Di Tenda Pengungsian, Seorang Ibu Menatap Gambar Capres-Cawapres

Di tenda pengungsian, seorang ibu menatap gambar Capres-Cawapres yang ia akan pilih pada 17 April 2019.
Warga terdampak gempa dan tsunami Palu-Donggala memasak di kawasan pengungsian hunian sementara yang dibangun warga di Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Sabtu (13/10/2018). (Foto: Antara/Sahrul Manda Tikupadang)

Palu, (Tagar 7/4/2019) - Seorang ibu itu bernama Salma, korban gempa bumi dan tsunami di Desa Tompe, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Ia duduk di depan tenda pengungsian, memperhatikan gambar calon presiden dan calon wakil presiden, kontestan Pilpres 2019.

Lima bulan sudah Salma menjadi pengungsi. Ia mengatakan akan mengikuti pemilihan umum pada 17 April 2019 nanti.

"Tetap harus memilih, sebagai bentuk terima kasih kepada pemerintah atas bantuan yang selama ini diberikan kepada kami," kata Salma kepada Antara.

Ia dan suaminya adalah nelayan yang tinggal bersama tiga orang anak mereka di tenda berwarna putih bantuan sosial karena rumah mereka hancur disapu tsunami, 28 September 2019. 

Bencana gempa dan tsunami meluluhlantahkan sebagian besar wilayah pantai di Kabupaten Donggala, mengakibatkan banyak dari warganya yang kehilangan tempat tinggal dan harta benda bahkan sanak saudara.

Puluhan ribu jiwa terpaksa mengungsi. Banyak yang mengungsi di selter dan tenda-tenda pengungsi dan tidak sedikit yang tinggal di rumah keluarganya yang tidak rusak diguncang gempa bermagnitudo 7,4 pada skala richter itu.

Walau tengah dirundung duka dan trauma mendalam, namun semangat merayakan demokrasi di tenda-tenda pengungsian Kecamatan Sirenja tampak tetap tinggi.

Pilihan kita akan menentukan nasib lima tahun ke depan. Yang penting ada surat panggilan untuk memilih, saya akan memilih. Saya dan keluarga tidak pernah golput.

"Menggunakan hak suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April nanti adalah sesuatu yang wajib diikuti dan dimeriahkan oleh para pengungsi Donggala," ujar Salma yang sedang menanti kepulangan suaminya dari melaut sore itu.

Duka dan kesedihan yang belum juga habis tidak menjadi penghalang baginya untuk memilih siapa pemimpin yang akan menahkodai mereka lima tahun ke depan.

Selain itu kata ibu tiga anak ini, menggunakan hak pilih saat pemilu nanti adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap orang yang mengaku warga negara Indonesia.

"Sebab pilihan kita akan menentukan nasib lima tahun ke depan. Yang penting ada surat panggilan untuk memilih, saya akan memilih. Saya dan keluarga tidak pernah golput," ujarnya.

Hal serupa dikemukakan Adnan, pengungsi korban gempa di Desa Dampal, Kecamatan Sirenja.

"Selain karena kewajiban sebagai warga negara juga karena dorongan hati untuk dipimpin oleh pemimpin yang saya anggap baik," ucap Adnan saat ditemui di kawasan hunian sementara (huntara) yang baru selesai dibangun.

Ada harapan ingin disampaikan Adnan yang seorang petani sekaligus anggota hansip desa, bahwa pemimpin yang dipilihnya nanti akan menentukan nasib bangsa Indonesia ke depan. 

“Jangan sampai terjadi salah memilih pemimpin saat sudah di bilik suara nanti, apalagi hanya karena iming-imingan duit,” katanya.

Adnan sadar dirinya tidak ingin sampai salah memilih pemimpin hanya karena tawaran uang. 

“Pilihlah berdasarkan hati nurani. Kalaupun tetap dipaksa dikasih uang, ambil saja uangnya tapi jangan pilih si pemberi uang," ucapnya sambil tertawa.

Adnan juga mengajak seluruh masyarakat untuk turut serta mengamankan dan melancarkan jalannya proses pemungutan suara nanti.

Ia menyadari sikap peduli itu penting dilakukan untuk mencegah aksi oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang ingin melakukan kecurangan ataupun mengacaukan jalannya pemungutan suara nanti. []

Baca juga:

Berita terkait