Denny Siregar: Lagu Usang Radikalisme

Pernyataan berantas radikalisme masih banyak yang sekadar retorika hanya untuk bikin senang Presiden. Tulisan opini Denny Siregar.
Ilustrasi. (Foto: Wahid Foundation)

Oleh: Denny Siregar*

"Mari kita berantas radikalisme!"

Begitu pernyataan seorang pejabat yang dimuat di media-media mainstream dengan gagahnya. Pernyataan begitu meyakinkan bahwa perang terhadap kelompok radikal sudah dimulai.

Senang? Tidak. Saya biasa saja.

Buat saya pernyataan berantas radikalisme itu masih banyak yang sekadar retorika. Apalagi menjelang perombakan kabinet kerja, isu radikalisme jadi jualan untuk menarik hati sang Presiden. Diteriakkan lewat media supaya dimuat dan disebarkan ke mana-mana dan ditawarkan untuk mendapatkan tepuk tangan.

Radikalisme yang menurut seorang tokoh intelijen sudah mengakar sejak tahun 1981, bukanlah persoalan enteng atau bisa dihadapi hanya dengan teriak-teriak saja. Kelompok radikalis itu sudah menyusup ke banyak elemen penting organ negeri ini. Dan salah satu elemen penting itu ada di pendidikan.

Lihatlah sekolah-sekolah negeri kita mulai SD, SMP sampai SMA. Hampir semua mewajibkan siswinya memakai jilbab. Kalau tidak, sanksi sosial sampai akademis menunggunya. Dan orang tua paling takut anaknya tidak mendapat nilai bagus, dan si anak tertekan lewat pergaulan.

2024 mereka akan masuk dan menguasai kita kembali. Mereka sudah jauh lebih pintar dan menyerbu dengan kekuatan penuh.

Lihat saja para ASN dan pegawai BUMN yang sudah sekian lama terpapar radikalisme memegang birokrasi kita. Mereka mendapat pendidikan radikal melalui masjid-masjid di lingkungan kerja mereka. Begitu juga program promosi dikuasai oleh kelompok mereka.

Lihat saja media sosial dikuasai oleh kelompok mereka. Dengan konsep "hijrah" mereka menjaring anak-anak yang tidak punya pandangan jelas tentang keragaman dan persatuan. Sedangkan ruang hiburan kita hilang dari pesan dan nilai. Agama digambarkan dalam bentuk aksesoris dan hanya seragam.

Apa yang harus diberantas?

Radikalisme di Indonesia sudah seperti udara yang kita hirup sehari-hari. Ia bagaikan kanker ganas yang mengendon di organ dan memakannya setahap demi setahap.

Radikalisme itu bukan hanya tindakan, tetapi berawal dari pemikiran. Sulit bagi kita memberantas tindakan jika pemikirannya dibiarkan bebas.

Radikalisme adalah perang panjang yang membutuhkan kesatuan untuk melawannya. Singkirkan ego sepihak dan buat peta perlawanan terhadap radikalisme dengan konsep yang sama pentingnya seperti membuat peta infrastruktur Indonesia.

Melawan radikalisme bukan hanya tugas para ulama, militer dan polisi saja. Tapi yang penting para akademisi yang mampu membangun kebijakan penting dalam tahapan penyembuhan Indonesia.

Percayalah. Kita abai pada masalah ini, 2024 mereka akan masuk dan menguasai kita kembali. Mereka sudah jauh lebih pintar dan menyerbu dengan kekuatan penuh.

Siapkah kita?

Seruput kopinya.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Baca juga:

Berita terkait
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.