. (Dari tadi main terus, sampai hampir Magrib belum pulang. Kamu kalau diculik wewe baru tahu rasa. Sudah, sekarang pulang),” kata perempuan itu pada dua anak yang sedang bermain.

Wewe adalah hantu perempuan yang disebut-sebut suka menculik dan menyembunyikan anak-anak. Wewe dipercaya tinggal di pohon-pohon besar.

Kedua anak yang ditegur oleh perempuan itu segera keluar dari kolam mata air, kemudian berjalan menuju arah rumahnya, diikuti oleh si perempuan yang merupakan ibunya. Sementara dua temannya memilih untuk melanjutkan permainan.

Larangan demi Kebaikan

Melarang anak bermain dan berada di luar rumah menjelang Magrib hingga sesudahnya dengan mengatasnamakan wewe bukan hal aneh untuk sebagian orang Jawa.

Larangan itu seperti digaungkan turun temurun, termasuk penggunaan wewe untuk menakut-nakuti mereka yang tidak menurut.

Yuli, 41 tahun, ibu yang menyusul dua anaknya di mata air Sungai Winongo itu, mengaku bahwa sebenarnya dirinya tidak terlalu percaya dengan adanya hantu wewe yang menculik anak kecil. Ucapannya yang menakut-nakuti sang anak muncul karena spontanitas.

“Sebetulnya bukan masalah wewe. Itu cuma kebiasaan saja karena sebagian orang tua sering menakut-nakuti seperti itu. Kalau anak-anak saya pulang itu bukan takut wewe tapi takut sama saya,” ucapnya sambil tertawa.

Cerita Mitos Larangan di Yogyakarta (2)Sejumlah anak bermain di mata air yang ada di tepi Sungai Winongo, Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Dia menjelaskan, ada beberapa ucapan larangan terkesan berbau mitos yang sering digunakan untuk memperingatkan anak-anak. Salah satunya adalah tentang diculik oleh hantu wewe tadi. Larangan-larangan itu sering di dengarnya sejak dia masih kecil.

Yuli mengakui bahwa melarang anak-anak dengan cara menakut-nakuti mereka bukan hal yang mendidik. Oleh karena itu larangan dengan kalimat seperti itu sebisa mungkin dia hindari, meski kadang muncul secara spontan.

Sebetulnya kan supaya anak-anak itu sudah di rumah sebelum Magrib. Kalau sesudah Magrib baru pulang kadang mereka belajarnya jadi malas-malasan karena capek bermain. Jadi tujuannya untuk kebaikan mereka juga.

Dampak negatif dari larangan yang berbau menakut-nakuti, menurutnya sudah dia rasakan. Salah satunya adalah membuat si anak menjadi penakut.

Dia mencontohkan dua anaknya yang kadang tidak berani ke kamar mandi sendiri. Padahal saat di luar rumah tak jarang anak-anaknya bermain di area pekuburan yang terletak tidak terlalu jauh dari rumahnya.

“Kalau kayak wewe begitu, mereka nggak takut. Main di kuburan juga nggak takut. Tapi kalau di rumah, dia takut sama hantu. Tapi gimana lagi, larangan begitu munculnya spontan.”

Akhirnya dia juga yang harus kembali menjelaskan pada si anak agar mereka tidak takut pada hantu, sekaligus mengajarkan beberapa doa-doa pendek yang dipercaya bisa mengusir hantu.

Larangan Lain yang Berbau Mitos

Selain larangan masih berada di luar rumah menjelang Magrib, ada beberapa larangan lain yang sering didengarnya. Salah satunya adalah tidak boleh duduk di depan pintu.

Menurutnya orang-orang tua zaman dulu sering menakut-nakuti anak perempuannya dengan mengatakan bahwa jika duduk di depan pintu mereka akan susah jodoh. Sebagian mengatakan jika duduk di depan pintu rezeki tidak akan lancar.

Gimana ya. Mungkin itu supaya anak-anak menurut aja. Bisa jadi orang tua itu sebenarnya mau menjelaskan bahwa duduk di depan pintu akan mengganggu orang yang lewat. Tapi kalau dijelaskan begitu kan kadang orang nggak nurut,” kata dia menduga-duga.

Larangan lain yang juga tak jarang didengarnya hingga saat ini adalah tidak boleh duduk atau berdiri di atas bantal, sebab bisa menyebabkan bisulan.

Kata Yuli, dulu dia sangat percaya dengan mitos itu dan tidak pernah mau duduk di atas bantal. Bahkan jika secara tidak disadari dia duduk di atas bantal, dia akan secepatnya menepuk-nepuk bantal itu dan meletakkannya di kepala.

Kebiasaan itu terbawa hingga dia dewasa dan memiliki tiga anak. Yuli segera menepuk-nepuk bantal jika anaknya menginjak-injak.

“Akhirnya jadi berpikir, sebenarnya dilarang injak bantal bukan karena bikin bisulan, tapi supaya bantal tidak kotor,” ucapnya lagi.

Dia pernah melarang anaknya dengan menakut-nakuti bahwa jika mereka duduk di atas bantal, mereka akan bisulan. “Anakku malah bilang ‘Kan ada salep, nanti diobati’. Jadi saya melarangnya nggak gitu lagi. Saya bilang mereka bakal dicubit kalau duduk atau berdiri di bantal. Malah nurut,” kata dia menceritakan.

Larangan lain yang masih berbau mitos adalah tidak boleh buang air kecil atau kencing sembarangan, terutama di bawah pohon besar dan di tempat-tempat yang baru dikunjungi.

Menurut kepercayaan, jika seseorang buang air kecil sembarangan, bisa jadi mereka secara tidak sengaja mengencingi makhluk tak kasat mata penjaga tempat itu, atau mengencingi rumah makhluk-makhluk tak kasat mata itu.

Akibatnya, si penunggu tempat itu menjadi marah, kemudian membalas orang yang buang air sembarangan, mulai dari kemaluan yang bengkak, kaki yang tidak bisa jalan, dan beberapa penyakit lain.

“Iya, saya pernah dengar yang begitu. Tapi itu biasanya di hutan atau di tempat yang baru didatangi,” ucapnya lagi.

“Anak-anak saya juga saya larang kencing sembarangan, tapi bukan dengan mengatakan jin penunggunya bakal marah. Saya cuma kasih tahu bilang itu kan jorok,” dia melanjutkan. []

Berita terkait
Mahasiswi Cantik NTB Petarung Andal di Turnamen PUBG
Seorang mahasiswi Universitas Mataram, NTB, menjadi penggemar permainan PUBG dan sering menjuarai turnamen bersama timnya.
Mercusuar Belanda Saksi Perkembangan Pelabuhan Semarang
Mercusuar Willem III yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1884 menjadi saksi bisu perkembangan Pelabuhan di Kota Semarang.
Cerita Mistis Jembatan Menuju Makam Sombayya Bulukumba
warga Desa Somba Palioi, Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba meyakini bahwa warga asli Gowa pantang melintasi jembatan di daerahnya.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.