Kalau bicara utang, rasanya kok seram, ya. Kebayang kalau suatu waktu kita gagal bayar, terus rumah yang kita jaminkan disita bank. Belum lagi harus berhadapan dengan debt collector yang wajahnya diseram-seramkan. Repot banget pastinya. Utang jadi enggak menarik, kalau pas bayarnya. Tapi waktu pinjamnya? Wow, rasanya manis banget. Ini yang ada di pikiran banyak orang awam tentang utang. Sehingga kalau ada yang bicara utang, langsung deh nadanya seperti ketakutan. "Bagaimana nanti kalau enggak bisa bayar?"
Tapi kalau berbicara utang negara, situasinya pasti berbeda. Tidak ada jaminan di sana, yang ada hanya kepercayaan. Percaya bahwa negara bisa bayar, dilihat dari seberapa besar pendapatan negara itu. Juga dilihat, apakah selama ini cicilan utang negara ke yang memberikan utang itu lancar? Kalau selama ini lancar, ya aman. Berikan mereka utang lagi, pasti akan dibayar. Karena itulah, ada beberapa negara yang sangat dipercaya untuk berutang, meskipun utang mereka lebih besar dari pendapatan mereka.
Contohnya Jepang. Jepang sekarang ini punya utang hampir 180 ribu triliun rupiah. Utang Jepang lebih besar dari pendapatan mereka. Tapi kenapa kok Jepang terus diutangi? Ya, karena mereka enggak pernah gagal bayar. Orang tetap percaya kalau Jepang berutang. Enggak ada jaminan apa-apa, yang ada cuma surat utang.
Begitu juga Amerika. Utang Amerika ke banyak lembaga dan negara lain, totalnya sudah hampir mencapai 800 ribu triliun rupiah. Sama dengan Jepang, utang Amerika jauh lebih besar dari pendapatannya. Tapi kenapa Amerika masih dipercaya untuk diutangi? Ya karena kepercayaan itu, bahwa negara sebesar Amerika tidak akan bangkrut atau jatuh. Kalau Amerika bangkrut, seluruh dunia akan bangkrut. Makanya Amerika dijaga terus supaya enggak bangkrut. Dengan cara apa? Ya diutangi terus.
Jadi jangan takut kalau negara Indonesia punya utang. Apalagi ditakut-takuti sama oposisi dengan narasi, "Setiap anak Indonesia sejak lahir sudah menanggung utang 20 juta rupiah." Utang tidak ada masalah, yang masalah adalah apakah kita mampu membayarnya? Utang negara kita, bukan hanya ada sejak zaman Jokowi. Bahkan sejak zaman Soekarno itu juga sudah ada. Sebagai negara baru, kita perlu uang untuk membangun negara kita, sedangkan kas kita kosong. Bagaimana caranya? Ya, utang dululah.
Utang lagi, dikorupsi lagi, begitu terus sampai akhirnya Jokowi dipilih untuk memimpin bangsa ini.
Begitu juga zaman Soeharto yang berkuasa 32 tahun lamanya, utang terus untuk membangun jalan, membangun gedung, dan membangun sistem ekonomi di Indonesia. Semua dibangun dengan utang, tanpa jaminan. Ada juga sih utang yang ditukar dengan kepemilikan tambang misalnya. Masalanya ketika duit utangan sudah di tangan, apa yang dilakukan? Sebagian buat membangun negara, dan kebiasaan zaman dulu, sebagian buat bancakan, korupsi besar-besaran. Belum lagi komisi sebagai penghubung antara pengutang dengan yang mengutangi.
Anggaplah dapat 1% saja komisi dari utang 1.000 triliun, dapat berapa tuh ya? 10 triliun. Banyak juga ya. Akhirnya utang yang awalnya untuk membangun negara, sebagian dipakai konsumtif, buat pesta-pesta. Yang bayar? Ya, kita-kita ini sekarang, dengan pajak. Karena utang enggak digunakan untuk membangun sektor ekonomi, pendapatan kita juga enggak bertambah-tambah.
Lha, terus bagaimana solusinya? Ya utang lagi. Dikorupsi lagi. Begitu terus sampai akhirnya Jokowi dipilih untuk memimpin bangsa ini. Jokowi menerima warisan utang ribuan triliun rupiah. Catat ya. Ada yang jatuh tempo, harus dibayar secepatnya. Ada yang cicilannya masih panjang sampai ke bulan.
Yang ada dalam pikiran Jokowi waktu itu ketika menerima warisan utang, bukan "seberapa besar utangnya", tapi bagaimana cara membayar utangnya. Kalau duit dari pendapatan negara sekarang untuk membayar utang sih, ya bisa-bisa saja. Tapi masalahnya, kan nanti kita enggak punya duit lagi.
Bagaimana kita bisa menaikkan ekonomi kita lebih besar lagi kalau enggak ada uang? Begitu dilema pemerintah pada waktu awal menjabat. Akhirnya diambillah keputusan. "Oke kita utang lebih besar lagi." Apa? Kok malah berutang? Yang sekarang saja bayarnya sudah berat, masak harus menambah besar lagi?
Sama dengan Jepang, utang Amerika jauh lebih besar dari pendapatannya.
Begini, kata Jokowi. Indonesia ini negara kaya. Sangat kaya. Cuma kita belum maksimal mengelola kekayaan kita. Anggaplah sekarang kekayaan Indonesia ini 1.000, tapi yang dikelola cuma 100, masih ada 900 lagi yang belum dimanfaatkan. Kalau ini bisa kita kelola, kita bahkan bisa melunasi utang-utang kita ke depannya.
Terus bagaimana mengelola harta yang besar itu, sedangkan kita enggak punya uang? Ya, kita utang, kata Jokowi. Utang ini untuk membangun infrastruktur di mana-mana, dari Aceh sampai Papua. Kalau infrastruktur sudah ada, investasi akan masuk ke Indonesia. Kalau asing sudah investasi, ekonomi sekitar akan meningkat.
Dengan meningkatnya pendapatan mereka, otomatis pendapatan negara juga akan meningkat. Dan meski utang kita besar, ekonomi kita juga akan membesar. Ketika ekonomi kita besar, mau sebesar apa pun utang kita sekarang, kita akan bisa membayar. Ketika kita bisa membayar, kita akan mendapatkan kepercayaan internasional.
Kalau internasional sudah percaya sama Indonesia, akan banyak lagi perusahaan asing yang masuk ke sini. Kalau mereka lebih banyak lagi masuk ke sini, ekonomi kita akan lebih besar lagi. Begitu seterusnya sampai kelak Indonesia akan menjadi raksasa.
Kalau memahami penjelasan di atas, akhirnya kita paham bahwa "bukan seberapa besar kita punya utang", tapi "seberapa besar kita mampu memanfaatkan utang". Itu yang tepat. Dan itu yang ada di pikiran Jokowi yang visioner dan mampu melihat 1.000 tahun Indonesia ke depan.
Itulah kenapa di masa Jokowi ini, utang seperti gila-gilaan. Tapi pembangunannya juga gila-gilaan. Utangnya jelas untuk apa. Untuk membangun ekonomi, supaya nanti kita bisa membayar utang. Ini mirip ketika kita meminjam duit untuk membesarkan modal warung kita yang sudah ramai supaya lebih banyak produksi yang bisa dijual lagi. Bukan utang untuk membeli mobil, rumah, atau hal-hal konsumtif lain.
Jokowi banyak berutang utnuk usaha. Kalau begini, apakah utang jadi masalah? Enggak, kan? Kalau warung kita jadi besar, bahkan bisa menjadi supermarket misalnya, tentu kita lebih mudah mencicil utang. Nah, kalau kita pengin membikin 10 supermarket lagi, ya utang lagi. Begitu terus sampai akhirnya, tanpa sadar, kita yang tadinya wiraswastawan kecil tiba-tiba tumbuh menjadi konglomerat.
Tanpa utang, kita tidak akan bisa tumbuh sebesar itu. Asal ya itu, utangnya buat pengembangan usaha, bukan buat hura-hura. Dan seharusnya kita juga mulai pintar, jangan mau lagi dibohongi narasi-narasi yang menakutkan itu. Mereka yang ketakutan itu ya hidupnya begitu-begitu saja, enggak ada perkembangan.
Mereka bilang, "Utang itu mengerikan." Ya, kita bantah, "Enggak, asal jelas manfaatnya untuk apa." Kalau yang berutang adalah orang seperti Jokowi, saya misalnya sebagai pemberi utangan, pasti percaya karena saya tahu dia pasti bayar. Dan saya juga mendapat keuntungan dari dia.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi