Demo Mahasiswa Papua di Surabaya di Tengah Covid-19

Demo mahasiswa Papua di depan Gedung Grahadi Surabaya untuk mendesak pembebasan tahanan politik yang menjalani sidang di PN Balikpapan, Kaltim.
Sejumlah mahasiswa Papua di Surabaya menggelar aksi damai di depan Gedung Grahadi Surabaya, Selasa, 16 Juni 2020. (Foto: Tagar/Haris D Susanto)

Surabaya - Puluhan mahasiswa Papua menggelar aksi di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya pada Selasa 16 Juni 2020. Mereka berkumpul ini dengan tujuan meminta pemerintah membebaskan rekannya kini menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan atas tuduhan makar.

Meski aksi di tengah pandemi Covid-19, berdasarkan pantauan Tagar, para Mahasiswa ini menerapkan protokol kesehatan, dengan memakai masker dan memberi jarak satu meter.

Orang Papua punya ingatan dan ikatan emosional, satu luka semua rasa, satu sedih semua sedih, satu menangis semua menangis.

Dalam aksinya mereka, para mahasiswa membentangkan sejumlah poster bertuliskan "Hentikan diskriminasi rasialisme terhadap rakyat Papua", "Hukum Indonesia rasis terhadap orang Papua", hingga "Bebaskan Manu M Alua (Tapol Papua)".

Sementara itu, orator aksi pun menyuarakan untuk membebaskan tujuh tahanan politik Papua di Balikpapan. Sebab, mereka menjadi tahanan politik para pemerintah.

"Orang Papua punya ingatan dan ikatan emosional, satu luka semua rasa, satu sedih semua sedih, satu menangis semua menangis. Jadi segera bebaskan tujuh tahanan politik Papua di Balikpapan, tanpa syarat," teriak orator.

Juru bicara mahasiswa Papua Surabaya Sam Kayame mengatakan penahanan sejumlah orang Papua ini bermula dari aksi rasisme dan pengepungan oleh oknum aparat dan ormas reaksioner di Asrama Mahasiswa Papua, Jalan Kalasan Surabaya, pada 16 dan 17 Agustus 2019 lalu.

"Dari peristiwa memicu pecahnya aksi unjuk rasa yang lebih besar di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di berbagai kota dan kabupaten. Mereka menuntut pelaku rasisme diadili," kata Sam di lokasi.

Sayangnya, menurut Sam, terjadi justru bukan keadilan bagi orang Papua. Namun, pembungkaman lewat diblokirnya internet hingga dikriminalisasinya sejumlah aktivis dengan tuduhan makar.

"Hal ini dibuktikan dengan adanya penggunaan pasal makar untuk menangkap dan menahan aktivis politik Papua dan pembela HAM Papua," imbuh dia.

Sam menilai tujuh aktivis Papua yang diadili malah dituntut dengan ancaman penjara yang sangat diskriminatif. Bahkan menurutnya tuntutan itu sebagai bentuk rasisme hukum Indonesia terhadap orang Papua.

Sebelumnya, tujuh warga Papua yang ditahan ini adalah Buctar Tabuni 17 tahun penjara, Agus Kossai 15 tahun penjara, Steven Itlay 15 tahun, Ferry Gombo 10 tahun penjara, Alex Gobay 10 tahun, Irwanus Uropmabin 5 tahun dan Hengki Hilapok 5 tahun. []

Berita terkait
Demo Pembebasan 7 Tahanan Politik Papua di Malang
Demonstrasi yang dilakukan dijaga ketat porsenel Polresta Malang meski aksi tersebut tidak mengantongi izin. Apalagi aksi dilakukan saat Covid-19.
26 Polisi Polda Papua Positif Terpapar Virus Corona
Sebanyak 26 anggota polisi di Polda Papua positif terpapar virus Corona, dari 28 yang terpapar tujuh sudah sembuh dan satu meninggal dunia.
Papua di Peringkat Tiga Kasus HIV/AIDS Nasional
Laporan Kemenkes RI, 29 Mei 2020, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Papua 60.606 menempatkan Papua peringkat ketiga epidemi HIV/AIDS nasional
0
Lionel Messi Bawa Bisnis Bagus untuk PSG
Presiden PSG, Nasser al Khelaifi, mengkonfirmasi kepada MARCA bahwa Leo telah menguntungkan di musim pertamanya di PSG