Nama Nikita Mirzani terus muncul di beranda Facebook saya. Sempat heran, "Ada apa?" Sesudah diteliti, eh Nikita lagi berantem sama si Soni alias Maheer. Dan di video si Soni, ustaz dadakan ini, dia ngomong akan mengirimkan 800 orang untuk menyerbu rumah Nikita. Nikita pun menantang dengan gayanya yang biasa, cuek, ceplas-ceplos dan tanpa beban. Sontak netizen bersorak, "Horeee... ada keributan!" Nikita jadi pahlawan baru, meski gayanya urakan.
Saya tidak fokus pada pertengkaran itu. Saya fokus pada fenomenanya. Kenapa mendadak Nikita jadi "pahlawan"?
Ketika Rizieq Shihab pulang, banyak orang gelisah bukan karena kepulangan Rizieq, tapi karena lemahnya aparat kita dalam penanganannya. Apalagi melihat begitu bebasnya pendukung Rizieq menguasai objek vital negara sekelas bandara, yang kalau kita bercanda tentang bom saja langsung ditangkap.
Kenapa aparat lemah? Kenapa negara diam saja? Kenapa tidak ada tindakan apapun? Apakah benar bahwa kelompok fanatik itu sebenarnya sudah berkuasa?
Dan banyak teori konspirasi bertebaran. Bayangan tentang cerita berkuasanya ormas kejam seperti Taliban di Afghanistan beredar. Taliban berkuasa karena lemahnya negara.
Apakah Indonesia akan menuju ke sana?
Pada saat itu muncul perlawanan kecil dari seorang Nikita. Suara dia langsung seperti petir yang menyambar banyak orang, menggambarkan sebuah keberanian dari warga yang resah, yang - sialnya - tidak dipunyai negara.
Saya gelisah. Bangsa ini kehilangan figur. Bahkan figur Jokowi pun semakin ke sini semakin padam. Iya beliau membangun infrastruktur. Tapi kalau kelompok fanatik itu berkuasa, semua infrastruktur itu bisa hancur. Seperti Suriah.
Saya tidak fokus pada pertengkaran itu. Saya fokus pada fenomenanya. Kenapa mendadak Nikita jadi "pahlawan"?
Karena tidak ada figur yang kuat, yang berani muncul seperti Soekarno, yang berani keras seperti Soeharto, figur itu kemudian diisi oleh pemeran antagonis seperti Rizieq. Dan beberapa hari ini berita selalu tentang dia. Muak lihatnya, tapi banyak yang tidak berdaya.
Akhirnya ketika muncul Nikita, ia lalu diangkat ke permukaan. Bukan karena orang suka sama dia, tapi bisa jadi berupa sebuah sindiran keras, "Woiii, negaraaaa... kalian di maana?"
Ini PR besar. Kita kehilangan pelindung. Kita kehilangan figur. Kita kehilangan keberanian. Kita kehilangan segalanya. Lumpuh tak berdaya. Banyak mereka yang tadinya berani melawan di media sosial, putus asa ketika negara tidak bersama mereka. Mereka mundur, tidak ingin jadi korban sia-sia karena harus melawan sendirian.
Dan kalau ini terus berlangsung, percayalah, negeri ini kelak akan hancur. Terpecah. Daerah akan bergerak sendiri, tanpa komando terpusat. Benih-benih kebencian yang dibawa oleh kelompok fanatik itu, akan menyebar dan membangun klan-klan baru karena mereka butuh komunitas untuk bertahan.
Pada saat seperti itu, terlambat sudah.
Nikita hanya alarm saja. Alarm bahwa di negeri ini ada masalah besar.
Pertanyaan kita semua sama. Untuk apa punya kekuasaan, kalau tidak digunakan?
Mending jadi oposisi sekalian, biar aman.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi