Dampak Inflasi, BAKN Minta Pemerintah Kaji Ulang Batas Garis Kemiskinan

Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Anis Byarwati meminta pemerintah untuk mengkaji ulang batas garis kemiskinan.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Anis Byarwati. (Foto: Tagar/DPR RI)

TAGAR.id, Jakarta - Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Anis Byarwati meminta pemerintah untuk mengkaji ulang batas garis kemiskinan, sebagai dampak dari adanya inflasi seiring dengan melonjaknya harga-harga bahan pokok karena kenaikan harga BBM. 

Menurutnya, kesulitan yang dialami masyarakat saat ini tidak hanya terjadi di daerah-daerah akan tetapi juga di kota-kota besar, seperti Jakarta.

Kemiskinan sudah nampak secara kasat mata di lapangan,” ujar Anis dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu. 


Kita perlu meninjau kembali apakah angka tersebut masih relevan dengan situasi saat ini dimana masyarakat masih terdampak oleh pandemic ditambah dengan inflasi yang sangat tinggi.


Anis mengingatkan bahwa dalam laporan 'East Asia and The Pacific Economic Update October 2022’, Bank Dunia mengubah batas garis kemiskinan yang mengacu pada keseimbangan kemampuan berbelanja pada tahun 2017.

Sementara, basis perhitungan yang dipergunakan Bank Dunia sebelumnya adalah keseimbangan kemampuan berbelanja pada tahun 2011. Dalam basis perhitungan terbaru ini, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dari US$1,9 menjadi US$2,15 per kapita per hari.

Dengan asumsi kurs Rp15.216 per dolar AS, maka garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia adalah Rp32.812 per kapita per hari atau Rp984.360 per kapita per bulan. 

“Jika menggunakan standar Bank Dunia, secara otomatis jumlah penduduk miskin di indonesia bertambah 13 juta orang,” ujar Anggota Komisi XI DPR RI tersebut.

Namun, Anis menjelaskan bahwa Indonesia tidak serta merta harus mengacu kepada standar Bank Dunia tersebut. Hal ini dikarenakan BPS telah memiliki standar tersendiri dalam mengukur Garis Kemiskinan, yaitu dengan mengartikan garis kemiskinan sebagai cerminan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan.

Diketahui, Garis Kemiskinan terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Pada Maret 2022 Garis kemiskinan yang digunakan BPS tercatat Rp505.469,00 per kapita per bulan, dengan komposisi GKM sebesar Rp374.455,00 (74,08 persen) dan GKNM sebesar Rp131.014,00 (25,92 persen). Sehingga, pengeluaran minimum untuk menentukan Garis Kemiskinan sebesar Rp505.469,00.

Terkait dengan Garis Kemiskinan yang ditentukan oleh BPS tersebut, Anis menekankan agar indicator-indikator yang digunakan dalam pemetaan hendaknya dirumuskan lebih tajam lagi. Ia mempertanyakan angka Rp505.469,00 per kapita per bulan sebagai batas garis kemiskinan yang dipakai oleh BPS.

“Kita perlu meninjau kembali apakah angka tersebut masih relevan dengan situasi saat ini dimana masyarakat masih terdampak oleh pandemic ditambah dengan inflasi yang sangat tinggi,” tuturnya. 

Mengamati kondisi lapangan, angka Rp505.469,00 per kapita per bulan ini sangat jauh dari memenuhi kebutuhan pokok,” kata Politisi Fraksi PKS ini

Di sisi lain, penentuan Garis Kemiskinan ini akan berkaitan langsung dengan pendataan awal Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek). Regsosek merupakan pemutakhiran data yang terintegrasi, pemetaan penerima manfaat yang terpusat. Oleh karena itu, Anis menegaskan sangat penting untuk membuat indikator yang tepat terkait garis kemiskinan.  []

Berita terkait
Inflasi 10 Persen Bikin Jerman Luncurkan Paket Bantuan 200 Miliar Euro
Pemerintah Jerman kembali meluncurkan paket bantuan untuk meredam dampak kenaikan harga energi terhadap konsumen dan bisnis
Pasar AS Cemas karena Harapan Inflasi Akan Turun Pupus Sudah
Sejumlah nilai saham pada bursa saham Amerika Serikat (AS) jatuh ke level terburuk dalam dua tahun terakhir
Kepala Daerah Diminta Gunakan APBD untuk Tahan Laju Inflasi Pasca Kenaikan BBM
Jokowi menginstruksikan para kepala daerah menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).