"Kita ini hanya butuh jaga jarak, bukan lockdown total." Begitu kata teman seorang pengusaha. Dia tetap bekerja, meski ada imbauan untuk di rumah saja. Dia memang tetap di rumah, karena urusannya hanya koordinasi.
"Tapi produksi tidak bisa begitu," katanya.
"Produksi harus terus gerak, ke kantor, karena peralatannya ada di sana, enggak mungkin kita pindahkan ke rumah. Kantor enggak bisa lockdown.
Mau makan apa kita? Bisa bangkrut usaha, malah para pekerja jadi pengangguran dan menyusahkan negara."
Dia cerita kemudian seruput kopinya. Tentu kami sedang teleconference.
"Pak Jokowi sudah mencontohkan, yang penting jaga jarak. Ya kita atur shift masing-masing pegawai supaya mereka tidak menumpuk berdekatan. Bukan lockdown.
Kalau kantor lockdown, produksi enggak jalan, kita bukannya membantu pemerintah malah menambah jumlah pengangguran dengan PHK."
Yang dilarang itu berkerumun, bukan bekerja.
Social distancing, lebih tepatnya Physical distancing, menjaga jarak fisik 2 meter antarorang untuk hindari penularan Covid-19. (Foto: Pixabay/TheDigitalArtist)
Aku tersenyum. Pengusaha itu memang ulet. Mereka selalu bisa beradaptasi dengan situasi, sesulit apa pun. Itulah kenapa mereka jadi pengusaha, bukan karyawan biasa.
"Yang dilarang itu berkerumun, bukan bekerja.
Kalau di tempat produksi kita susun supaya berjarak satu sama lain, tentu enggak ada masalah. Toh, kita juga sediakan cairan disinfektan sebelum mereka masuk ruangan.
Kita pantau juga kebersihan dan kesehatan mereka. Masker pasti pakai lah."
Benar juga. Ini mungkin bisa jadi solusi bagi seorang teman lagi yang me-lockdown unit usahanya, karena takut virus menyebar. Akhirnya dia kelimpungan sendiri karena produksi enggak ada.
"Kita boleh takut dengan virus, tapi jangan kalah. Kalau kita mengunci diri kita sendiri di rumah, malah kita terpenjara oleh ketakutan kita sendiri.
Yang penting waspada, dan melakukan langkah supaya tidak ada penularan. Toh, corona enggak menular lewat udara kok, kecuali ada yang sakit flu ya kita liburkan sampai dia sembuh."
Kusudahi ngobrol dengannya. Dan ini saat yang tepat untuk menyeruput secangkir kopi lagi.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga:
- Beda Antara Social Distancing dan Physical Distancing
- Boleh Vs Tidak Boleh Dilakukan Saat Social Distancing