Curhatan Penjual Arak di Bali Terkait RUU Minol

RUU Minol membuat sejumlah pedagang di arak di Bali merugi. Menurut mereka RUU ini adalah pembodohan bagi masyarakat.
Ilustrasi. (Tagar/Pixabay)

Jakarta - RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol) akan segera dibahas di Badan Legislasi DPR. Dalam RUU itu tak hanya memuat pelarangan minuman beralkohol saja, tetapi juga izin terbatas penggunaan minuman alkohol.

Sejumlah penjual arak di Bali menolak RUU tersebut. Menurut mereka, aturan ini tidak hanya mematikan ekonomi petani arak, tetapi menimbulkan pembodohan di lingkungan masyarakat.

"RUU ini menempatkan minuman beralkohol sekelas dengan narkoba yang patut dilarang. Kalau memproduksi saja tidak boleh, tentu tidak ada yang diperdagangkan apalagi dikonsumsi. Walaupun ada pengecualian Pasal 8, RUU ini gagal memahami filosofi dan sosiologi tentang minuman beralkohol yang ada di masyarakat kita," ucap penjual Arak, Ngakan Made Giriyasa, Jumat, 13 November 2020, dikutip dari Kumparan.com

Rata-rata sih aman saja yang minum arak. Mereka minum menikmati, bukan cari minum sampai tepar. Malah Arak Bali banyak dibeli untuk oleh-oleh. Tidak setuju aku sama RUU ini. Padahal sudah puluhan tahun petani arak tidak hanya di Bali bergantung ekonomi pada arak,

Pria yang juga pengamat kebijakan publik ini menilai tak elok menggunakan batasan moral yang digunakan untuk mengesahkan aturan tersebut. Dia menilai edukasi pengendalian diri agar tidak konsumsi berlebihan lebih tepat diterapkan.

"Mencerdaskan manusia dengan melatih pengendalian diri lebih penting daripada mengatur apa yang boleh dikonsumsi seseorang," kata dia.

Sebagai pendamping pembuatan petani arak di Desa Dukuh Karangasem mengatakan, setiap hari penduduk desa mampu memproduksi 400 liter arak per hari dengan pendapatan sekitar Rp 25 juta. Menurut dia, larangan minol sungguh mematikan ekonomi petani arak.

"Kalau produksi dilarang, apa yang mau dijual, memang di Pasal 8 ada pengecualian boleh diproduksi dan dijual terbatas untuk wisatawan. Namun bukan ini substansinya. Apa kalau boleh dijual kepada wisatawan lalu kita cecoki wisataan dengan minol? Saya kira cara berpikir penyusun RUU ini aneh sama sekali tidak mencerdaskan," kata Giri.

"Didiklah masyarakat untuk memahami apa yang dikonsumsi, bukan melarang makan ini atau itu, RUU ini tidak hanya mematikan potensi ekonomi, yang lebih parah adalah upaya pembodohan yang dilakukan melalui RUU ini," tambahnya.

Kopral, penjual Arak di Bali, juga sepakat dengan Giri. Menurut dia, RUU ini ngawur dan membingungkan. Hal ini tercermin pada pada Pasal 5,6,7 8 dan Pasal 20.

"Pasal 5,6 dan 7 RUU Minol melarang produksi, menyimpan, mengedarkan, menjual dan mengkonsumsi semua jenis, Pasal 8 ada pengecualian. Jadi intinya kan harus ada izin, pajak lagi, kan? Kalau petani dan penjual kecil kayak kita ini yang tidak punya dana gimana nasibnya? Bingung aku dengan RUU ini. Setiap Pasal enggak jelas," kata dia.

Kopral juga mengatakan sanksi pidana penjara 3 sampai 7 bulan atau denda Rp 10 sampai Rp 50 juta. Menurut dia, sanksi tersebut terlalu berlebihan. Apalagi, karakter peminum baik wisatawan dan warga Bali santun saat mengkonsumsi minol.

"Rata-rata sih aman saja yang minum arak. Mereka minum menikmati, bukan cari minum sampai tepar. Malah Arak Bali banyak dibeli untuk oleh-oleh. Tidak setuju aku sama RUU ini. Padahal sudah puluhan tahun petani arak tidak hanya di Bali bergantung ekonomi pada arak," kata Kopral. []

Baca juga:

Berita terkait
YLBHI Sebut DPR Hanya Perlu Mengatur Sasaran Minuman Alkohol
YLBHI menilai DPR tak perlu membuat Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol).
Partai Golkar: RUU Larangan Minuman Beralkohol Potensi PHK
Partai Golkar belum bisa menerima RUU Larangan Minuman Beralkohol, menurut mereka RUU ini bisa berpotensi PHK massal yang dapat merugikan rakyat.
Alasan PPP Desak Lagi RUU Larangan Minuman Beralkohol
Sedikitnya 18 anggota DPR dari Fraksi PPP kembali mengusulkan RUU Larangan Minuman Beralkohol yang sempat tenggelam beberapa tahun lalu.