Detik-detik Wafatnya Soekarno, Soeharto, Gus Dur

Dari tujuh presiden RI, tiga telah tutup usia, tidak bisa melihat Indonesia terkini. Berikut detik-detik wafatnya Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur.
Lukisan Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. (Foto: Kemdikbud)

Jakarta - Sejak meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia berbenah diri membangun dipimpin oleh presiden. Dari mulai presiden pertama hingga presiden ketujuh punya andil dalam membangun Indonesia hingga berkembang seperti sekarang.

Namun, tidak semua presiden dapat menyaksikan perubahan Indonesia, karena tiga dari tujuh presiden yang pernah memimpin Indonesia telah tutup usia terlebih dahulu. Mereka adalah Presiden Pertama Soekarno, Presiden Kedua Soeharto, dan Presiden Keempat Abdurrahman Wahid.

Sebagai tokoh besar yang memimpin bangsa, apakah mereka tutup usia seperti rakyat biasa ataukah ada cerita berbeda? Berikut Tagar ulas cerita singkat detik-detik kematian tiga presiden Indonesia.

Jiwa, ide, ideologi, dan semangat tidak akan dapat dibunuh.

1. Soekarno

Sang Proklamator, Soekarno punya jalan kematian yang tak seindah mimpi-mimpinya membesarkan bangsa Indonesia. Soekarno meninggal dalam status tahanan politik.

Tak lama setelah dilengserkan secara "perlahan" oleh Soeharto dengan surat perintah sebelas maret (Supersemar) yang dikukuhan menjadi Tap MPRS, Soekarno tidak diperkenankan memakai gelar presiden atau kepala negara.

Bahkan, Soeharto setelah resmi menjadi presiden kedua pada 7 Maret 1967, Soeharto mengultimatum Soekarno dan keluarganya untuk pergi dari Istana Merdeka dan Istana Bogor. Sehari sebelum tenggat waktu, pada 16 Agustus 1967 bersama anak-anaknya, Soekarno yang memakai celana piyama warna krem dan kaos oblong cap Cabe meninggalkan istana.

Sebagai tahanan Orde Baru, setidaknya ada tiga tempat yang menjadi tempat tinggal Soekarno kala itu. Pertama, paviliun dekat Istana Bogor, kedua, rumah peristirahatan di Batutulis Bogor, dan ketiga Wisma Yaso, sebuah rumah yang dibangun Soekarno untuk salah satu istrinya, Ratna Sari Dewi di Jakarta.

Namun, pada Desember 1969, di tempat terakhir yang dipilihnya yaitu Wisma Yaso, kondisi kesehatan dan kejiwaannya tak kunjung membaik. Terlebih, pengawasan terhadap Soekarno semakin ketat, ia dilarang berhubungan dengan dunia luar, bahkan waktu untuk bertemu dengan keluarganya dibatasi.

Soekarno yang ketika itu mengidap sakit ginjal, karena ginjal kanan tidak berfungsi dan ginjal kiri hanya berfungsi 25 persen, pun harus rela merasakan penderitaan sendiri tanpa dirawat oleh tim dokter yang mengetahui rekam medisnya. Belum lagi penyakit yang lain yang ia idap yaitu sakit jantung dan darah tinggi serta rematik dan gejala katarak ketika ia menjadi tahanan.

Kondisi kesehatan fisik itu diperparah interogasi dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) soal keterlibatannya dalam G30S. Hingga membuat kesehatan mental Soekarno memburuk, ia terkena depresi seperti dikutip dari buku Julius Pour Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang.

"Setiap hari hanya duduk sambil termenung. Malah kadang-kadang ngomong sendirian. Memorinya berubah, kesehatannya terus-menerus semakin merosot," ucap Ketua Tim Dokter Kepresidenan yang merawat Soekarno, Mahar Mardjono.

Soekarno sebenarnya sempat merayakan ulang tahun ke-69 pada 6 Juni 1970 di Wisma Yasoo bersama kelima anaknya dari eks Ibu Negara Fatmawati, istrinya Hartini serta dua anaknya Bayu dan Taufan. Tapi, ternyata tidak mengubah kondisi kesehatannya.

Karena lima hari setelah ulang tahunnya yaitu 11 Juni, kondisi kesehatannya semakin memburuk sampai harus dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, tentu saja lengkap dengan pengamanan militer yang ketat, mengingat titelnya sebagai tahanan politik Orde Baru.

Hari demi hari, Soekarno semakin kritis. Hanya saja ada sosok pelipur lara yang datang dua hari sebelum ia tutup usia, yaitu seorang sahabat lama Mohammad Hatta. Tak banyak berbincang, namun pertemuan dua sahabat lama itu menjadi momen penting berbalut haru.

Lalu, keesokan harinya, istrinya Ratna Sari Dewi datang menjenguk Soekarno bersama putrinya Kartika Sari Dewi yang tinggal di Jepang. Pertemuan Soekarno dengan keduanya seperti menjadi pengantar Soekarno tutup usia karena tak lama setelah itu ia koma.

Akhirnya pada 21 Juni 1970 Soekarno gugur setelah berjuang melawan penyakit yang telah dideritanya dan rezim yang memberangusnya.

Sebelum wafat, Bung Karno sapaan akrab Soekarno menyampaikan sesuatu yang bermakna kepada Sidarto Danusubroto, ajudan yang setia menemaninya selama menjadi tahanan rumah.

Dengan raut wajah tegas, Bung Karno berkata, "Catat ya, To. Jiwa, ide, ideologi, dan semangat tidak akan dapat dibunuh."

Teruskan apa yang sudah bapak lakukan, membantu masyarakat yang membutuhkan uluran tangan kita.

2. Soeharto

Usai mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, Soeharto menghabiskan banyak waktu di rumahnya di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Ia terlihat ketika disorot media, hendak mencoblos saat Pemilu atau ketika kondisi kesehatannya memburuk hingga masuk rumah sakit.

Soeharto merupakan Presiden kedua RI dengan masa jabatan terlama selama perjalanan republik. Ia berkuasa selama 32 tahun usai menggantikan Soekarno melalui proses politik yang rumit.

Bermodalkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dan kondisi politik pelik usai pecah peristiwa G30S, Soeharto naik ke tampuk pemerintahan. Sejak awal memimpin, Jenderal bintang lima tersebut memilih fokus pada kegiatan pembangunan yang dikenal dengan istilah Trilogi Pembangunan, yaitu pembangunan, stabilitas politik, dan pemerataan.

Soeharto menuangkan konsep Trilogi Pembangunannya ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Ia juga membuka keran investasi asing ke dalam negeri melalui UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).

Ada beberapa catatan yang mewarnai perjalanan 32 tahun pemerintahan Soeharto. Mulai dari kesuksesannya dalam menjalankan pembangunan, khususnya di Pulau Jawa, sukses menyelenggarakan program Keluarga Berencana (KB), hingga swasembada beras pada tahun 1984. Namun Soeharto juga dituduh bertanggung jawab dalam serangkaian peristiwa seperti pembunuhan 3 juta orang yang dituduh anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), Tragedi Malari, Tragedi Mei 1998, hingga penculikan sejumlah aktivis dan budayawan seperti Widji Thukul.

Soeharto juga mengaku bertanggung jawab dalam operasi penembakan misterius (Petrus). Hal tersebut ia akui dalam buku biografinya yang berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

"Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu," ujarnya.

Setelah lepas jabatan presiden, kesehatan Soeharto berangsur-angsur menurun. Pada tahun 1999, ia dilarikan ke rumah sakit karena mengalami stroke ringan. Penyakit yang ia derita kian memburuk. Pada tahun 2006, Pak Harto kembali masuk rumah sakit karena terjadi pendarahan di usus.

Sehari sebelum meninggal pada 27 Januari 2008, Soeharto ditemani anak-anaknya. Ia sempat meminta makan pizza dan meminta berfoto bersama keenam anaknya.

Ia juga sempat mengucapkan kata-kata terakhir sebelum meninggal dunia.

“Teruskan apa yang sudah bapak lakukan, membantu masyarakat yang membutuhkan uluran tangan kita. Jaga baik-baik yayasan yang bapak bentuk. Manfaatkan sebanyak-banyaknya untuk membantu masyarakat,” Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto menirukan ucapan ayahnya itu.

Soeharto dimakamkan di pemakaman keluarga, Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah, di sebelah makam sang istri, Tien Soeharto.

Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.

3. Gus Dur

Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan Presiden pertama Indonesia dari kalangan kiai. Gus Dur memimpin Indonesia sejak 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.

Gus Dur adalah salah satu tokoh cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Haji Wahid Hasyim Asyari. Ayah Gus Dur juga merupakan Menteri Agama Indonesia pertama, K.H Abdul Wahid Hasyim.

Gus Dur sejak lama dikenal sebagai ulama yang gemar memperjuangkan pluralisme. Saat menjabat sebagai Presiden, ia menetapkan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional. Ia juga mencabut larangan penggunaan huruf Tionghoa.

Namun, sikap progresifnya menghasilkan kebijakan yang tidak populer pada saat itu. Ia sempat membuka keran kerja sama dengan Israel. Gus Dur juga dinilai tidak mampu menjaga stabilitas politik yang saat itu berkecamuk pascareformasi.

Konstelasi politik yang tinggi membuat Gus Dur sering diserang lawan-lawan politiknya, terutama dari parlemen. Pada 27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk ke dalam anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi. Hal ini kemudian dibalas parlemen pada 1 Februari 2001, DPR mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi rencana melakukan Sidang Khusus MPR di mana pemakzulan Presiden dapat dilakukan.

Hal ini membuat percikan di tengah masyarakat. Bahkan ribuan massa NU dari Jawa Timur siap berangkat ke Jakarta untuk mempertahankan Gus Dur sebagai Presiden sampai titik darah penghabisan. Namun, Gus Dur menolak rencana warga NU tersebut dan memilih untuk keluar dari Istana Negara pada 23 Juli 2001 setelah dimakzulkan MPR RI.

Setelah tidak menjabat sebagai presiden, Gus Dur lebih banyak beraktivitas di NU dan partai yang ia dirikan, PKB. Gus Dur juga sempat mengikuti proses seleksi pencalonan Presiden untuk Pemilu 2004, namun gagal karena ia tidak lulus tes kesehatan.

Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Gus Dur juga menderita beberapa kali gangguan stroke, penyakit ginjal dan diabetes.

Pada 30 Desember 2009, Gus Dur meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sebelum meninggal Gus Dur telah melakukan serangkaian cuci darah karena gagal ginjal. Seperti diketahui, Gus Dur meninggal karena mengalami penyempitan pembuluh darah.

Gus Dur merupakan salah satu politikus Indonesia yang gemar menggaungkan persatuan dan kemanusiaan di atas segalanya.

"Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan," ujarnya. []

Berita terkait
Kesedihan SBY, BJ Habibie dan Soeharto Ditinggal Istri
Hal sangat menyakitkan bagi tiga Presiden Indonesia; SBY, BJ Habibie dan Soeharto adalah ketika ditinggal istri. Ini kisah mereka.
6 Juni, Cerita Soekarno di Hari Ulang Tahunnya
Hari ini, kenang hari lahirnya presiden pertama Republik Indonesia Ir H Soekarno.
Bung Karno Pak Harto Selamat Ulang Tahun!
Bung Karno Pak Harto Selamat Ulang Tahun! Juni yang sangat sibuk. Bisakah adil sejak dalam pikiran memandang Soekarno dan Soeharto?
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.