Di Balik Senyum Anak-anak Korban Penggusuran Tambakrejo

Kisah di balik senyum anak-anak korban penggusuran Tambakrejo yang tinggal di hunian sementara di bawah jembatan di Semarang.
Anak-anak korban penggusuran di Tambakrejo, Kota Semarang, Jawa Tengah mengikuti kegiatan trauma healing, Sabtu 22 Juni 2019). (Foto: Tagar/Agus Joko Mulyono)

Semarang - “Inna a’thoinaakal kautsar. Fasholli lirobbi ka wanhar. Inna syaani aka huwal abtar”. Demikian lafal surah Al Kautsar yang terucap dari mulut seorang anak perempuan. Ia mengenakan hijab warna marun kombinasi baju gamis oranye.

Surah Al Kautsar satu dari surah-surah pendek di Alquran yang dibacanya. Sebelum itu, sejumlah surah lain seperti Al Fatihah, An Nas, Al Ikhlas dan bacaan surat pendek lain lancar dihafalkan bocah itu.

Anak perempuan itu namanya berinisial Tlt, 8 tahun, kelas 1 sekolah dasar. “Mau naik kelas dua nanti,” ujar dia tersenyum. Wajahnya ceria, senyum mengembang di sela melantunkan bacaan surah-surah pendek Alquran.

Selama mengucapkan ayat-ayat suci itu, Tlt menggenggam erat tangan seorang gadis muda relawan. Sesekali tautan tangan keduanya digoyang-goyang layaknya pasangan yang tengah menari. Senyum tersinggung di bibir keduanya, sembari tak henti melantunkan bersama ayat demi ayat firman Allah SWT.

“Besok saya ingin jadi perawat atau bu dokter. Biar bisa membantu orang lain” ucap dia penuh semangat.

Tlt tidak sendiri. Ada puluhan anak korban penggusuran Tambakrejo, Semarang Utara, Kota Semarang , Jawa Tengah yang Sabtu 22 Juni 2019 sore itu menjalani trauma healing

Trauma healing digelar para relawan dari Lembaga Amil Zakat (LAZ) Nurul Hayat, berbasis di Kedungmundu, Kecamatan Tembalang, Semarang.

“Berpegang tangan sambil membaca bersama surat-surat pendek Alquran, spontan saja kami lakukan. Lewat berpegangan tangan ini kami ingin menguatkan hati mereka, bahwa mereka tidak sendiri,” terang Amira (22) relawan Nurul Hayat asal Pedurungan, Semarang.

Anak-anak dibagi menjadi tiga kelompok besar sesuai usia dan kelas sekolah. Kelompok balita hingga anak usia pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak (TK) dijadikan satu di musala. Anak usia kelas 1 SD hingga 4 SD serta anak kelas 5 SD sampai SMP bermain dan belajar di sebuah tanah lapang tak jauh dari bangunan hunian sementara (huntara).

Di bawah jembatan di ruas jalan utama pantai utara (Pantura) Jawa Tengah, penghubung Jakarta – Semarang – Surabaya, Jalan Arteri Yos Sudarso. Di bawah laju truk-truk berukuran besar yang lalu lalang dari timur ke barat atau sebaliknya. Dan tentunya di bawah kepulan asap yang keluar dari moncong knalpot kendaraan berat itu.

Mereka tampak gembira menjalani trauma healing. Tak peduli potensi bahaya kecelakaan lalu lintas yang datang dari atas jembatan. Anak-anak tetap bergerak lincah ke sana ke mari. Sesekali debu mengepul dari gerak sandal yang bergesek dengan tanah padas urugan. Saling berpegang tangan sambil bernyanyi, gelak tawa mengiring.

Tak kalah ceria dengan mereka yang ada di tanah lapang, bocah-bocah imut di dalam musala menunjukkan kondisi serupa. Mereka lebih banyak diajak bernyanyi, bermain sembari belajar guna membangkitkan dan mempertebal semangat kegembiraan. Riuh rendah celoteh bercampur tawa membuat siapa pun yang memandang akan larut dalam haru.

Sebuah gambaran nyata keceriaan dunia anak yang nyaris terenggut oleh egoisme pembangunan kota. Egoisme yang berwujud perlakuan dan momentum penggusuran yang mengoyak nurani, dilakukan jelang Idul Fitri, saat bulan suci Ramadan.

Berpegang tangan sambil membaca bersama surat-surat pendek Alquran, spontan saja kami lakukan. Lewat berpegangan tangan ini kami ingin menguatkan hati mereka, bahwa mereka tidak sendiri.

Anak PenggusuranHidup darurat di bedeng hunian sementara (huntara) di bawah jembatan Jalan Arteri Yos Sudarso, Semarang (Foto: Tagar/Agus Joko Mulyono)

Seiring waktu, tangis pilu anak-anak ketika buldozer menerjang rumahnya 1,5 bulan lalu kini tak lagi terdengar. Lewat ragam kegiatan trauma healing relawan, mereka sudah mulai bisa melupakan kejadian di lingkungan tempat tinggal lamanya di RT 5 RW 15 Tambarejo, 9 Mei 2019 lalu. Jadi penanda kebangkitan mental, mengendapkan duka demi masa depan yang lebih baik.

“Untuk kegiatan trauma healing, memang baru pertama ini kami lakukan. Tapi sebelumnya, kegiatan yang sama sudah dilakukan teman-teman relawan dari lembaga lain,” ujar Koordinator LAZ Nurul Hayat, Ismail.

Ismail menuturkan kegiatan trauma healing bertujuan memperbaiki psikologis anak-anak pascakejadian penggusuran. “Mungkin ada yang masih down atau teringat kejadian sebelumnya. Tujuannya agar mereka bisa kembali ceria dan senang,” ujar dia.

Selain trauma healing, lanjut Ismail, pihaknya juga membagikan alat-alat tulis yang bisa bermanfaat bagi kebutuhan sekolah anak-anak. “Kami lihat anak-anak sebagian besar sudah tidak terlalu down, sudah tidak terlalu terpuruk dan bersedih. Tinggal ke depannya, anak-anak diarahkan untuk tidak berperilaku dan tidak bergaul melebihi batas-batas norma. Apalagi mereka melihat secara langsung kejadian kemarin,” ujar dia.

Fasum Darurat

Tak terasa petang menjelang. Mentari mulai meredupkan sinarnya. Semburat oranye di ufuk barat tinggal menunggu detik-detik tenggelam. Pelan tapi pasti, sinar matahari hilang di balik bangunan rumah warga sekitar. Dan suara azan Magrib berkumandang menjadi penanda berakhirnya kegiatan trauma healing sore itu.

Anak-anak diarahkan para relawan ke musala untuk salat berjamaah. Musala itu berada persis di samping tanah lapang tempat anak-anak saban hari menghabiskan waktu bermain. Sebuah fasiltas umum (fasum) yang dibangun secara swadaya oleh warga Tambakrejo terdampak penggusuran.

Sesuai sebutannya, darurat, tempat ibadah itu dibangun secara sederhana dari tenda. Berukuran tidak terlalu besar, sekitar 5 x 8 meter. Dinding musala dari lembaran kain terpal sejenis lembaran MMT atau biasanya disebut deklit. Agar kuat menahan terjangan angin, di bagian dalam terpal dipasang besi atau kayu dengan posisi melintang.

Pada bagian lantai, warga membuat landasan sujud dan duduk tahiyat dari lembaran tripleks. Papan tripleksnya cukup tebal. Namun di beberapa titik lantai terasa ambles, utamanya saat diinjak oleh jamaah bertubuh besar. Membuat tubuh oleng seperti terhantam gempa. Wajar lantaran tripleks diletakkan di atas permukaan tanah urugan padas bercampur batu yang tidak rata.

Tempat wudlu juga dibuat warga secara sederhana. Ada dua keran air disambung pipa paralon yang dihubungkan selang panjang ke sumber air. Pijakan wudu pun hanya dari rangkaian bilah bambu. Harus hati-hati ketika berwudu lantaran landasan bilah bambu berada di atas tanah urug yang tidak rata dan licin jika kena air.

Tak kalah sederhana adalah bangunan toilet. Masih di area bawah jembatan, letaknya di sisi barat musala. Dinding tempat mandi dan buang air terbuat dari papan triplek. Dan warga harus antre jika ingin mandi atau buang hajat mengingat jumlah toilet terbatas.

“Sementara ini kami baru bisa membangun secara swadaya fasum yang ada seperti ini. Sudah kami sampaikan ke pemerintah tapi kami juga tak ingin banyak mengeluh,” kata Ketua RT 5 RW 15, Rohmadi.

Hidup di Bedeng

Total ada sekitar 80 anak korban penggusuran yang hidup darurat di bawah jembatan Jalan Arteri Yos Sudarso. Untuk tempat tinggal, anak-anak bersama orangtuanya menempati dua unit bedeng yang dibangun Pemerintah Kota Semarang.

Mereka hidup secara darurat, makan dan tidur di tempat yang sama. Berlandaskan tikar atau kasur, bercampur keluarga lain sekitar 35 kepala keluarga. Terbatasnya tempat membuat warga harus pintar-pintar mengatur tempat tidur mengingat harus berbagi dengan perabot lain semacam televisi, lemari atau tumpukan pakaian.

“Total warga yang jadi korban penggusuran ada 97 kepala keluarga. Tapi banyak dari warga yang hidup di luar bedeng, mengontrak, kos atau ikut saudaranya. Pemerintah akan menambah dua bedeng lagi, jadi totalnya ada empat,” ujar pria yang juga dipercaya jadi pengurus musala ini.

Hidup di bedeng bernama huntara, bagi warga Tambakrejo ini memang dilematis. Penawaran dari pemerintah untuk menempati Rusanawa Kudu dan hunian transito di Tugu terpaksa ditolak. Pertimbangannya, mayoritas mata pencaharian warga mengandalkan hasil laut yang tak jauh dari Tambakrejo.

Ketika pindah ke Kudu maupun Tugu, mereka akan kesulitan mengakses ke laut. Belum lagi persoalan harus pindah sekolah bagi anak-anak dan adaptasi di lingkungan baru. Membuat warga akhirnya sepakat memilih menempati lahan kosong yang dinamai Kalimati, di kolong jembatan Jalan Arteri Yos Sudarso, tak jauh dari lokasi perkampungan sebelumnya.

Tak terbayangkan panas di dalam bedeng jika siang hari. Selain berada persis di sebelah Sungai Banjir Kanal Timur, wilayah Tambakrejo masuk dalam pesisir Laut Jawa. Cukup menjadi pelindung dari terik matahari adalah badan jembatan Yos Sudarso.

Dan bisa dipastikan, kondisi huntara dan sekitarnya bakal berubah jadi becek dan berlumpur kala masuk musim hujan. Sebab sama dengan fasum yang lain, bedeng berada di atas urugan tanah disposal Banjir Kanal Timur yang tengah dinormalisasi.

“Mohon doanya agar warga tetap diberi kekuatan untuk menjalani cobaan ini. Semua ini harus kami jalani dengan ikhlas,” tutur Rohmadi. []

Tulisan lain berkaitan penggusuran:

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.