Denny Siregar: Kenapa Banyak Tenaga Kerja China di Indonesia

Data menunjukkan tenaga kerja China di Indonesia tiap tahun meningkat. Tahun 2017 ada 24 ribu, tahun 2018 jadi 32 ribu. Kenapa? Denny Siregar.
Ilustrasi - Smelter, fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir. (Foto: Pixabay/metalurgiamontemar)

Isu tenaga kerja asing dari China, sejak lama menjadi isu yang seksi buat sebagian orang. Kenapa? Pertama, karena sejak sebelum kemerdekaan, kita pernah punya akar konflik etnis. Dan situasi ini terus dipelihara mafia-mafia di negeri ini, supaya kelak bisa dibakar lagi demi kepentingan mereka.

Yang kedua, akibat perang dagang Amerika versus China, maka Amerika yang sekarang sedang terpojok menggunakan isu etnis untuk mendaptkan simpati. Persis propaganda Amerika waktu perang dingin ketika mereka melawan komunis.

Dan sekarang isu ini bergaung lagi di Indonesia, bersamaan dengan makin kencangnya pembangunan di negeri ini. Hoax bertebaran dan kebencian terus ditanamkan.

Kata "China" seolah menjadi kata haram dan dikaitkan dengan PKI, kafir, aseng, dan lain-lainnya.

Memang menurut data, masuknya TKA China setiap tahun itu meningkat. Tahun 2017 ada sekitar 24 ribu TKA dari China saja. Sedangkan tahun 2018, naik menjadi 32 ribu. Memang banyak juga TKA asing yang bukan dari China di sini, tapi China mendominasi dengan lebih dari 30 persen jumlahnya dari total tenaga kerja asing di Indonesia.

Pertanyaannya, kenapa banyak tenaga kerja asing dari negara China? Supaya paham, kita pakai analogi sederhana. Dulu negara kita adalah negara yang kaya dan selalu dikeruk sumber daya alamnya. Kita punya minyak, emas, batubara, dan yang sedang jadi primadona sekarang adalah nikel.

Siapa yang mengeruk? Bukan. Bukan China, tapi banyak perusahaan dari negara barat, terutama Amerika. Contoh Freeport yang dikuasai Amerika dan kita hanya dapat bagian sedikit saja. Mineral kita diambil mentah-mentah dan dijual ke mana-mana.

Yang dapat untung bukan Indonesia, tapi sebagian kecil elite yang jadi kaya raya hanya karena dapat komisinya, Dan itu berlangsung puluhan tahun lamanya. Bayangkan.

Akhirnya pemerintah kita gerah juga. Di akhir pemerintahan SBY, Indonesia menerapkan peraturan baru, bahwa material mentah kita tidak boleh langsung dijual ke luar, tetapi harus diolah dulu di Indonesia. Peraturan ini bagus, tapi pelaksanaannya nol. Semuanya masih berupa janji di atas kertas. 

Dan akhirnya di masa pemerintahan Jokowi, pembangunan pabrik pengolahan mineral itu menjadi sebuah keharusan.

Karena itulah Indonesia menerapkan konsep, siapa pun yang ingin mendapatkan mineral di Indonesia, harus membangun Smelter di sini.

Pabrik pengolahan mineral ini dinamakan Smelter. Pabrik Smelter ini adalah pabrik dengan teknologi sangat tinggi dan investasi yang sangat mahal. Untuk membangunnya saja, butuh dana puluhan triliun rupiah.

Dan yang banyak orang tidak tahu, para insinyur kita juga belum paham teknologi Smelter ini. Kalaupun mereka akhirnya paham teknologinya, kita juga tidak ada uang untuk membangun ratusan pabrik Smelter di seluruh Indonesia untuk mengolah emas, batubara, sampai nikel. Enggak akan sanggup.

Karena itulah Indonesia menerapkan konsep, siapa pun yang ingin mendapatkan mineral di Indonesia, harus membangun Smelter di sini.

Ini sebuah cara yang cerdik, karena dengan begitu kita bisa mengintip teknologi dari negara maju dan kelak kita akan mengadopsinya.

Negara mana yang paling siap? Eropa? Amerika? Waktu bulan Januari 2020 Indonesia menerapkan larangan ekspor mentah biji nikel, Eropalah yang paling marah. Mereka biasa dapat barang murah, sekarang mereka disuruh investasi puluhan triliun rupiah di sini. 

Dan ciri khas Eropa, karena mungkin mereka merasa sebagai paling beradab, mereka kemudian menggugat Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO.

Ya begitulah tabiat negara-negara barat. Kerjaan mereka cuma mengeruk, ketika dipaksa taruh duit, mereka ngamuk. Mirip kasus Freeport di Papua. Ada tekanan sedikit dari pemerintah, mereka berulah.

Di sinilah asyiknya negara China. Selama ini, merekalah negara yang paling rakus menyerap mineral di seluruh dunia, termasuk dari Indonesia. Ya, wajar sajalah. Penduduk mereka terbanyak di dunia. 1,4 miliar orang di sana. Enam kali lebih banyak dari jumlah penduduk Indonesia.

Dan China tahu, Indonesia berdaulat. Daripada ribut kayak Eropa, ya oke gua tanam duit di negara lu deh. Beres perkara. China urusannya dagang, enggak mengurus politik seperti yang biasa dilakukan negara Eropa dan Amerika, yang suka ikut campur kebijakan politik dalam negeri di suatu negara.

Cuma, China tidak mau taruh duit begitu saja, karena Indonesia juga tidak paham teknologi Smelter. Mereka kemudian mengirimkan uang dan orang-orangnya untuk membangun Smelter.

Dan akhirnya ribuan tenaga kerja Indonesia, tidak bisa kerja karena mereka menunggu TKA dari China itu. Lha yang paham teknologinya mereka. Yang punya duit juga mereka.

Jadi begitulah, kenapa TKA China paling banyak di sini. Karena mereka juga yang paling banyak membangun Smelter, wajar dong? Kelak, ketika pabrik-pabrik Smelter yang bernilai puluhan triliun rupiah itu jadi, sudah pasti akan menyerap ratusan ribu tenaga kerja Indonesia untuk mengoperasikannya. Begitulah penjelasan sederhananya.

Makanya ketika ada berita 500 TKA dari China diributkan dan akhirnya dilarang masuk ke Indonesia karena takut corona, yang rugi sebenarnya Indonesia, bukan China. Karena TKA China tidak jadi masuk, pembangunan Smelter jadi terhambat.

Dan akhirnya ribuan tenaga kerja Indonesia, tidak bisa kerja karena mereka menunggu TKA dari China itu. Lha yang paham teknologinya mereka. Yang punya duit juga mereka.

Kita sementara ini harus mengakui dengan lapang dada, kita hanya dalam posisi menunggu. Kita hanya menang di kekayaan alam saja.

Jadi begitulah gambaran sederhananya, kenapa kita masih butuh China sebagai partner kerja, karena ini berhubungan dengan investasi dan teknologi yang harus kita adopsi.

Terus memangnya mau menunggu dari negara mana? Dari Arab? Nanti mereka membangun Smelter memakai tenaga unta.

Kenapa China begitu bersemangat membangun Smelter di Indonesia? Ya, karena mereka memang negara produsen, bukan negara konsumen.

Sebagai contoh saja, nikel. China butuh sangat banyak nikel dari Indonesia, sebagai bahan dasar untuk membuat baterai lithium. Baterai lithium ini dipakai untuk handphone, mobil listrik, sampai kelak untuk pesawat terbang.

China sedang berproduksi besar-besaran semua kebutuhan pokok manusia dengan tenaga baterai. Kelak tenaga baterai atau listrik ini akan menggantikan bahan bakar dari minyak bumi yang sebentar lagi habis.

Dan China juga yang akan menjual teknologi akhirnya ke kita. Lihat saja sekarang, kita pakai handphone dari China, alat masak dari China, dan hampir semua kebutuhan elektronik kita dari China.

Ada yang produk dari Eropa atau Amerika? Ada, tetapi jarang karena hampir semua sektor dikuasai China.

Itulah yang membuat Amerika dan Eropa jadi iri bahkan takut kelak China akan menguasai teknologi dunia. Jadi ngapain kita musuhin China, wong kita butuh teknologi mereka.

Lebih baik bekerja sama dalam konsep dagang, business to business, bukan politik. Kita punya mineralnya, mereka punya teknologinya. Kalau kita berniat mengejar mereka sekarang, kita sudah ketinggalan seribu tahun jauhnya.

Lalu siapa orang yang suka teriak-teriak anti-China itu? Ya, mereka yang terikut agenda setting negara-negara barat, tanpa tahu di balik propaganda itu mereka juga kelak akan jadi korbannya.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Baca juga:

Berita terkait
Yuk Lihat Manfaat Nikel untuk Kehidupan
Nikel berasal dari sisa-sisa tumbuhan ataupun makhluk hidup yang terkubur di dalam tanah selama jutaan tahun.
Daerah Penghasil Nikel Terbesar di Indonesia
Nikel merupakan salah satu sumber daya alam (SDA) terkaya di Indonesia. Berikut daerah penghasilnya yang terbesar di Indonesia.
Denny Siregar: Hati-hati Api Panas Perang Nikel
Selama ini kita selalu mengekspor bahan mentah nikel ke seluruh dunia. Inilah yang membuat Jokowi murka. Tulisan opini Denny Siregar.