Untuk Indonesia

Denny Siregar: Bisnis Rental Ulama

'Bang, Pilpres sudah selesai. Kenapa sih masih ada yang gelar ijtima-ijtimaan?' tanya seorang teman. Tulisan opini Denny Siregar.
Konferensi pers Ijtima Ulama IV di Hotel Lorin Sentul, Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (5/8/2019). (Foto: Antara/M Fikri Setiawan).

Oleh: Denny Siregar*

"Bang, Pilpres sudah selesai. Kenapa sih masih ada yang gelar ijtima-ijtimaan?"

Tanya seorang teman dengan polosnya. Dan entah kenapa saya ketawa ngakak. Bukan karena pertanyaannya, tapi karena model ijtima yang baru digelar itu mirip bisnis rental mobil. Hanya kali ini yang dirental adalah 'ulama'.

Sejak gerakan besar pertama pada 2016 waktu ingin menjatuhkan Ahok, model mengumpulkan umat dengan mengatasnamakan agama dan ulama ini sukses besar.

Pertama, sukses mengumpulkan kumpulan orang yang mereka sebut 'umat'. Dan kedua, sukses mengkapitalisasi gerakan untuk menghasilkan pendapatan sebagai legitimator atau pencetak label. Mirip-mirip dengan label halal di MUI lah.

Ini bukan uang sedikit. Apalagi pada musim politik, kelompok ini bisa mendapat pendapatan besar melalui 'label halal' pada politikus yang mampu membayar.

Karena itu, brand 'ulama' harus tetap mereka pegang. Itulah kenapa digelar model ijtima atau perkumpulan sampai seri ke-4 yang mungkin akan terus berlanjut seperti sinetron kejar tayang. Lah, masih laku dijual, kenapa harus dibubarkan?

Ideologinya masih tetap uang. Lihat saja, mereka seolah memusuhi demokrasi yang dianggapnya produk kafir, tapi mereka juga menggunakan demokrasi sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan.

Kelompok ijtima ini tidak akan pernah membangun partai politik, karena partai politik itu adalah klien mereka. Mereka tidak membangun kompetitor, tetapi sistem supply and demand, ada permintaan ada barang.

Sifatnya pun tidak tetap, bersistem sewa atau rental. Kalau sudah selesai kontrak, ya bubar. Tidak ada loyalitas, hanya berdasarkan hubungan kepentingan.

Jadi, siapa pun partai atau politikus yang mau dapat label 'halal', ya ke kelompok mereka ini. Yang tidak ke mereka, menjadi musuh bersama. Barang produksinya, tetap saja agama.

Ada pengepulnya? Ya, ada. Para pengepul itu yang berhubungan dengan para pemakai jasa, menerima bayaran dan mendistribusikannya ke agen-agen mereka. Jangan anggap ini bagian dari agama, anggap saja ini bagian dari usaha.

Jadi selama masih ada yang mau menyewa jasa mereka, mereka akan tetap ada. Apalagi di tengah banyaknya orang yang mabuk agama, para penyembah gelar dan penjual ayat, model usaha ijtima ini masih mendapat tempat.

Karena itu jangan mau percaya kalau mereka membawa ideologi. Ideologinya masih tetap uang. Lihat saja, mereka seolah memusuhi demokrasi yang dianggapnya produk kafir, tapi mereka juga menggunakan demokrasi sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan.

Munafik, kan?

Jadi kita anggap saja sebagai tontonan, minimal selama 5 tahun berjalan sampai pemerintahan Jokowi usai. Panggung drama memang tidak harus selalu diisi oleh aktor utama, ada juga para punakawan yang khusus membawakan sesi hiburan.

Cara untuk melawan mereka gampang. Tertawakan terus aksi mereka, sampai legitimasi mereka hancur berantakan. Dan kelak, mereka tidak akan lagi punya tempat jualan.

Seruput kopinya....

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Baca juga:

Berita terkait