Jakarta- Ketua Komisi Penelitian Dewan Pers Ahmad Djauhar menduga ada pendengung (buzzer) di balik penyebaran daftar jurnalis yang disebut-sebut menerima duit Istana. Djauhar menilai cara akun penyebar dokumen @podoradong bekerja layaknya buzzer politik.
"Kalau buzzer biasanya mereka tidak pakai konfirmasi segala, karena memang tugasnya untuk mengamankan secara sepihak apa yang dianggap benar meskipun itu tidak benar," kata Djauhar ketika dihubungi Tagar, Jakarta, Selasa, 7 Juli 2020.
Akun Twitter @podoradong mengunggah foto selembar daftar nama-nama wartawan dari berbagai media termasuk majalah Tempo, 7 Juli 2020. Di kolom sebelah nama tercantum angka delapan hingga sembilan digit yang dianggap besaran uang yang diterima wartawan.
"Daftar di bawah adalah tentang bagaimana Istana membiayai awak media yang terpilih untuk jalan-jalan ke luar negeri. Dari uang pajak kalian. Makan dari uang rakyat tapi kerjaanya membohongi rakyat dengan info-info pro-pemerintah," kata akun tersebut yang kemudian di-cuit dua ribu kali selama enam jam pertama.
Konteksnya apa, belum tentu suap
Ahmad Djauhar mempertanyakan konteks daftar itu. Lembaran itu tidak mencantumkan pengantar dari pembuat daftar, tujuan dibuatnya daftar, tanggal dan tempat pembuatan daftar.
"Itu namanya informasi nanggung," ujarnya.
Djauhar menyebut itu bisa jadi biaya akomodasi perjalanan liputan luar negeri. Namun wartawan belum tentu menerima duit sebesar itu dan karena itu perlu klarifikasi dari nama-nama tercantum.
"Saya kok tidak percaya kalo daftar tadi sebagai bentuk suap kepada media tersebut," ujarnya.
Djauhar juga menerima laporan daftar itu terkait dengan akomodasi Kementerian Kelautan dan Perikanan pada masa Susi Pudjiastuti menjabat menteri. Oleh karena itu, menurutnya, penyebaran informasi 'naggung' itu mungkin terkait dengan reaksi seseorang atau suatu lembaga atas pemberitaan majalah Tempo edisi 4 Juli 2020 yang bertajuk 'Pesta Benur Menteri Edhy'.
Tapi ia mengaku belum mengkonfirmasi masalah ini ke pihak terkait. "Konteksnya apa, belum tentu suap, kalau sekedar uang saku itu harus telisik lebih dalam, kalau tidak kita cenderung menghakimi," ujar Anggota Dewan Pers ini. []
Update:
Sedari pagi hingga pukul 18.00 WIB 7 Juli 2020, Tagar mencoba menghubungi pejabat KKP yang mengetahui konteks dokumen tersebut tapi telepon tak diangkat dan pertanyaan di WhatsApp hanya dibaca tapi tak dijawab.
Baca juga: