Dawet Sawah Yogyakarta, Rasanya Bikin Nagih

Di sebuah sudut Yogyakarta, pria tua bercaping bambu itu duduk menghadap gerobak dawet. Ia dikepung orang-orang yang ketagihan cira rasa dawetnya.
Slamet meracik dawet untuk pembeli, di Yogyakarta, Minggu, 22 September 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta - Ia bercaping bambu bercat hijau, senada dengan warna gerobak pikulnya. Gerobak berisi sajian cendol, orang-orang setempat menyebutnya dawet sawah. 

Di dekat gerobak tergantung kertas putih dilaminating, bertuliskan Rp 2000. Pengumuman bahwa segelas atau semangkuk dawet harganya dua ribu rupiah.

Hampir setiap hari ia memarkirkan gerobak di Sonosewu, tidak jauh dari Universitas PGRI Yogyakarta. Ia duduk di kursi plastik pendek yang juga berwarna hijau. 

Biasanya tak lama duduk, orang-orang menghampirinya, mengepungnya, minta dilayani dawet sawah.

Keramaian antrean itu biasa terlihat sejak pukul sembilan pagi. 

Ia, pria berusia 58 tahun itu bernama Slamet.

Orang-orang yang mengepungnya rela duduk di dingklik - bangku kecil terbuat dari kayu.

Slamet dengan cekatan menyajikan dawet. Tangan kanan memegang irus atau sendok besar, lincah mengambil cendol dari periuk tanah liat, kemudian ia tambahkan dengan santan dan gula merah cair.

Di sebelah depan kiri dan kanan Slamet, dua kotak berwarna hijau terang, tempat cendol serta bahan lain. 

Di sebelah kanan agak belakang ada dua perempuan muda, sibuk membantu segala kerepotan Slamet.

Mereka adalah putri Slamet. Penampilan keduanya cukup menarik. Wajah dihiasi bedak tipis, hidung tidak terlalu mancung, alis cukup tebal, serta poni yang menutupi sebagian dahi. Keduanya bergantian mencuci mangkuk dan meletakkan es batu ke dalam mangkuk.

Belasan pembeli yang ada di sekeliling, tampak sabar menunggu Slamet menyajikan 'Dawet Sawah' racikannya. Terkadang mereka harus antre, dan menunggu Slamet melayani hingga 50 bungkus dawet.

Mereka seperti tidak mempedulikan lalu lalang kendaraan yang melintas. Begitu pula Slamet, tetap asyik meracik dawet untuk para pelanggan. 

Seperti siang itu, Minggu, 22 September 2019, saat Tagar menemui Slamet di tempat jualan yang hanya dinaungi tenda kecil.

Sampun (sudah) 35 tahun, Mas. Mulai harga dua puluh lima rupiah.

YogyakartaPara pelanggan duduk di dingklik, bangku kecil terbuat dari kayu, sabar menanti dawet yang sedang diracik Slamet, di Yogyakarta, Minggu, 22 September 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

***

'Dawet Sawah' yang dijual Slamet, memiliki rasa khas dengan santan kelapa kental, dan cendol buatannya juga gurih. Ditambah pemanis berupa gula merah cair, membuat dawet buatannya disukai pembeli.

Apalagi harganya sangat terjangkau. Hanya dengan selembar dua ribu rupiah, pembeli sudah dapat menikmati dawet khas buatannya.

Slamet mengaku sudah 35 tahun menjual dawet. Awalnya ia tidak menetap di satu tempat saat menjual. Ia berkeliling dengan gerobak pikul.

Orang memberi nama 'Dawet Sawah', karena saat awal menjual, Slamet menjajakan dawetnya melalui pematang sawah. Waktu itu, selain pembeli yang melintas, pelanggannya adalah para petani.

"Sampun (sudah) 35 tahun, Mas. Mulai harga dua puluh lima rupiah," tutur Slamet sambil melayani pembeli.

Menurut Slamet, setiap hari dirinya menghabiskan 6,5 kilogram cendol saat hari kerja, dan bertambah menjadi 7,5 kilogram cendol saat hari libur atau hari Minggu.

Percakapan terhenti, saat dua perempuan muda memesan 25 bungkus dawet.

Akhirnya jadi langganan. Rasanya itu lho, bikin, hmmm... ketagihan.

Slamet kembali pada aktivitasnya, meracik dawet. Namun, berbeda dengan dawet yang disajikan di tempat. Untuk pesanan dawet yang dibawa pulang, Slamet menggunakan gelas kaca berukuran sedang, agar memudahkan saat dituang ke dalam plastik.

Tidak lama, sepasang pria dan wanita muda, datang. Mereka memesan dua mangkuk dawet. Tapi, Slamet mengatakan, mereka harus menunggu sampai Slamet menyelesaikan peaanan 25 bungkus dawet.

Keduanya mengangguk tanda setuju, lalu berdiri di tempat itu, sambil menunggu pembeli lainnya selesai menikmati dawet pesanannya.

Beberapa menit kemudian, satu pembeli beranjak dari tempat duduknya. Wajahnya tampak puas, mungkin karena dahaganya telah usai. Maklum hari itu cuaca di Yogyakarta cukup terik.

Setelah membayar dawet pesanannya, pria itu berlalu mengendarai sepeda motor, menuju ke barat seiring awan putih berarak tertiup angin.

Pria yang datang bersama teman wanita, mempersilakan perempuan itu untuk duduk di kursi kosong. Sementara ia rela berdiri dan menunggu.

Pria itu duduk setelah pesanan 25 bungkus dawet diterima oleh dua perempuan muda tadi.

Slamet melanjutkan ceritanya. Kata Slamet, selain 7,5 kilogram cendol, dalam sehari dirinya menghabiskan 30 butir kelapa untuk diperas menjadi santan.

Meski menyiapkan bahan yang cukul banyak, biasanya dawet jualannya sudah habis sebelum pukul 15.00 WIB.

***

Ina, seorang pembeli, mengatakan ada rasa berbeda dalam dawet yang dijual Slamet.

"Beda dengan dawet lain, Mas. Ini kayaknya yang bikin enak juruh-nya (gula merah yang dicairkan)," kata dia.

Ia mengaku belum lama menjadi pelanggan dawet racikan Slamet. Suatu hari saat ia dan seorang kawan melintas di jalan ini, ia penasaran melihat banyak pembeli yang mengantre. Ia dan kawannya itu pun kemudian singgah untuk mencicipi dawet buatan Slamet.

"Akhirnya jadi langganan. Rasanya itu lho, bikin, hmmm... ketagihan," katanya diiringi tawa genit.

Sementara Iwan, pembeli lain, mengaku sejak lama menjadi pelanggan dawet buatan Slamet.

Iwan mengenang, dulu Slamet sering singgah di bengkel tambal ban, di sebelah timur perempatan Sonosewu. Waktu itu, sekira 20 tahun lalu.

"Saya sudah lama jadi langganannya Pak Slamet. Dulu masih sering di depan Wartel Sonosewu, ada bengkel tambal ban, nah di situ," ucapnya.

Kata Iwan, saat awal menjual, ada ciri khas lain dari 'Dawet Sawah', yakni cara meminumnya. 

"Dulu enggak pakai sendok. Diminum langsung dari mangkuk. Sekarang pakai sendok, mungkin karena ada esnya," tutur Iwan dengan pandangan jauh ke masa silam. []

Berita terkait
Menikmati Es Dawet Ayu di Bengkel Lokomotif Tua
Es dawet ayu khas Banjarnegara yang dijajakan di Yogyakarta sangat khas berbeda dengan kota besar lainnya. Lokasi berjualan juga menjadi nilai plus
Paijo, Pemahat Wayang Kulit di Taman Sari Yogyakarta
Di sudut area cagar budaya Taman Sari di Kota Yogyakarta, Paijo khusyuk memahat kulit sapi untuk dijadikan wayang kulit. Ia menjadi tontonan turis.
Perilaku Customer yang Bikin Jengkel Ojek Online
Di balik senyum ramah pengemudi ojek online, ternyata mereka menyimpan catatan perilaku customer yang menjengkelkan. Seperti apa? Ini ceritanya.
0
Usai Terima Bantuan Kemensos, Bocah Penjual Gulali Mulai Rasakan Manisnya Hidup
Dalam hati Muh Ilham Al Qadry Jumakking (9), sering muncul rasa rindu bisa bermain sebagaimana anak seusianya. Main bola, sepeda.