Denny Siregar: Peti Mati Anies Baswedan

Siapa pun ketawa melihat cara Anies Baswedan ingatkan warga Jakarta bahaya C-19. Enggak usahlah dipamer-pamerkan peti mati segala. Denny Siregar.
Ambulans melintas di dekat Tugu peti jenazah korban C-19 dan medis mengenakan hazmat terpajang di pertigaan Jalan Kemang 1, Jakarta Selatan, Sabtu, 15 Agustus 2020. (Foto: Tagar/TrenAsia/Ismail Pohan)

Saya suka ketawa sendiri melihat cara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencoba mengingatkan warganya terhadap bahaya pandemi dengan memajang peti mati di berbagai tempat. Enggak paham saya maksudnya ada peti mati di mana-mana. Apa itu mau menakut-nakuti warga, atau mengingatkan supaya waspada, atau cuma proyek belaka?

Ah entahlah, cuma Anies yang paham maksudnya. Yang saya tahu, memang beginilah ciri khas pemimpin daerah yang tidak bisa bekerja. Mereka suka main gimmick supaya bisa terlihat ada prestasi.

Kenapa saya sebut gimmick? Karena biasanya yang dia bangun itu enggak ada gunanya, bahkan enggak ada fungsinya. Sekadar sebuah pajangan supaya orang melihatnya sebagai sebuah karya, padahal apa maksudnya juga orang enggak paham.

Coba saja kita perhatikan, mana karya Anies Baswedan selama 3 tahun menjabat sebagai Gubernur DKI? Apa ada karya yang berguna buat warga yang membuatnya akan diingat sebagai pemimpin daerah yang peduli? Hampir tidak ada.

Bahkan yang katanya dulu ada rumah DP Rp 0, enggak jelas bagaimana kabarnya selain peletakan batu pertama saja. Waktu dibuka pendaftaran sih, kabarnya rusunami yang dibangun di Pondok Kelapa itu peminatnya membludak. Bahkan beritanya sampai antre-antre segala.

Kenyataannya sekarang, dari 780 unit yang tersedia di sana, hanya 85 unit yang ada penghuninya. Berarti sia-sia, kan? Bukan enggak ada yang minat sebenarnya, tapi syaratnya itu loh yang bikin banyak mereka warga kelas bawah enggak mampu beli.

Jangankan mau bayar cicilan, buat makan sehari-hari saja mereka susah. Bayangkan, penghuni harus mencicil rumah susun di era Anies sebesar Rp 1,5 juta per bulan selama 15 tahun. Bagaimana bisa? Sedangkan banyak masyarakat kelas bawah yang cuma punya penghasilan Rp 3 juta per bulan.

Kembali ke peti mati Anies Baswedan. Siapa pun ketawa melihat cara Anies mencoba mengingatkan warga Jakarta terhadap bahaya Covid-19 di daerahnya.

Bandingkan dengan era Ahok, meski sistemnya sewa, masyarakat kelas bawah cukup bayar Rp 150 ribu per bulan saja. Itu juga hanya untuk biaya perawatan dan kebersihan.

Dari sini kita bisa melihat bahwa ide-ide Anies Baswedan tidak mampu dia jalankan, karena memang sifatnya hanya gimmick. Supaya orang memilih dia sebagai gubernur, maka diucapkanlah janji-janji bombastis dan membuat orang mimpi indah padahal isinya zonk belaka.

Tiga tahun Anies memimpin, belum ada karya yang orisinal dari dia selain hanya mengubah ide-ide Jokowi dan Ahok, mengubah namanya saja. Rumah susun jadi rumah lapis. Reklamasi diganti nama jadi perluasan daratan. Kerjaannya? Ya itu-itu saja, sambil terus menyalahkan pemimpin daerah lama supaya orang menganggap Anies mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan lama.

Ahok saja yang cuma dua tahun memimpin Jakarta punya dua warisan besar, yaitu Flyover Kuningan dan Simpang Susun Semanggi untuk mengurai kemacetan. Semua yang dibangunnya punya dampak terhadap warga, bukan cuma gimmick yang enggak jelas peruntukannya.

Kembali ke peti mati Anies Baswedan. Siapa pun ketawa melihat cara Anies mencoba mengingatkan warga Jakarta terhadap bahaya Covid-19 di daerahnya. Itu seperti menaruh mobil bekas tabrakan sebagai monumen kalau di daerah itu sering terjadi kecelakaan, tapi nyatanya angka kecelakaan juga tidak berkurang.

Cuma monumen doang, siapa yang sadar? Dikira orang-orang Jakarta pada bodoh apa? Mereka juga tahu bahaya Covid-19, enggak usahlah dipamer-pamerkan peti mati segala. Masalahnya sekarang, warga Jakarta harus cari makan, enggak bisa bergantung dari bansos yang isinya cuma mi instan doang. Mau peti mati kek, mau kain kafan kek, perut itu enggak bisa bohong, ada keluarga yang haru dikasih makan.

Cuma monumen doang, siapa yang sadar? Dikira orang-orang Jakarta pada bodoh apa? Mereka juga tahu bahaya Covid-19, enggak usahlah dipamer-pamerkan peti mati segala.

Terus kalau begitu, apa dampaknya dikasih peti mati di mana-mana? Ya enggak ada, selain buang-buang anggaran doang. Orang cuma lihat, mereka ketawa, terus semenit kemudian mereka lupa. Anies Baswedan sendiri kelihatannya bingung, apa yang dia harus lakukan. Teori sih, banyak di kepala, tapi enggak paham bagaimana eksekusinya.

Dia memang akademisi, bukan praktisi. Jadi apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang penuh dengan teori-teori? Palingan kalau diwawancara media, Anies tinggal bilang, "We don't know what we don't know," yang mesti saya berputar-putar cari arti harfiahnya enggak pernah ketemu, akhirnya ambil kesimpulan kalau dia "Don't know what what" alias tidak tahu apa-apa. Mungkin Anies terinspirasi sebuah film misteri zaman lawas yang berjudul, I Know What You Did Last Summer.

Ya begitulah kerugian warga karena memilih pemimpin hanya karena dia seiman, bukan karena kemampuan. Kalau enggak dibohongi pakai ayat, akhirnya yang keluar mayat. Begitu terus sampai Novel Baswedan jadi Ketua KPK. Tinggal kita harus bersikap mau getok kepala atau mau mengelus dada.

Lucunya, sudah dibohongi berkali-kali dan terbukti tanpa prestasi, masih saja ada orang yang memimpikan Anies jadi Presiden Republik Indonesia. Kebayang, bisa kacau semuanya.

Akhirnya muncullah gimmick-gimmick di seluruh Indonesia raya, yang kita pasti enggak jelas gunanya apa, dan apa dampaknya untuk rakyat Indonesia. Palingan nanti dia akan bilang lagi ke media, "We Know What We Know", atau bisa disingkat WKWKWK. Minimal kita tahu apa arti WKWKWK yang selama ini kita baca di komen. Ternyata, itu artinya.

Akhirnya Anies berjasa juga untuk ilmu pengetahuan dunia. Mungkin kelak kita juga akan tahu apa arti singkatan dari BGSD. Siapa tahu artinya Bangun Gerak Seluruh Daerah. Cuma Anies yang bisa begitu. Kita mah apalah cuma remahan rengginang dalam kotak biskuit Khong Guan.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
PSBB Masa Transisi Mandek, Covid Menggila di Jakarta
Jakarta mencatat rekor tertinggi kasus Covid-19. PSBB Transisi dinilai tanpa fungsi.
Covid-19 di Jakarta Meningkat, Masyarakat Disalahkan
Ketua Komisi A DPRD DKI Mujiyono nilai bangkitnya ribuan kasus baru positif Covid-19 sejak PSBB transisi karena masyarakat gagal paham normal baru.
Kasus Baru Positif Covid-19 di Jakarta Bertambah 293
Jakarta berada di zona aman jika kasus barunya tidak lagi mencapai seratus per pekan. Pada kenyataannya, DKI belum aman.