"Kenapa Pak Soekarno diperlakukan tidak adil?"
Pertanyaan itu datang dengan cepat membuat Presiden Soeharto tersentak. Soeharto pada waktu itu adalah penguasa besar, tidak ada yang berani membantahnya bahkan menanyakan alasan perbuatannya.
Ia sebenarnya marah, tapi ia memendam amarahnya karena ada sesuatu yang lebih penting dari itu.
"Setiap orang punya jalannya sendiri-sendiri. Saya pun begitu," jawab Soeharto kalem dengan gaya khas Jawanya. "Pak Karno sudah melenceng dari jalan kebenaran. Kalau saya tidak mengambil langkah, ada kejadian yang mengerikan pada bangsa ini."
Seisi ruangan terdiam, berharap dialog itu selesai. Tapi anak muda berusia 37 tahun hasil pendidikan luar negeri itu terus mencecar Soeharto.
"Pertanyaan kedua, kenapa memaksa Timor Timur masuk ke Indonesia? Indonesia bukan penjajah," tanyanya. Hening lagi satu ruangan. Pertanyaan ini lebih sensitif dari yang pertama.
Soeharto tersenyum. Dia lalu menjawab dengan nada pelan dan tertata, "Itu bukan keputusan saya. Itu keputusan MPR. MPR menerima banyak masukan dari warga Timor bahwa mereka pengen bergabung dengan Indonesia."
Kenapa memaksa Timor Timur masuk ke Indonesia? Indonesia bukan penjajah
Soeharto melirik ke anak muda itu. Pendidikan barat telah mengubah sudut pandang anak itu menjadi lebih bebas bicara dan tanpa rasa takut.
"Ada lagi?" tanya Soeharto dengan nada yang dalam membuat seisi ruangan menarik napas panjang. Semoga tidak ada pertanyaan lagi.
"Pertanyaan terakhir," kata anak muda itu. Semua diam. Hening sejenak.
"Kenapa saya disuruh pulang ke Indonesia?" tanya anak muda itu dengan cepat.
Kali ini Soeharto tersenyum dan berbicara panjang lebar tentang mimpinya membangun industri strategis di Indonesia, dalam bentuk pesawat.
Lama anak muda itu berpikir, kemudian ia menjawab, "Saya menerima. Tapi saya tidak mau membangun pesawat perang. Saya ingin bangun pesawat komersial."
Semua di ruangan itu melirik ke arah Soeharto. Tidak banyak orang yang bisa menolak perintah Soeharto, karena pada masa itu akibatnya akan buruk. Tapi anak muda ini beda. Dia malah meminta sesuatu yang bahkan tidak ada dalam rencana.
Mereka kemudian menunggu jawaban Soeharto dengan tegang.
Soeharto tersenyum dan mengangguk tanda setuju. Mereka kemudian berjabat tangan dan tertawa lega bahwa pertemuan ini berjalan dengan lancar.
Nama anak muda pemberani itu adalah BJ Habibie.
Dia kelak menjadi Presiden RI.
*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga: