Oleh: Denny Siregar*
Saya sampai sekarang tidak percaya bahwa di balik sebuah kerusuhan, tidak ada penggeraknya.
Tidak mudah mengumpulkan massa begitu banyak jika tidak ada logistik besar di belakangnya. Isu yang dibangun boleh macam-macam, mau politik ataupun agama, ujung-ujungnya selalu kekuasaan yang berorientasi pada ekonomi dan penguasaan sumber daya alam.
Rusuhnya Suriah di Timur Tengah juga begitu. Kelompok negara besar gabungan antara blok barat dan beberapa negara Islam, sepakat untuk menguasai Suriah. Para CEO perusahaan besar, baik dari minyak maupun media, rapat bersama untuk mengaduk-aduk Suriah, karena negara itu sedang mengadakan perjanjian untuk membangun jalur pipa gas terbesar bersama Rusia dan China.
Lalu mereka mencari "akar masalah" konflik ditargetnya. Sesudah itu gelontoran uang diberikan untuk membangun kekuatan serta pembelian senjata untuk melakukan kudeta. Begitulah cara mereka membentuk ISIS inc yang punya aset Rp 20 triliun dari penjualan minyak dan artefak yang mereka rebut dengan menghabisi nyawa.
Cukup Timor Timur yang pisah. Daerah yang lain harus tetap bergandengan tangan bersama.
Pola-polanya selalu sama. Di Rwanda, Afrika, perseteruan suku Hutu dan suku Tutsi sejak jaman penjajahan diangkat kembali. Lalu dana mengalir dari Perancis untuk penguasaan wilayah. Dalam waktu sekian bulan saja, terbantai satu juta jiwa orang yang tidak berdosa.
Jadi ketika melihat rusuhnya Papua Barat saya sudah menduga ada grand design yang sedang dikerjakan di sana. Grand designnya adalah pemisahan diri Papua Barat dari Indonesia lewat referendum. Polanya sama, bikin keributan terus menerus, lalu lembaga internasional seperti PBB akan turun dan memaksa Indonesia melaksanakan referendum.
Kalau Papua Barat sudah terpisah dari Indonesia, sumber daya alamnya yang kaya akan dijadikan "bancakan" oleh perusahaan internasional. Selain itu, pangkalan militer pun akan dibangun di sana untuk lebih dekat memantau aktivitas Indonesia.
Rakyat Papua yang miskin tetap akan menjadi miskin seperti negara-negara konflik di Afrika. Karena kemiskinan dekat dengan kebodohan, maka itu akan terus dipelihara supaya perusahaan internasional itu bisa terus mengeruk kekayaan alamnya dengan harga murah. Disebut murah, karena yang mereka lakukan hanya "menyuap" para pejabat dan tokohnya saja.
Bagi Indonesia, jika Papua barat terpisah, maka disintegrasi akan semakin meluas. Aceh juga minta referendum, Bali pun begitu, dan kelak Indonesia bukan lagi berbentuk negara kesatuan, tetapi menjadi negara serikat atau bahkan lebih buruk menjadi kesultanan.
Itulah kenapa mempertahankan kesatuan menjadi begitu penting, apapun risikonya..
Cukup Timor Timur yang pisah. Daerah yang lain harus tetap bergandengan tangan bersama.
Seruput kopinya.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi